Senin, 14 Desember 2015

Aku Pernah Hidup Sebagai Bocah

Aku pernah hidup sebagai bocah yang ketika pulang sekolah, langsung kumpul teman-teman sebaya. Pergi ke sumber di hutan samping kampung. Mandi berjamaah.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang kumpul bersama teman-teman sebaya sehabis ashr, main engklek, lompat tali, kasti.
Aku pernah hidup sebagai bocah. Yang ketika tetangga sedang membakar genteng. Aku bersama teman-teman sebaya memakai sarung dan main ninja-ninjaan.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang ketika mengunjungi tempat pembuatan genteng. Aku dan teman-teman sebaya meminta tanah liat untuk dibentuk menjadi aneka bentuk binatang atau replika benda.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang tak mengenal apa yang zaman sekarang disebut 'kecanggihan'. Mainanku, kuda-kudaan atau senapan dari dahan daun pisang. Kadangkala aku membuat penangkap capung dari rumah jaring laba-laba.
Aku dan teman-teman sebaya, pernah hidup sebagai bocah yang merasa asyik walau hanya menangkap belalang di kebun depan rumah.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang berlarian main kejar-kejaran, bentengan, dolipan, saat azan isya selesai berkumandang.
Aku pernah menjadi bocah, yang lugu. Tak berpikir aneh walau main pengantin-pengantinan. Berkeliling sawah, sambil membawa ketapel. Memanjat pohon tetangga dan menghabiskan buahnya.
Ya, aku pernah menjadi bocah di zaman keemasan dan penuh kebahagiaan. Hidup di zaman kreatif bukan konsumtif.
AM. Hafs
Sgs, 121215

Jumat, 11 Desember 2015

Rindu yang Mati Rasa

Rindu, agaknya aku sudah lupa bagaimana rasa rindu. Padahal dulu seringkali kulukis dalam sajak-sajak, dalam puisi-puisi.
Apakah ini faktor terlalu sering bercengkerama atau apa? Atau aku mulai jenuh dengan rutinitas cinta yang begitu-begitu saja? Entah.
Sepertinya aku lebih memilih menanti semua menjadi halal. Bukan mengulang kesalahan demi kesalahan yang sama. Keledai saja tidak masuk ke lubang yang sama dua kali, kan?
Namun, aku tahu pasti resiko dicintai. Yakni, takkan bisa ikut campur dalam mengelola perasaannya. Tak bisa memaksa kehendak harus begini harus begitu. Itulah kenapa, dicintai terasa lebih berat daripada mencintai. Lagu lama.
Seperti malam ini, barangkali kalau kami bertatap muka, ekspresi akan nampak lucu dan bloon sekali. Bagaimana tidak, ketika dia mengatakan rindu, aku malah bingung harus apa. Apalagi dalam kondisi mata yang tinggal beberapa watt.
Anehnya, setelah pamitan aku malah tak mampu terpejam. Mengesankan. Dan ketika kuhubungi kontaknya ... terlambat, sudah dimatikan.
Aku jadi berpikir kemungkinan apa yang sedang dia pikirkan. Apa dia berpikir aku jahat? Tak pengertian? Egois? Tak peka? Atau juga berpikir bahwa aku tak sungguh-sungguh mencintainya.
Mungkin ada baiknya, melalui tulisan ini kusampaikan permohonan maaf padanya. "Maaf ya, Donad?" Moga besok pagi udah baikan. Selain permintaan maaf, tak ada salahnya jika aku ucapkan terima kasih. Sebab, tanpa keresahan yang mengiringi hati, aku takkan menulis sebanyak ini. Dan membuat kantukku kembali lagi.  Hehe.

AM. Hafs
Singosari, 10-12-15

Selasa, 24 November 2015

Paku, Penanda Sejarah Hidupku

Ada yang tahu tentang subuh?  Ia serupa hening yang mengundang satu per satu jenis suara ke dalam pestanya. Menjadikan riuh dan gebyar. Ia juga tempat mata menyalakan pandangan. Tempat rentetan panjang munajat menemui muara. Dan tempat para 'kalong' merebahkan lelah.

Di sini, di subuh ini. Aku mulai menekuri perjalanan tahun kehidupan. Pada bulan shafar, dua puluh lima tahun yang lalu. Aku keluar dari rahim yang nyaman menuju dunia dengan langitnya yang tak selalu biru.

Aku tak pernah tahu wajah ibu, saat ia melahirkanku. Apakah tersenyum penuh suka cita atau sebaliknya? Yang kutahu hanya rasa sakit yang ia derita, kala tubuhku meminta untuk keluar dari mulut rahimnya. Meninggalkan zona nyaman. Apakah itu untuk zona nyaman yang lain? Entah.

Aku lahir di tanah Jawa. Tepatnya di Singosari, tempat yang kata sejarah menjadi cikal bakal Nusantara. Aku lahir di negeri yang katanya, bertanah surga. Meski kelaparan tetap terjadi di mana-mana. Dan membuatku bertanya-tanya. Kenapa bisa kelaparan? Kurang usaha kah? Atau tetangganya yang terlalu durja? Entah.

Aku tak tahu, untuk apa aku hidup. Hingga ibu memaksaku menuntut ilmu. Pagi di Sekolah, dan sorenya di surau. Dan entah kapan dan dari siapa aku mendengarnya, aku mendapat jawaban bahwa tujuan hidup diciptakan untuk beribadah kepada Yang maha Kuasa.

Aku bersyukur, dilahirkan dalam keadaan muslim. Semoga matiku pun kelak tetap dalam keadaan muslim. aaamiin. Dan untuk dicap mati sebagai muslim, sangatlah sederhana. Cukup wafat dengan megucapkan kalimat syahadat sebelum nyawa sampai di tenggorokan. Chusnul Khotimah. Begitu orang akan menyebutnya. Tak peduli biar pun orang sedunia menganggap kafir. Jika dua kalimat tersebut terucap, maka gelar muslim itu telah menjadi keniscayaan.

Namun, apa benar semudah itu? Kata guru ngajiku, masing-masing akan diambil dalam keadaan yang ia biasakan. Jika ia trbiasa berdzikir, maka bisa dipastikan dengan prosentase 99% maka seseorang tersebut akan wafat dalam keadaan berdzikir.

Dari hal tersebut, bisa ditarik kesimpulan sederhana. Seberapa mudah untuk mati chusnul khotimah, ditentukan dari seberapa mudah dan seringnya seseorang berdzikir menyebut nama Allah SWT. Tak perlu berpikir yang tinggi-tinggi. Sebab ketika sudah merasa dekat, maka apapun yang diperintahkan pasti akan dijalani dengan sukarela. Dan apapun yang dilarang pun demikian.

Itu rumus sederhana yang kupelajari dari sekolah. Akan tetapi, kehidupan tak membiarkannya menjadi hal yang semudah itu.

Sampai pada usiaku yang sekarang. Aku masih belum menjadi apa-apa. Aku kerap mengulang-ulang kesalahan yang sama. Dzikir dan ibadah? Jangan ditanya, hanya sebatas rutinitas. Yang seringnya kukerjakan dengan malas.

Kadang aku bertanya, apakah masa lalu yang membuatku menjadi pribadi yang demikian? Entah. Yang kutahu sekarang ... diri ini hanyalah seorang pelari. Ya, aku sering lari dari kenyataan. Lari dan lari dari kesulitan. Mencari jalan yang mudah ... namun menjerumuskan. Nurani pun sering menegur, "tak ada yang mudah di dunia ini dengan berlari, Kawan. Yang ada hanyalah menjadi lebih kuat untuk menghadapi tiap ujian yang terus dan terus meningkat.

Entah, sampai pada umurku saat ini. Berapa orang yang telah kukecewakan. Banyak pastinya. Namun, aku masih saja jalan ditempat. Masih sebatas ingin berubah. Berdoa tapi tak diiringi usaha yang keras.

Aku diajari untuk tak mengeluh. Namun, pada pagi ini, aku ingin mengeluh pada dunia, pada pembaca bahwa aku lelah untuk mengeluh. Aku ingin menjadi pribadi yang leih baik. Berubah menjadi lebih kuat. Agar bisa melindungi orang-orang yang kukasihi. Berubah mejadi lebih bijak. Agar aku mampu menjadi penuntun. Tak muluk-muluk, minimal untuk keluargaku. Ya, minimal. Kalau bisa ditakdirkan lebih, semoga Allah memberi kekuatan lebih.

Di subuh ini. Aku menancapkan paku sejarah hidup. Merayakan tanggal lahir hijiriyah, 7 Shafar yang jatuh lima hari yang lalu. Sebulan dari sekarang, aku pastikan, hafal quran yang telah begitu telat akan selesai. Dengan izin dan pertolongan dari Allah. Aku ingin menjadi hamba yang lebih baik dari tahun ke tahun. Di akhir tulisan, aku mengemis kepada pembaca, untuk meluangkan waktu, mendoakan kelancaran dan keberkahan terhadap hafalan yang tengah kuperjuangkan. Semoga, doa yang baik dibalas ke sang pendoa dengan kebaikan yang berkali lipat Aamiin.

اللهم صل علي سيدنا محمد و علي ال سيدنا محمد

AM. Hafs
Singosari, 24 November 2015

Pena yang Bangkit Dari Hibernasi

Pada akhirnya, sekeras apapun aku menahan laju pena, ia tetap mengusik pikiran. Barangkali, ia kesepian berada di balkon. Sehingga dengan susah payah mengirimkan sinyal kerinduan kepada jemari. Lalu malam ini, dengan terpaksa aku menjemput dan memeluknya.

"Selain jemari, kau pasti merindukan ini, bukan?" bisikku sembari mengambil buku bersampul hitam. Pena nampak semringah. Lantas mengirim sinyal ke otakku. Membuat jemariku menari bersamanya. Menulis apa saja yang terlintas.

"Tak ada guna penyesalan tanpa kesungguhan untuk berubah. Kau si pemalas, si plin-plan, tukang tidur, dan temperamen. Tidak cukupkah teguran-teguran dari nurani yang telah kau terima? Tengok pula kertas mimpi yang kau tulis dan telah terpajang bertahun lamanya. Sampai usang. Miris, hanya satu saja yang masih tercoret.

Pun seharusnya, tulisan-tulisan lampau sok bijak yang kaukhianati, menjadi teguran keras. Tapi tidak, kau seperti menikmati alur kelam yang sama. Taubat yang hanya taubat sambal. Pedas, membuat lidah dan rongga mulut kepanasan, kesakitan tapi tetap kau cicipi dngan alasan nikmat dan ketagihan.

Senin, 23 November 2015

Terpidana yang Memimpikan ‘Madinah’

Setahun semenjak perhelatan pilpres, aku menggeluti profesi sebagai pembuat berita. Bukan, aku bukan wartawan.

Berawal dari kesulitan mencari kerja di masa pilpres. Aku, pengangguran tiga tahun lulusan SMK jurusan Multimedia, diajak bekerja oleh seorang teman. Ia menjadi salah satu tim sukses parpol peserta pilpres. Lelaki itu menawarkan gaji yang cukup tinggi, satu juta per minggu.

Agak ragu saat pertama mendengarnya. “Em-el-em, bukan?” selidikku suatu kali. Ia menjawab, bukan. Dijelaskan kemudian, kerjaku nanti hanya duduk mengawasi 3 set komputer sekaligus. Pokoknya cocok dengan ilmu yang kupelajari.

Aku mencoba berhati-hati. “Tak ada uang pendaftaran atau semacamnya, kan? Dan berapa jam dalam sehari?” cecarku yang hanya dijawab dengan lembaran kontrak kerja. Aku disuruh membaca, dan sesekali ia menjelaskan poin-poin yang membuat ketamakanku berliur. Tunjangan kesehatan, jaminan keamanan, liburan akhir tahun.

Setelah beberapa waktu menelusuri, aku sampai pada poin ‘berpengetahuan tentang berbagai agama’. Ketika kutanyakan, apakah itu keharusan? Ia menjawab singkat, “Santai saja semuanya bisa dipelajari.”

Rabu, 07 Oktober 2015

Duo Kampret Lagi Debat

"Gun." Di tengah keheningan beranda kos, Raka memecah keheningan.
 
"Apa?" Gunadi menjawab singkat. Tatapannya jauh ke langit yang mulai memerah.
 
"Ngomong-ngomong soal undangan ini ...."

"Napa?" Lelaki berwajah tirus itu menghela napas.
Raka membetulkan kacamatanya, "Tulisan ini." Dia tunjukkan kalimat salam dalam huruf alfabet yang tercetak Assalamu'alaikum Wr. Wb. "Yang disingkat bacanya gimana?"

Senin, 21 September 2015

Satu Cinta, Tiga Hati

Andai saja yang mencintaiku kini hanya satu. Sepertinya hari-hariku akan penuh dengan namanya seorang. Pun dengan isi blog ini, akan penuh pujaan terhadap dirinya. Akan penuh dengan senandung pahit manis cinta. Seperti beberapa tahun lalu, ketika seorang yang kucintai pergi ke penjara suci.

Berlembar-lembar serat rindu kutulis di buku catatan. Tengok saja beberapa penggal kalimat yang menurutku paling romantis.

14/13/07 03:28 PM WIB
Alunan rintik hujan menemani suasana hatiku. Percakapan dan pertemuan denganmu adalah hal yang selalu kunantikan. Sayang, aku senang mendengar kabar baikmu. Terima kasih buat pean yang tak pernah lelah menasehatiku dan mendoakanku. Bulir air mata ini mengiringi rintik hujan yang turun adalah rinduku.

Aku membacanya dengan sedikit tersenyum geli. Cinta benar-benar bisa membuat seseorang menjadi begitu "alay" dan lebay. Syukurlah, masa-masa patah hati itu telah terlewati dengan manis. Pun tak ada niat untuk memusnahkannya. Karena bagaimana juga, itu adalah kisah hidup yang indah.

Datang dan pergi. Cinta dan benci. Pertemuan dan perpisahan. Begitulah dunia ini. Semua diciptakan berpasangan. Karenanya semua hal harus kutakar secukupnya. Seperti pesan Nabiku.

Kembali tentang dua hati yang kini mendiami rasaku. Sebelumnya adalah sebuah kemustahilan. Tapi ketika aku berharap ini mimpi, yang ada hanyalah kepahitan secangkir kopi.

Tak bisa lari. Harus kuhadapi. Berusaha berada di tengah-tengah sebaik yang aku bisa. Walau kadang-kadang aku merutuki diri. Kenapa malah condong ke salah satu? Apa aku mempermainkan? Hah, pertanyaan yang terus menghantui.

Penaku, Pena (t)uhan

Penaku bertalu, bukan tuk kau seduh. Lalu kau beri cap. Lalu kau putuskan untuk tetap mengecap atau pergi dengan senyap.

Penaku menari, bukan tuk buatmu gerakkan kaki. Lalu kau gerutui. Atau kau caci maki. Atau kau rutuki. Atau ... kau tempeli puja-puji.

Penaku berlari. Untuk dunia sepi. Tanpa suara, walau di dalamnya musik mengalun indah. Tanpa gerakan, walau di dalamnya orang berlarian.

Penaku ... untuk terjemahkan isi hati. Membuat dunia dan mendapukku sebagai tuhan di dunia itu.

Sebagai tuhan ber-Tuhan. Adalah harus, untuk tetap menjaga kesadaran. Tentang, di sisi mana duniaku dimintai pertanggungjawaban.

AM. Hafs
Singosari 21/9'15

Menanti Kinanti

Berpadu padan detak nadi
Napasku menekuri sunyi
Menyapa halimun di ujung pagi

Kunanti kinanti
Sembuhkan jelaga hati
Biarkannya mengalun lirih

Usap kuusap hati
Jemariku memilah biji rindu
Dari ujung ke ujung pilu

Hari demi hari
Lakuku kian kaku
Terperangkap tempurung tapi

Adakah fajar segera terbit?
Lalu adzan tegakkan tumit
Membuat setan lari terbirit

Hitam kelabu
Bukan pekat seperti hatiku
Nyatanya aku masih menunggu

AM. Hafs
Singosari, 21/09/2015

Minggu, 20 September 2015

Kisah Cinta Playboy Kompleks

Aku merasa, apabila dirupakan drama korea, sinetron, atau telenovela, cerita hidupku sekarang akan membuat banyak penonton geregetan. Bagaimana tidak. Aku yang pemalas ini bisa punya banyak kekasih. Tak pernah telat makan. Walau pekerjaanku hanya keluyuran.

Tapi semenjak kejadian salah satu kekasihku hamil. hati ini rasanya enggan kembali menjalin cinta. Ada rasa berdosa dan bersalah. Walau untungnya, kekasihku itu pergi jauh bersama anak-anak. Meninggalkanku sendiri. Pun kutinggalkan semua kekasihku.

Setahun sudah berlalu. Aku masih sering merenung sendiri. Diam di rumah dan lebih sibuk bermalas-malasan. Hingga suatu hari salah seorang sahabat datang ke rumah.

Di hadapan sepiring makanan lezat dan semangkok susu, ia bercerita bahwa aku kini tengah menjadi buah bibir banyak wanita pendatang. Mereka bilang aku ini alim dan baik. Hanya karena tak lagi sering berkeliaran. Temanku bercerita sambil tertawa miris dan mungkin juga pedih. Miris karena ia tahu semua baik burukku dan pedih sebab ia bujang lapuk yang belum pernah memiliki kekasih.

Satu-dua minggu belakangan, aku mulai kembali berkeliaran. Sekadar melepas penat. Nongkrong pinggir jalan dengan kawan-kawan. Dan kembali iseng menggodai beberapa perempuan baru di komplek.

Hingga suatu malam minggu, ada gadis manis yang membuatku jatuh hati. Senyum dan kerling matanya ketika kami bersitatap, benar-benar membuat tubuhku bergetar. Hatiku? Jangan tanya. Seperti berlompatan. Dari beberapa kawan aku mengetahui, ia gadis pendatang. Ada di komplek sudah sebulan yang lalu. Tapi jarang menampakkan diri.

Semenjak kejadian itu, aku mengordinir kawan-kawan untuk nongkrong di depan rumah gadis itu. Hampir tiap malam aku bernyanyi di depan rumahnya. Sampai beberapa kali aku diguyur air comberan. Apa suaraku sebegitu falsnya? Aku tak ambil pusing dan tetap gigih bernyanyi untuknya. Lalu tepat di malam ke tujuh belas, di bawah purnama, ia keluar. Membalas nyanyianku.

Diri ini tertegun ketika ia berjalan ke arahku. Dunia tiba-tiba terasa menjadi begitu lambat dan hening. Aku melangkah maju, menyambutnya. Suitan kawan-kawanku tak lagi kuhiraukan.

Kami berdua lantas masuk ke dalam rumah dan bermesra di taman miliknya. Seolah kami sudah mengenal lama, begitu alami dan intim. Percakapan romantis mengalir, sampai-sampai, karena terbawa nafsu tanpa sadar aku telah memeluk erat tubuhnya dan hendak merengkuh bibirnya. Andai saja tak kudengar suara perempuan berdehem. Aku terkejut dan menoleh.

"Ka-kamu ...?"

"Iya, kenapa? Kukira kau akan lupa." Sorot matanya tajam. Gadisku beringsut dari pelukan. Wajahnya memerah. Ia berjalan ke arah perempuan itu. Meninggalkanku dengan keringat yang serasa keluar dari seluruh tubuh. "Apa tak cukup kau lakukan perbuatan bejatmu padaku? Sampai-sampai kau pun hendak menggagahi putrimu sendiri?"

"Pu-putriku sendiri?" Aku menatap gadis itu. Ia menunduk. Tampaknya semua ini telah direncanakannya. Lututku dan gigiku bergetar tanpa terkendali. Seluruh birahiku menciut.
"Tidaaak! Tidak! Tidaak!" Aku berteriak tanpa sadar. Memori kelam di masa lalu tiba-tiba hadir menghunjamku bertubi-tubi dan ...,

"Byur!"

Sekaleng air comberan kembali mengguyurku. Aku terkejut dan mengeluarkan suara-suara tak jelas, "Mreoong! Mreoung."

Berkonyong-konyong kembali ke rumah dengan tubuh menggigil. Menemui majikanku yang kubayangkan telah siap dengan sehelai handuk hangat, sepiring makanan lezat, dan semangkok susu pembentuk tulang kuat.

AM. Hafs
Singosari, 20-9-2015

AM. Hafs

Jumat, 18 September 2015

Secarik Pesan untuk Perempuan Perduku

Tepat satu bulan, beranjak dari usia kedua puluh empat. Ingin rasanya aku berkirim kata hati pada perempuan pertamaku, ibu.

Bu, kadangkala aku ingin sesekali kembali ke pangkuanmu. Bermanja di sana lalu menuntaskan seluruh keluhku. Tentang apapun. Tapi tak pernah bisa. Bahkan sejak kecil aku sudah terlalu takut untuk mengungkap isi hatiku padamu. Kecuali ketika aku benar-benar sudah merasa tak berdaya. Sebab, entah kenapa aku takut membuatmu terbebani. Sedang aku sendiri masih belum bisa keluar dari peran sebagai bebanmu.

Bu, kalau saja saat ini aku bisa bermanja di pangkuanmu, ingin sekali kutumpahkan segala resah dan rasa. Tentang hati, tentang impian, dan semuanya. Agar aku bisa memperoleh petuah keramatmu. Lebih-lebih soal perempuan yang kini tengah selimutiku.

Dari dulu, Bu. Dari dulu sekali, semenjak aku mulai mengenal cinta ... aku selalu takut jika sampai ketahuan olehmu. Maka dari itu, aku berusaha berjalan sendiri. Menjelajah nama demi nama. Hati demi hati. Belajar menyelami hati perempuan. Walau sejatinya aku tahu, yang paling mengerti perempuan adalah kaum mereka sendiri.

Ingin sekali aku bercerita tentang dua nama yang kini tengah mengisi hati. Barangkali engkau marah, Bu, ketika mendengar ini. Karena menganggap anakmu ini tengah mempermainkan hati perempuan. Tapi, sungguh, Bu. Atas namamu, aku tak berniat seperti itu. Apalagi aku punya adik, putri kesayanganmu. Hanya saja, entah kenapa, aku tak mampu memilih salah satu. Bahkan sepertinya aku lebih tega untuk tak memilih keduanya, Bu. Di sinilah aku merasa ... membutuhkan bantuanmu.

Tapi, dari watakmu, aku bisa menduga-duga. Barangkali nasehatmu akan seperti ini, "Selesaikan dulu tanggung jawab quranmu. Tanggung jawab terhadap masmu. Setelah itu baru berpikir tentang perempuan." Ta-tapi, Bu ... ketika membuat keduanya menunggu, aku merasa tak nyaman. Aku merasa berdosa atas dua hati ciptaan Rabbku.

Inginnya, hanya satu nama. Lalu aku tenggelam dalam satu doa, dalam satu cinta, selagi aku dan ia mengejar cita. Sedang, tetap saja aku tak mampu untuk menyakiti salah satu.

Bu, sebagai seorang perempuan yang paling mengertiku dan mengerti perempuan itu sendiri. Ingin sekali aku bisa meminta saranmu dari keramatnya lisanmu untuk memilihkan satu. Satu yang paling cocok dengan hatimu. Ya, hatimu ... bukan hati labilku ini, yang suka condong ke kanan dan ke kiri seenak hati.

Pada akhirnya aku cuma bisa berandai-andai sembari menahan sesak dan perih di ulu hati. Sebab dari dulu ... aku lebih sering ditolak. Kali ini, sekalinya ada yang menerima diri ini dengan segala kekurangan. Aku malah menghadapi situasi yang serba salah. Hingga akhirnya aku mencoba untuk pasrah. Meski yang terlihat seperti mematikan hati.

Bu, barangkali engkau berkenan hadir di mimpiku. Agar aku tak malu merealisasikan semua pengandaian tadi. Lalu engkau pilihkan satu nama untukku dan merangkul nama yang lain ke dalam pelukmu. Agar ia tak merasakan sakit sebagaimana sakit-sakit yang pernah aku rasakan di masa lalu, ketika mencintai. Bisakah, Bu?

Akhirnya, hanya mampu berharap. Semoga Penciptamu kabulkan rintih putramu yang belum sepenuhnya patuh ini, Bu. Aamiin

AM. Hafs
Sgs, 18915

Jidat Penjual Sunnah

Entah kenapa, Hasbi melihat dahi-dahi mereka dengan tatapan lurus tanpa kedip. Bahkan mengikuti gerak mereka hingga menghilang dari balik pintu.
.
"Hasbi?" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya, yang terpaku ke arah pintu keluar.
.
Hanya isyarat telapak tangan yang kuterima darinya. Aku lantas melanjutkan makan siang, begitu juga lelaki paruh baya itu.
.
Seusai makan siang, sewaktu berjalan kembali ke pasar, aku bertanya, "Kenapa tatapanmu tadi?"
.
"Entah ...."
.
"Maksudmu entah?" Dahiku berkerut, "memang apa yang kali ini kau lihat?" kejarku.
.
"Penjual Sunnah."
.
"Di dahi mereka?"
.
"Iya ...." Dia lalu mengangkat bahunya dan berujar, "Tak perlu diseriusi."
.
Aku hanya menggaruk kepala. Bagaimana tak kutanggapi serius, sedang aku tahu siapa yang ia tatap. Salah seorang tetanggaku yang kerap kali menulis hadits-hadits di skun facebooknya.  Hadits tanpa matan, tanpa perawi. Hanya ada tulisan berawal sabda Rasulullah dan diakhiri bagikanlah agar mendapat pahala. Yang lebih parah lagi, tetangga itu tiap malam minggu bermain kartu denganku di pos ronda. Tak jarang sampai hilang subuh.
.
Mengingat semua itu, keringatku menderas. Dengan sedikit ragu aku bertanya, "Rin?"
.
"Iya?"
.
"Apa yang kau lihat dijidatku?"
.
"Sama sepertiku."
.
"Ahli surga?" Senyumku melebar. Mengingat ia adalah seorang lulusan pesantren yang terkenal sholeh. Tak pernah absen mengimami sholat lima waktu di masjid. Kecuali jika ada udzur syar'i.
.
"Bukan," jawabnya ringan.
.
"Eh? Lalu?"
.
"Ahli Neraka."
.
Tiba-tiba pandangku berkunang-kunang dan ... gelap. Sebelum kemudian terbangun dengan kondisi tergeletak di serambi masjid.
.
(Dikembangkan dari sebuah kisah sufi di masa lalu.)
AM. Hafs
Sgs, 18915

Kamis, 10 September 2015

Mengenali, Susu dan Setan

"Belum dikatakan mengenal seseorang ketika hanya mengenalnya dari satu sisi."

Petuah dari guru SMPku itu masih membekas. Lalu terbawa kepada masa kini, di mana aku menemukan keluarga baru. Keluarga yang kebanyakan masih terlihat dari satu sisi.

Bersyukur ketika bertemu dengan seseorang yang terlihat sisi buruknya dulu, sebab ketika siai baiknya muncul, hatiku akan merasa malu. Ternyata ia lebih baik dariku.

Tapi ... adalah ujian, ketika di hadapkan pada manusia-manusia setengah dewa. Mereka adalah bom waktu dengan membawa sumbu-sumbu kebaikan. Apabila suatu saat sisi buruknya terungkap, aku harus siap. Siap menerima kekurangan itu, atau pergi menjauh tanpa sekalipun melupakan kebaikan sekecil apapun yang mereka berikan.

Jujur, hal terakhir itu yang paling susah. Kalau boleh mengambing hitamkan seseorang, aku akan menyalahkan penemu peribahasa, "Nila setitik, rusak susu sebelangga."
.
Tengok saja, di tengah banyaknya masyarakat yang kekurangan gizi, sangat mubadzir menyia-nyiakan susu sebelangga. Apalagi kalau cuma untuk membuktikan, "Apakah nila setitik bisa merusak susu sebelangga?" Kenapa tak memakai satu gelas saja? Ya, satu gelas saja jatahnya sendiri. Jangan sebelangga. Khawatir kalau masuk media online akan jadi hujatan. Gara-gara eksperimen itu, ia akan dihukumi temannya setan. Tahu kan maksudku? Padahal temannya setan itu ya mereka yang waktu minum susu tidak baca doa.

AM. Hafs
Malang, 10915

Yuk Ikutan GiveAway #Eventtitle Happy One Lovrinz Publishing. Berhadiah 5 buku untuk 5 pemenang. Klik di sini!

Selasa, 01 September 2015

Give Away #EventTitle Happy One Lovrinz

Kulo nuwuuun ...
Halu para sahabat dan para lovriners!

Ada kabar gembira! Dalam rangka perayaaan harlah setahun Lovrinz publishing, --sampai saat ini sudah menerbitkan 80-an judul-- Lovrinz mengadakan give away #EventTitle. Apaan sih?

Yup yup, #eventtitle ialah membuat karya bebas berupa prosa atau puisi. Syarat utamanya, karya tersebut harus mengandung satu atau lebih dari 50 judul terbitan lovrinz. Semakin banyak judul yang digunakan akan menambah point penilaian.

Hadiahnya? Jangan khawatir! Ada 5 judul buku untuk 5 karya terbaik. Boleh kirim sebanyak-banyaknya. Batas akhir pengiriman karya, Senin, 7 September 2015, pukul 12:59 WIB. (Diperpanjang sampai tanggal 14 September 2015 karena ada kelalaian dari PJ event)

Syarat lainnya :
-Bagikan info ini di wall fb masing-masing dengan menyertakan ucapan harlah Lovrinz dan sebuah doa untuk Lovrinz Publishing.
-kirim karya ke email m.agus.r18@gmail.com dengan subjek : EventTitle_(nama akun fb)_(jenis karya : prosa atau puisi)_(judul karya)
-Tag akun Ajeng Maharani, Penerbit Lovrinz dan PJ event Muhammad Agus Riwayanto pada saat membagikan kiriman ini. (Yang belum berteman dan kepingin mengikuti event ini, inbok dulu saat mau add friend. Terima kasih)

Yang belum tahu judul-judul terbitan Lovrinz mengunjungi isbn.perpusnas.go.id search berdasarkan penerbit dengan kata kunci lovrinz.
Selamat berkarya!

Matur nuwuuun!

Senin, 24 Agustus 2015

Nara yang Kutera

Nara ...
Ada masa di mana tak akan lagi mencuri sayang makhluk lain untuk kuabadikan.
Ada masa di mana aku tak akan lagi mencantumkan nama buatan di rasa sayang yang kutulis.
Ada masa di mana aku tak akan lagi menyembunyikan rasa sayang di balik puisi.

Nara ...
Kusembunyikan kisah padamu
Kusembunyikan rindu padamu
Kusembunyikan cinta padamu

Hingga ...
Nanti, kulabuhkan puisi di gendang telingamu

Kini, biarlah kuabadikan
Sesurat ungkapan
Padamu, Nara ...

Aku menyayangimu di antara dua tali
Tali kebaikan dan tali keburukan
Jaga aku melalui doamu
Agar sayang tertambat dalam jerat kebaikan

Aku menyayangimu di antara dua jalan
Jalan kebaikan dan keburukan
Bantu aku dengan doamu
Agar sayang ini senantiasa menyusuri jalan-Nya

Aku menyayangimu di antara dua hal
Nafsu dan ketulusan
Selamatkan aku dengan doamu
Agar sayang ini tak terbujuk nafsu

Aku menyayangimu di antara dua jurang
Jurang kesewenangan dan jurang kepasrahan
Iringi rasaku dengan doamu
Agar hatiku tak menempatkan namamu di atas Allah, Rasulullah dan orang tuaku

AM. Hafs
Singosari, 24 Agustus 2015

Rabu, 19 Agustus 2015

Terima Kasih, Allah

Terima kasih, Allah. Telah menjadikan ibu, bapak dan adikku saat ini, sebagai ibu, bapak dan adik di hidupku.

Terima kasih, Allah. Telah menjadikan sahabat-sahabatku saat ini, sebagai sahabat-sahabat di hari-hariku.

Terima kasih, Allah. Telah menjadikan guru-guruku saat ini sebagai guru-guru di perjalananku mencari ilmu-Mu.

Terima kasih, Allah. Atas kasih sayang-Mu yang terus mengalir walau diri ini lebih sering dan lebih lama bercengkerama dengan makhluk-Mu daripada dengan-Mu.

Terima kasih, Allah. Atas kesempatan berladang di dunia hingga hitungan kedua puluh empat ini. Walau kurasakan, masih lebih banyak maksiat daripada taat. Masih sering kufur daripada syukur nikmat. Semoga saja, di kesempatan kali ini, Engkau beri hamba kekuatan untuk sebenar-benar taubat. Aamiiin.

AM. Hafs
Singosari, hari kesatu dari kesempatan ke dua puluh empat.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Mengerti Tak Mengerti

Semua mengerti, hanya untuk mengeluarkan yang layak keluar pun butuh tempat sepantasnya. Lantas, kenapa kamu buang semua pada tulisan yang seolah tak bertempat?
Tidak, aku tak menyebutmu bodoh, Gus. Hanya saja kamu kurang pandai, menempatkan apa-apa pada tempatnya. Pikirkan, apa bedanya kamu ... dengan bocah-bocah yang baru menetas itu? Bocah-bocah yang belum mengerti adab tata krama. Bocah-bocah merah, yang pengendaliannya terhadap kata, seperti mengendalikan kerbau liar, pontang-panting. Tak ada bukan?

Sudahlah, Gus. Alihkan saja semua tenaga dan pikiran itu pada 'goal'mu. Tak perlu sok baik mengurusi negara yang saat ini di luar jangkauanmu. Cukuplah, sematkan doa pada negeri merah putih yang sekarang hitam, putih, abu-abunya pun memerah!
Iya, aku paham dengan ucapan, "Penulis harus peka. Rakyat harus peduli terhadap pemerintah, mengawasi. Peduli pada lingkungan sekitar." Paham, sangat paham. Tapi mbok ya tahu diri. Dirimu sendiri itu butuh dibenahi. Mosok ta ya, kamu mau teriak-teriak ke mereka yang jalan-jalan ke mall cuma pakai celana daun, padahal dirimu sendiri telanjang. Lak yo piye?

Sekali lagi, kamu mesti tahu diri, tahu posisi. Pelajar, yo tugasnya belajar. Mempelajari yang haq dan yang batil. Biar kenal dan mudah memisahkan mereka.
Sek ngotot mau ngurusi negara? Memangnya FPmu sudah diikuti berapa orang? Belajar dulu sampai tuntas dari tempat yang kamu diami saat ini. Nanti, pasti ada waktumu berbuat lebih. Cueklah pada omongan orang, sekali-kali kamu mesti egois. Sebab nyatanya, tak semua orang mampu mengerti dan mesti dituruti.
AM. Hafs #renunganpagi.

Rabu, 12 Agustus 2015

Menulis adalah Perjalanan

Menulis adalah perjalanan seumur hidup. -Muhammad Walid Khakim (Penulis)

Begitulah, dari tulisan ... mampu dinilai bagaimana cara berpikir, wawasan dan juga karakter seseorang. Sekalipun ia memanipulasi, kalau kata Mas Novanka Raja (CEO Kinomedia), akan tetap terbawa emosi, sisi ego, dan juga opini pribadinya. Di sisi lain, dunia ini terlalu mubadzir dan juga sempit untuk sebuah kebohongan.

Menulis adalah perjalanan hidup, mengabadikan pikiran, juga kenangan. Melalui tulisan juga, akan mampu terselami seberapa kemajuan atau kemunduran seseorang dalam berpikir. Ada masa galau dan lantas membuat status alay atau ada masanya juga merenung dan membuat status bijak. Walau terkadang hanya mengolah kembali petuah motivator, tapi setidaknya bukan menyalin dan menampilkan tulisan orang lain lalu mengakuinya.

Dari situ, ketika telah dewasa dan menghadapi galau yang sama, bisa jadi tulisan alay di masa lalu menjadi cambuk untuk tidak berbuat hal serupa.

Biarkanlah diri berproses. Kalau kata Asma Nadia, "Menulislah dengan jujur." Jujur dengan wawasan yang dimiliki. Mengakui kelemahan bukan untuk minder, tapi untuk diperbaiki. Sebab ... memang menulis itu perjalanan.

Seseorang yang bergelut di dunia pendidikan harus memaksa otak dan energi, bila hendak menulis tentang profesi lain. Loncatan itu butuh proses. Sembari membiarkan aksara tumbuh dan berkembang, Asma Nadia menyarankan, "Tulis saja apa yang ada di sekitarmu."

Mari tengok Andrea Hirata. Tulisannya tentang olah dari kehidupan yang ia jalani. Ahmad Fuadi, Tasaro GK, pun sama. Baru ketika mahir, mereka mulai melakukan loncatan-loncatan dengan menuliskan pengalaman orang lain. Kalau kata mas Wenda Koiman (Novelis), "Tantangannya masih sama, mengubah yang sederhana menjadi luar biasa." Mau contoh? Tonton film Slum Dug Millionaire.

Lain kata alay, lain pula kata bijak. Kata bijak juga bisa menjadi cambuk. Kapan? Ketika hati merasa heran saat membacanya dan berkata, "Aku dulu kok bisa seperti itu ya?"

Kembali, menulis adalah proses dan perjalanan. Nikmatilah seperti menikmati masa sekolah. Ada tawa, jam kosong, ulangan mendadak, tangis, duka, berantem, canda, cinta, rindu, ujian kenaikan kelas, juga ujian kelulusan. Sebab sejatinya menulis adalah hidup itu sendiri.

AM. Hafs
Singosari, 12815

Mengejar Keberkahan dalam Menulis

Tiba-tiba teringat tentang kisah ibunda Husein At Tabataba'i. Bocah cilik dari Iran yang hafal dan memahami isi Alquran di usia lima tahun. Dalam bukunya diceritakan, sewaktu balita, tiap hendak menyusui Ibundanya berwudhu terlebih dahulu.

Aku pun lantas merenung. Sebagai calon penulis yang meniatkan hati untuk beramal sholeh, alangkah bagusnya apabila ketika menulis, tubuh ini terusahakan dalam keadaan suci. Sekalipun belum terpahami manfaat langsungnya, paling tidak ada pahala wudhu dan pahala dawamul wudhu ketika menunaikannya. Husnudzon saja, semoga keberkahan menjaga wudhu bisa menjaga hati dari keburukan sewaktu menulis. Dan semoga mampu mengamalkan dengan istiqomah.
Seperti saat ini, aku mengisi blog dalam keadaan wudhu. Hanya saja saat hendak menulis, aku lupa membaca basmalah. Teringat sebuah pengajian dalam acara maulid, kalau terlupa membaca basmalah, hendaklah mengucapkan, "Bismillaahi awwaluhu wa akhirohu."

AM. Hafs
Singosari, 120815

Kamis, 30 Juli 2015

Jangan Buang Alat Elektronikmu yang Rusak!

Ternyata, kegiatan menyimpan barang-barang elektronik rusak selama ini berguna. Ada empat buah headset rusak, yang satu rusak speakernya dan yang satu rusak colokannya. Dulu sudah kucoba untuk menyambungkan, tapi gagal. Malam ini, baru kutemukan bahwa akar masalahnya ada di kabel. Warna merah dan hijau pada kabel, merupakan lapisan agar kutub min dan plus tidak sambung. Dan cara menghilangkannya cukup dibakar sebelum disambung. Namun jangan dibakar semua, sisakan bagian pangkal untuk mencegah kedua kutub bersatu.

Mungkin ada yang tersenyum getir membaca ini, tapi tak apa. Maklum saja, karena aku belajar kelistrikan secara informal. Dari mengamati bapak dan beberapa teman yang kuliah kelistrikan.

Jika boleh mengingat-ingat, agaknya kegemaran bongkar pasang barang non maupun elektronik telah kulakoni semenjak balita. Tak terhitung jumlah mainan, entah itu robot-robotan atau mobil-mobilan yang jadi korban. Bahkan untuk kategori elektronik sendiri, aku pernah membuat percobaan ngawur gara-gara rasa penasaran.

Senin, 13 Juli 2015

Muhasabah Sebelum Kembali Menepi (yang Bisa Jadi Akan Gagal Lagi)

Setelah beberapa hari ini jemariku lincah berkhotbah di beranda facebook dan komunitas kepenulisan. Beberapa waktu setelahnya aku merenung. Menghisab cacat diri juga hati. Di samping untuk sebuah asa akan perbaikan, juga agar aku tak punya waktu menghitung cacat orang lain. Dari renungan itu, kuhasilkan beberapa patah-dua patah kalimat berikut.

Betapa bahagianya orang-orang yang bisa tuli dari pujian. Tak sepertiku, yang buncah ketika sebiji jempol menempel di karyaku. Padahal simbol jempol itu bisu dan absurd. Sebab suka tak berarti bagus.

Jauh dan Harap, Rindu


Jauh di wajah rembulan, aku menari-nari. Berharap di suatu malam kau memandangiku dan terhibur.

Jauh di lubuk hati, kumainkan gitar. Berharap antara nadiku dan nadimu saling berbisik lalu mengirimkan denting demi denting petikanku.

Kini, di pagi yang mulai membuka mata, aku berdansa dengan angin. Disaksikan telaga warna dan hamparan pasir putih. Berharap getar derap langkahku disampaikan bumi. Lalu menggelitik hatimu untuk turut berdansa di balik jarak dan waktu.

Ah aku ingat. pernah suatu malam aku nekat meloncati mimpi. Mengendap-endap memasuki mimpimu. Bersembunyi di balik pohon yang teduh di sana. Mengintipmu yang tengah bermimpi meniup dandellion, lalu mengamatinya hingga terbang jauh dan menghilang. Seolah kau tengah menitipkan pesan pada seseorang padanya.

Sebelum mentari terbit dan matamu terbuka. Aku kembali berjingkat-jingkat keluar dari mimpimu. Dan tatkala aku telah sampai di 'rumah', kudapati puluhan dandelion merebah di meja mimpi bertuliskan "Rindu".

Sekuat tenaga kutiup melalui jendela. Berharap mereka sampai sebelum senyum mentari sambangi pandanganmu. Setelah sebelumnya kuajari mereka tentang sebentuk kata, "Terima kasih."

AM. Hafs
Singosari, 13-07-15

Sabtu, 02 Mei 2015

Aku Menyebutnya, Kecenderungan

Terkadang ada hal-hal yang sebaiknya tak disampaikan. Karena hanya akan memperkeruh suasana. Bukan untuk dipendam, tapi menunggu saat yang tepat. Menunggu kepala dingin dan jernih, sehingga mampu memandang semuanya dengan lebih menyeluruh.

Terkadang ada hal-hal yang cukup diketahui orang terdekat saja. Karena biasanya mereka lebih mampu memberi masukan terlebih dahulu sebelum menjudge macam-macam. Bersyukur, aku dikaruniai sahabat-sahabat yang selalu melihat apa yang kukatakan dengan luas. Tak serta merta membelaku. Mereka tahu, terkadang ada hal-hal yang cukup didengar.

Terkadang aku malah heran dengan orang jauh, yang seolah tahu masalah menyeluruh. Tapi begitu memberi kesimpulan, mereka tenggelam dalam justifikasi dangkal. Dan lagi, orang-orang jauh itu ternyata cukup punya energi untuk mencampuri masalah. Bahkan tanpa diminta. Ketika melihat hal tersebut, cukup positif thinking saja, mungkin mereka terlalu bahagia atau tak punya masalah, sehingga repot-repot mengurusi masalah orang lain.

Terkadang, orang cenderung menghakimi sebelah mata. Ketika orang yang disukainya bermasalah, dibela mati-matian. Sedang ketika orang yang dibenci melakukan sedikit saja kesalahan, yang terlihat adalah nokta besar.

Pada akhirnya aku masih merasa, terkadang heran dengan sikap-sikap orang yang mengaku dewasa, tetapi kebingungan dan heboh ketika berhadapan dengan masalah. Padahal seharusnya mereka bercumbu dengan ketenangan dan kejernihan hati.

Ya, itulah, keterkadangan yang pada akhirnya kunamai kecenderungan.

AM. Hafs
Singosari, 02 Mei 2015

Rabu, 29 April 2015

Air Mata Langit

Air mata langit bersekutu
Memenjarakan pandanganku pada dedaunan yang menari bersama lambaian angin
Coba pandangi lekat tangkapan retinamu
Bagaimana mereka menyampaikan bisikan-bisikan rindu
Rindu yang kembali merebak bersama napas bumi

Air mata langit saling bertaut
Menenggelamkanku pada awan bergelayut yang bercumbu dengan kabut
Coba tatap bagaimana mereka mendendangkan nyanyian hujan
Bersama balutan genderang dan kilatan petir yang bersautan
Membuat kenang kian berkelindan

Air mata langit mulai pudar
Awan pengangkut butiran es dan kabut berarak pulang
Membiarkanku mengeja memoar
Lalu kuabadikan di catatan seribu mimpi; sebelum hilang
Sebab surya kian terang berpendar

Air mata langit tak lagi berwujud
Wajah langit kembali membiru
Kutundukkan hati dan bersujud
Meresapi tiap makna di lembar baru
Menghamburkan syukur atas terbitnya pelangi sepeninggal kabut

AM. Hafs
Singsari, 29 April 2015



Jumat, 17 April 2015

Ledakan Amarah Kak Awi di Surau Kami

Tak seperti biasanya. Kak Awi yang biasanya berwajah ceria, sejak langkah kanannya memasuki surau tatapannya tajam, tanpa senyum. Melihat kami yang sudah berkumpul di ruang salat, dengan suara tegas Kak Awi menyuruh kami berkumpul di ruang mengaji.

Beberapa teman kecil yang tak menyadari perubahan Kak Awi masih bertingkah seperti biasa. Mencandai dan mengajaknya bicara. Namun Kakak yang berumur 23 tahun itu hanya diam dengan sorot mata yang masih saja tajam.

Setelah aku dan selurih tema berkumpul, Kak Awi dengan nada tinggi memberi perintah, "Semuanya lekas duduk!"

Saat itulah, semuanya menyadari ada hal yang tidak beres. Seketika keadaan pun hening. Tak seperti biasanya yang santai.

Setelah uluk salam. Kak Awi mulai mengeluarkan kemarahannya,"Siapa yang nyuruh pulang pas Rabu kemarin?"

Kamis, 09 April 2015

Tip Bersepeda Menaklukan Bromo 100 Km

"Hai Bro!" Taro menyapa Edi yang tengah bersepeda santai. Edi menoleh diiringi bunyi decit ban yang direm. "Ciye yang rajin latihan, denger-denger lu mau ikut event Cycling Bromo 100 km ya?"
Edi turun dari sepeda, dan menghampiri karibnya tersebut. "Iya, kurang dua hari lagi nih. Lumayan buat ngisi waktu liburan. Tapi gue bingung apa yang mau disiapin. Eh, bukannya lu atlit kecamatan, lu gak ikutan juga?"

"Enggak, gue lagi persiapan event propinsi bulan depan."

"Oalah. Eh joinan ya?" Edi mengambil secangkir kopi Taro yang tersaji di meja. "Lu ada tips khusus gak buat gue?"

Rabu, 08 April 2015

Keajaiban Pikiran

Aksara demi aksara yang kulepas. Terkadang saling rangkai-merangkai ketika proses menulis berlangsung. Tak jarang berasal dari tema yang dilempar oleh teman-teman penulis. Di situ aku merasa bersyukur memiliki mereka.

Dorongan atau motivasi adalah hal terpenting untuk menjadi pelapis sebuah kemauan. Terutama dalam menulis. Setelah berkemauan untuk menulis, aku harus memotivasi diri dengan sebuah visi. Apa sebab aku memaksakan diri menulis tiap hari? Agar aku bisa terus mengasah kemampuan yang super duper pemula ini.

Seorang sahabat bertanya, "Apakah target itu tak membuatku merasa tersiksa?" 

Senin, 06 April 2015

Pentingnya Target dalam Menulis

Membuat target dalam kehidupan itu suatu keharusan. Karena dari sana akan timbul motivasi. Target tidak harus muluk-muluk. Awali semuanya dari hal kecil.

Target besar anggap saja sebagai tujuan utama. Di samping itu, kita butuh tunggangan untuk sampai ke sana. Seumpama ingin tulisan menembus media dijadikan sebuah target besar, maka selanjutnya harus berpikir untuk memilih tunggangan ke sana.

Seperti menuju sebuah kota. Bisa menggunakan dengan Kereta, taksi, bus, angkot, atau jalan kaki. Target tembus media pun sama. Bisa dimulai dengan mengisi blog, belajar pada yang ahli, sekolah formal, atau ikut komunitas kepenulisan.

Di samping tunggangan. Hal yang tak kalah penting adalah kemauan dan bekal. Kemauan akan membuat niat dalam hati lebih gigih dan lurus. Sedang bekal bagi penulis adalah membaca. Dari membaca, ilmu tentang teknis kepenulisan atau pun pengembangannya akan terkuasai.

Bila kemauan dan bekal dirasa cukup. Bisa dimulai acara pedekate alias riset mengenai media yang akan dituju. Jangan sampai salah alamat semisal cerpen nyastra malah terkirim ke majalah remaja.
Bila semua ikhtiar telah terpenuhi, maka tinggal bertawakkal dalam doa. Mengutip tips dari seorang kawan, "Tulis, kirim, lupakan dan jangan lupa disedekahi." Akhirnya, selain tujuan besar tersebut, hal lain yang tak boleh terlupa ialah mari berkarya dalam menebar kebaikan dan memperluas wawasan. Karena tiap kata yang tertayang akan dimintai pertanggungjawaban.

AM. Hafs

Kamis, 02 April 2015

Memandang Jendela Kehidupan

Keriuhan anak sekolah menjadi musik pengiring kehidupan kerjaku. Tak ada kata bising, ketika telah mampu menikmatinya. Begitu pula dengan masalah yang hadir. Tak ada kata berat jika bisa menyikapinya. Seperti judul lagu Jason Mras, "The World As I See It."

Aku bersyukur ditakdirkan menggeluti dunia kepenulisan. Melalui aksara-aksara yang tercoret, aku membebaskan pikiran dalam pantauan tanggung jawab, menerapi jiwa, dan meluaskan pikiran.

Pernah kubaca sebuah tulisan yang melarang untuk menulis ketika marah. Alasannya emosi dalam tulisan jadi tidak terkontrol. Tapi menurutku sebaliknya. Tuliskan! Tulis sampai emosi mereda. Tapi jangan dipublikasikan. Setelah tulisan itu rampung, biarkan mengendap bersama emosi yang ada.

Di lain waktu atau lain hari, bacalah kembali tulisan tadi. Maka dari sana, hati akan menemukan hal-hal salah yang sebelumnya teranggap benar.

Ahad kemarin, aku pulang ke rumah. Alhamdulillah, kakak sepupu tengah berkunjung. Dari luar terdengar sebuah obrolan yang nampak seru.
Setelah uluk salam, aku mulai duduk, mengikuti diskusi dan mencermati.

Kakakku yang seorang single parent bercerita. Suatu hari ketika kakakku yang bekerja sambilan sebagai penjual jamu tengah melayani pembeli, seorang ustadzah tiba-tiba mendatanginya dan berkata, "Ra, kamu itu haram berjualan reng usuk. -bambu yang telah dipotong menjadi seukuran tongkat panjang. Biasa digunakan untuk alas genting rumah- Soalnya, yang beli bukan muhri. Lalu, pas ngangkat dari tempat rendaman, baju kamu basah dan lekuk tubuhmu tercetak."

Karena posisinya di hadapan orang banyak, Kakakku bukannya sadar, malah merasa dipermalukan. Tak ayal, ia pun membalas dengan frontal dengan mengatakan kalau dia gak kerja apa si ustadzah yang mau membiayai kehidupannya. Lagian yang namanya mengangkat bambu dari tempat yang basah ya pasti basah. Toh niatnya gak buat ditampangkan. Pakaiannya juga berlengan panjang dan berhijab. Si Ustadzah langsung meninggalkan tempat tanpa bisa menjawab.

Ketika hendak menanggapi, aku terlebih dahulu memisahkannya sebagai dua masalah yang harus disikapi berbeda.

Setelah mengambil napas panjang. Aku mulai menanggapi, "Mbak, di sini ada dua masalah yang perlu dipisah. Yang pertama mengenai ketidak bolehan berinteraksi dengan bukan muhrim itu kalau interaksinya berbuat yang maksiat. Tapi kalau ada keperluan yang dibenarkan syariat, ya gak papa."

Yang kedua, apa yang disampaikan ustadzah tentang keharaman tubuh yang tercetak, itu benar. Tapi, cara penyampaian yang dilakukan di depan banyak orang, itu salah. Seharusnya ustadzah tadi bertandang ke rumah, Mbak dan berbicara empat mata."

"Lha yang namanya masuk ke air, baju apapun ya pasti tetep tercetak! Emang punya caranya biar gak tercetak, gimana?" potongnya dengan sedikit emosi.

"Sebentar, begini. Aku belum punya solusi. Tapi sementara ini hanya saran. Mbak Mira jangan menganggap hal tersebut benar, dan harus diikuti usaha untuk menemukan solusi. Sembari ikhtiar, di tiap selesai salat Mbak memohon ampun kepada Allah. Kata-katanya kira-kira seperti ini, Ya Allah, ampunilah hamba atas kenampakan tubuh tersebut. Engkau tahu hal tersebut tidak hamba lakukan dengan sengaja. Dan hamba memohon, berikanlah jalan terbaik untuk mengatasinya. Dengan begitu, harapannya kekhilafan Mbak bisa dimaafkan oleh Allah SWT."

Dia tampak manggut-manggut. Bersamaan dengan itu, Pakdhe mengetuk pintu. Menjemput Mbak Mira untuk pulang. Tak lupa sebelum berpisah, kami saling bermaafan dan berterima kasih.

AM. Hafs
Malang, 30 Mar 2015

Menggurat Rindu

Judul ini lahir dari kebuntuan. Mulai kemarin, 1 April 2015, aku mewajibkan diri untuk latihan menulis. Waktu yang kualokasikan hanya sejam, dari 05.30 sampai dengan 06.30. Namun hari ini, hingga pukul 06.00 tadi aku belum juga menemukan bahan yang bisa dikembangkan dengan bebas. Kebuntuan pun menjalar.

Ah, kebuntuan ini tak bisa disepelekan, batinku. Lantas, jemari ini pun mulai bergerilya. Membuka obrolan di grup BBM hingga ber-chit-chat dengan kawan-kawan. Dari sana, akhirnya lahir sebuah judul di atas setelah sebelumnya aku melempar tema televisi di grup.

06.10. Waktu untuk merangkai kataku tinggal 20 Menit. Sembari menulis, otakku berlarian menggeledah arsip ingatan. Demi memadukan rindu dan televisi. Apakah akan berupa fiksi, artikel, celoteh atau puisi? Baiknya, kupejamkan saja, agar mata hati berkesempatan untuk melihat lebih dalam.

Setelah mengambil napas panjang, mulailah jariku menggurat rindu.

Rindu ...
Rinduku tak seperti menghidupkan televisi
Yang cukup sekali pencet lalu bisa menyala dan berceloteh ria

Rindu ...
Rinduku tak seperti tayangan televisi
Yang apabila bosan, bisa dengan mudah berganti channel hati

Rindu ...
Rinduku tak seperti berita pagi
Yang bisa dikabarkan dengan gamblang tanpa perih

Rindu ...
Rinduku tak seperti program televisi
Yang dijeda ribuan iklan penarik hati
Ah, Rindu ...
Aku hanya mengguratmu sekehendak hati
Janganlah dimarahi atau dimaki
Karena aku khawatir, rinduku kian merintih.

06.24, tanpa kata penutup, tulisan ini kuakhiri. Semoga rindumu kian menjadi. Hingga terbawa mimpi. Hei, Kawan! Ini sudah pagi. Mari berlari  untuk kehidupan, yang lebih baik lagi.

AM. Hafs
Singosari, 02/04/2015

Rabu, 01 April 2015

Masih Terlalu Pagi!

Masih terlalu pagi untuk merintih. Meski negeri ini kian lepas kendali. Karena sesungguhnya, masih banyak langkah-langkah kecil yang bisa membuat setidaknya diri sendiri menjadi lebih baik. Bukankah perubahan diawali dari hal kecil?

Masih terlalu pagi untuk mengeluh. Sedang matahari masih saja datang dengan ceria, menyingkap kabut yang membuat berdiri rambut-rambut halus di kulit tangan dan kaki. Juga menggigilkan rindu di hati. Kenapa tak dicoba untuk bersyukur? Mensyukuri nikmatnya bersujud, subuh tadi.

Masih terlalu pagi untuk membiarkan amarah menari. Membuat gerah pikiran juga hati. Kenapa tak tersenyum saja? Menikmati tiap hiruk pikuknya yang hampir selalu sama.

Masih terlalu pagi, untuk memikirkan apakah hari ini akan menyenangkan. Kenapa tak mengangkat tangan saja, dan berdoa agar hari ini diberi kekuatan.

Namun ...

Tak ada kata terlalu pagi untuk menulis, bermuhasabah, dan berdoa. Melalui tulisan, mencoba menangkap hal-hal kecil yang biasanya terabaikan. Mengambil pelajaran dari apa-apa yang kemarin terlakukan dan terlewatkan. Bermuhasabah dan menjalani dengan penuh sabar sebagai ikhtiar. Lalu berdoa sebagai bentuk tawakkal terhadap takdir-Nya yang tak mungkin kita ketahui.

Mulailah menulis. Luangkan sedikit saja waktu barang sejam. Tuliskan, paling tidak 5 hal yang ingin dicapai untuk hari ini. Agar waktu yang senantiasa berlari, tak membuat napas terembus tanpa arti.

Mari ... menulis!

AM. Hafs
Singosari, 1 April 2015

Tamales Ngalu Nuhat Malangku. #101

Sabtu, 21 Maret 2015

Muhasabah Hidup

Ujian menghadapi rasa takut telah usai. Perlahan tapi pasti, kuanggap semua adalah bagian dari pelajaran. Dari sana aku memelajari posisi. Kapan waktu menyerang dan kapan waktu bertahan. Karena hidup tak ubahnya sebagai perjuangan. Di samping untuk memelajari tabiat manusia.

Di usia muda, takut gagal adalah kebodohan. Karena itu, aku mulai mengesplorasi hal-hal yang selama ini kuhindari karena rasa takut.

Syahdan, dari percobaan itu, kesalahan-kesalahan yang kuanggap kecil menjadi terlihat lebih jelas. Dari situ pula keinginan untuk lebih baik kian menggebu. Tentunya, semoga saja tak berakhir hanya dalam keinginan. Karena bergulat dengan rasa malas adalah hal yang lain lagi.

Aku tak pernah ingin menjadi tua dan keras kepala. Maka jalan satu-satunya ya terus belajar melunakkan hati. Memperbesar penerimaan terhadap kekurangan dan kesalahan diri. Agar ketika tua, aku bisa membimbing dengan bijak. Memberi pandangan yang luas pada yang bertanya. Bukan seperti pahlawan kesiangan, yang seringkali berandai.

Lalu satu hal yang patut kusyukuri. Semakin aku menantang dunia, penaku menjadi kian tajam. Dengan senyum, sekali lagi kukatakan, "Masalah adalah ladang emas bagi penulis." Buktinya, tiap hari wartawan berkeliling untuk mencari "masalah." Sedang kenikmatan menjadi penulis, di kala masalah itu gagal kuhadapi, maka pada karya cerpen atau puisi, aku bisa membuat tokoh yang akhirnya mampu mengatasi masalah tersebut dengan menjauhkan keidentikan tokoh 'aku' dari 'aku' si penulis.

Kesalahan terbesar penulis adalah ketika kemampuannya dipakai untuk memutar balikkan fakta dalam bentuk pembelaan diri, sungguh itu tindakan pengecut. Tengok saja berapa banyak penulis yang hari-hari ini gencar menulis berita yang ke'valid'annya diragukan. Lucunya, ketika pada akhirnya berita yang ditulis terbukti tak sesuai, tak ada satu pun kata maaf yang keluar. Miris. Semoga jika memang sebagian dari kita jalannya menjadi penulis, semoga mampu menulis dengan jujur. Menambah wawasan pembaca, bukan sebaliknya. Aamiin.

AM. Hafs
210515, Singosari

Selasa, 17 Maret 2015

Suara Sunyi

Bagaimana kau menyebutnya? Ketika aku bercengkerama dengan secangkir kopi susu, "Hei? Kalian ini mana yang kopi dan mana yang susu? Gimana rasanya jadi satu, menyesalkah?"
Sayup-sayup, dia atau keduanya menjawab. - Ah bagaimana aku menyebutnya? Dua atau satu? Nyatanya dua dalam satu. - "Jika aku-kami menyesal, tak mungkin sekarang aku-kami berada di rongga mulutmu. Memberi rasa manis yang khas di hidupmu."
Ah, benar. Itu artinya tak menyesal. Dan benar pula jika kukatakan, dia-keduanya juga bingung dengan ganti, aku atau kami. Lalu pertanyaan pertamaku? Siapa yang hendak menjawabnya?
"Kami menyebutnya, Gila!" Cangkir dan sendok bersuara? Apa aku tengah di dunia? Atau tersesat di alam lain?
Lamat-lamat kudengar, "Ting-ting kelinting, gelas - gelas berdenting." Jemariku meraba telinga. Sepasang "headphone" tertancap di cekung telinga. Aku pun tersadar dan bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mendengar suara mereka tadi? Seketika keheningan menyelimuti. Bahkan aku tak mampu mendengar teriakanku sendiri.
____
Tanpa makna = hanya ingin melatih meliarkan imaji grin emotikon bagaimana pendapatnya?
AM .Hafs
Malang, 27/02/2015

Catatan Kecil


Rinduku tergerus senyummu. Rasaku rapuh, antara ada dan tiada. Sebab resah tunggangi harap. -AM. Hafs

Setelah semua tawa, lalu timbul ragu, getir dan resah di antara rasa; dua hati. Sedang bagiku semua itu inspirasi. - AM. Hafs

Cinta itu lucu. Ada yang tengah saling merindu; menanti pesan. Namun yang tercipta malah kesunyian. -AM. Hafs

Sebagai pembelajar, aku lebih suka dengan kemampuan menulisku yang sekarang. Tapi sebagai pembaca, aku lebih suka 'aku' yang dulu. Enggak terganggu typo, atau teknis tulisan apapun. Yang kutahu, hanya ada dua macam tulisan. Ceritanya jelek atau bagus. -AM. Hafs

Setiap nafas lain yang ditemui adalah hikmah dan inspirasi. Berusaha untuk tak merasa lebih baik dari orang lain. Lalu hidup seperti air. Di gelas ia mampu memenuhi rongga gelas, tapi tidak menjadi gelas. Dan sedang menginginkan untuk jadi cahaya agar mampu memberi sinar wawasan bagi sekitar. Meski sekarang masih bukan apa-apa dan banyak kekurangan. Teringat dawuh guruku kemarin, "Tak perlu ilmu yang banyak. Sedikit yang penting diamalkan. Bisanya alif ya ajarin alif. Soalnya kalau kalian mesti belajar imrithi, jurumiyyah, alfiyah sudah bukan kelasnya. (Maklum, ngaji kampung-santri kalong pula) Dan sedikit itu harus dilaksanakan penuh tanggung jawab juga istiqomah." -AM. Hafs

Duhai para penulis atau calon penulis. Perhatikanlah! Dunia tak cukup luas untuk menyembunyikan identitas tulisan copas. -AM. Hafs

Selamat Pagi, Pujangga pengunyah rindu. Sudahkah luruh, atau masih kau coba buatnya patuh? Ah, Rindu. Dibuang sayang, ditelan susah. -AM. Hafs

Penantian akan bermuaranya cinta, hanyalah sebuah drama yang berjudul Rindu. -AM. Hafs ‪#‎PelukisRindu‬

Sebuah senyum sebelum perpisahan hanyalah nama lain dari kerinduan. Kenapa tak tinggal saja, Cinta? -AM. Hafs

Syukurlah aku dulu mencintainya. Jadi sekarang bisa mengerti betapa sakit ketika cinta tak ditempatkan di tempat yang tepat. AM. Hafs

Tak seperti cinta yang terlalu sering berkisah. Rindu lebih memilih diam di sudut relung terdalam. Menunggu pertemuan di salah satu sudut alam. -AM. Hafs

Tak ada kata terlalu pagi tuk merindu. Karena embun enggan menunggu. Padahal ia penyejuk sendu. -AM. Hafs

Memang, Rindu mudah dimengerti. Namun waktu-waktu yang ia dampingi tahu, betapa sepi yang ia sesap terlalu pedih diresapi. -AM. Hafs

Cinta lebih membutuhkan kepastian daripada kesabaran. Karena cinta tak bisa dinanti tanpa kepastian. Meski rindu meraung di tepi harap. ♥♥ -AM. Hafs

Pagi ini, Rindu duduk bersama embun di jaring laba-laba. Mencoba menangkapi rasa yang mungkin tersesat. Atau tak punya muara. -AM. Hafs

Tidak cukup dikatakan. Harus dirasakan dan diwujudkan dalam perbuatan. Tidak untuk dinanti karena tak pernah tahu di mana kan bermuara : CINTA. -AM. Hafs

SUKUR

"Tong, Nggih, Kyai. Oleh Suket pirang sak iki mau?"

"Namung setunggal, Kyai. Suket e katah ingkang pun garing."

"Tong ...."

"Nggih, Kyai."

"Ojo muni, "namung" isih sukur oleh sa' sak. Sak cilik opo ae nikmat, kudu mbok syukuri. Tanpo pilih-pilih."

"Inggih, Kyai. Insya Allah."

AM. Hafs

Suatu ketika, guruku berpesan, "Perhatikan terus bagaimana kualitas ibadahmu. Jika suatu ketika kamu merasakan begitu nikmatnya ibadah, pada saat itu ... mohonlah sebanyak-banyaknya agar nikmat itu dilanggengkan ke dalam hatimu." ~AM. Hafs

Gemerintik rintik. Mengalun bak tuts piano ditekan cantik, ciamik. Mengapa bosan? Sedang hujan saja tak bosan menyirami angan. Angan tentang renjana di malam sendu. Aku ... masih membingkai wajahmu, Rindu. Di kalbu, utuh dengan selengkung senyummu. -AM. Hafs

Kecewa itu pasti. Tapi jauh lebih baik untuk menata hati. Satu pelajaran yang bisa kuambil. Jangan menuntut penghargaan dari sebuah kebaikan. Namun, jangan sampai lupa memberi panghargaan untuk sebuah kebaikan. -AM. Hafs

PENDEKAR

"Gung, coba tengok hidupmu. Berapa banyak mereka yang masih ban putih suka berkelahi dan ban hitam malah lebih banyak diam," ujarku pada Agung yang masih memegangi pipinya yang lebam. ~AM. Hafs comot dengan perubahan dari tweet @iwan_madari

Dunia ini, adalah bagaimana cara memandangnya. ^^ Yang pasti semua rasa jangan sampai berlebihan. Berimbanglah. smile emotikon ~AM. Hafs

Quote pagi ini, "Kita adalah masing-masing. Tak perlu menjadi satu sama lain hanya untuk berjalan beriringan. " ~AM. Hafs ^^

Ketika diri sendiri mengatakan, "Sepertinya akan gagal." Itu artinya sudah gagal. Gagal membangun kepercayaan diri. ~AM. Hafs

Selamat malam diriku, sang pecandu perhatian! Sudah sekeras apa kamu menarik perhatian Tuhanmu hari ini?

Selamat malam diriku yang tengah risau sebab hilangnya sebuah nama. Apakah di sana terselip risau atas sedikitnya nama Tuhanmu yang kausebut?

Selamat malam diriku. Apakah masih merisaukan mimpi atau bekal mati yang tak mencukupi? -AM. Hafs

Semua dicuri kunang-kunang malam tadi. Di gigil kembar senja kini, yang tertinggal hanya puing-puing kenang. Berserak di antara renung akan sebuah masa, Di mana takdir terasa begitu bengis. Membiarkan tubuh yang ku-aku limbung di antara hujan tangis.

-AM. Hafs



Sekali lagi kuulangi, jangan pernah berhenti belajar menjadi orang baik. Meski dunia memusuhimu karena kebaikan tersebut. Karena pada saatnya nanti, kamu akan dipertemukan dengan banyak orang baik yang membuatmu kuat, berharga dan terharu. Seperti yang kualami hari ini. Berbuat baik agar memperoleh kepercayaan dan imbalan itu tidak sama dengan berbuat baik karena merasa sebagai muslim yang meneledani sosok uswatun chasanah. smile emotikon

Terima kasih kepada orang-orang baik yang kutemui hari ini. Semoga keberkahan hidup senantiasa menyelimuti.


AM. Hafs

Meniti Pagi

Aku berjalan seperti biasa. Melewati pagi bersama hiruk pikuknya. Mulai dari suara anak tetangga yang rewel. Menolak dimandikan. Lalu menyapa senyum bapak-bapak yang tengah berangkat kerja. Ada juga yang tengah menyiram bunga, semringah. Mbak-mbak yang tengah membuka toko baju. Hingga daun jambu yang melambai padaku.

Keluar dari jalan desa yang bertanah, aku menginjak aspal yang mulai mempersiapkan diri. Diterpa panas hujan dengan tabah setelah beristirahat malam tadi. Terkadang aku menduga, cekungan-cekungan air di badannya yang berongga bukanlah sebab hujan atau embun. Melainkan tangisannya, melihat bumi yang kian tua namun manusia malah semakin durjana. Jam tidur kian larut. Mengganggu istirahatnya.
Tengok saja, jaman dulu sebelum ada lampu. Ketika azan magrib berkumandang, hiruk pikuk sudah lengang. Anak kecil bersiap ke peraduan. Sekarang? Masih berkeliaran di sana sini. Atau tiduran sembari menonton telvisi. Sedikit sekali yang menyangklong tas, pergi ke surau dan mengaji.

Sampai di tengah jalan, kulihat awan mulai berarak. Memamerkan keindahan. Sayang, hanya segelintir yang memandang. Agaknya sudah mulai bosan, atau...  terlampau sibuk untuk sejenak mendongak. Lalu bersyukur karena mentari masih di timur.

Mendekati tempat kerja, aku melewati lapangan tua yang dikelilingi rumpun bambu penari. Terkadang berderik di siang hari. Aku ingat, sewaktu kecil tempat ini begitu seram. Tapi sekarang sudah lebih nyaman. Mungkin karena setan penunggunya telah pergi. Ia resah karena kelakuannya banyak diplagiasi manusia. Untung saja ia tak meminta royalti.

Aku keluar dari areal lapangan. Melintasi jembatan di atas sungai. Ia sudah berganti beton. Sebelumnya hanya susunan bambu. Namun bukannya bersyukur, manusia kian angkuh. Lihat saja, pembatas di pinggirnya telah tandas. Kiranya tangan manusia sungguh sama berbakatnya dalam hal membuat dan merusak.

Keluar dari jembatan, aku sampai di pemukiman padat penduduk. Baju-baju berjemur di kawat-kawat yang tertempel di tembok. Andai mereka bertulang, mungkin susah dikenakan. Karena tulangnya kuat, sebab hampir dua hari sekali tersinari mentari pagi dengan kandungan vitamin D-nya.

Setelah melalui jalan tikus yang berkelok-kelok seperti ucapan  munafik. Aku sampai di jalan besar. Dari jauh terlihat beberapa pedagang menggelar lapak dengan berbagai lagak. Bocah-bocah kecil mengerubungi. Menjajakan uang saku yang terkadang harus merengek terlebih dahulu, agar diberi lebih. Tanpa mereka tahu, bagaimana susahnya orang tua memeras tenaga mencarinya. Sampai-sampai salat disngkirkan hingga ke waktu paling ujung. Atau bahkan ditinggalkan. Ah entah.

Aku melangkah memasuki gerbang sambil menunduk. Memastikan kaki kananku yang terlebih dahulu masuk. Sembari mengucap basmalah. Semoga hari ini penuh hikmah dan barakah.

Aamiin.
AM. Hafs
Singosari, 17/03/2015

Tulisan ini dipublish juga di Lovrinz.com

Senin, 02 Maret 2015

Apa Kriteria Jodohmu? (Cerpen)

Apa Kriteria Jodohmu?

Sahabatku bercerita. Suatu waktu, di kantin pada jam istirahat ia bertanya pada kawan perempuannya, "Apa kriteria jodohmu?"

Perempuan yang ia temui beberapa bulan ini. Teman yang dipertemukan di tempat tes kerja, hingga akhirnya diterima di bagian yang sama. Keakraban yang timbul, membuat sahabatku jatuh hati. Sayang, ia tak pernah benar merasa siap untuk mengatakannya.

"Eh, kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Perempuan berjilbab itu menjadi kikuk.

"Enggak, cuma mau tahu aja." Sahabatku terkekeh. Berusaha mencairkan kegugupan yang ia ciptakan dan berharap perempuan itu tidak berpikir macam-macam. Mengingat karakter yang ia tunjukkan selama ini "slenge'an".

"Emmm, aku sih mimpinya punya suami hafidz."

Uhuk! Sahabatku meletakkan kembali segelas teh jeruk di genggaman ke atas meja. Mengambil sapu tangan dan mengelap lelehan di bibirnya.

"Eh? Kamu kenapa?"

"Enggak, gak papa lanjutin!" Sahabatku kembali terkekeh dan menggaruk hidung.

"Emm apa ya? Kayaknya yang penting satu itu. Lainnya menyesuaikan." Kini, Pipi perempuan seperempat abad memerah.

 "Kalau misal ada yang melamar, tapi  gak hafidz gimana?"

"Hemmm, ya boleh aja, asal agamanya lumayan dan lagi bacaan Al-Qurannya harus fasih. Biar bisa jadi pentashih hafalanku."

Uhuk! Kali ini sahabatku tersedak angin.

"Hafidzah to?"

Dia tersenyum, "Alhamdulillah."

Ia sosok yang terbuka dan ramah tapi tetap memegang batas. Risih bila disentuh pria dan juga tak pernah mau dibonceng lawan jenis. Sebab itu, sahabatku nyaman berteman dengannya.

"Pantesan."

"Eh, aku kok kayak lagi diprospek ya?"

Sahabatku tertawa, "Emang iya."

"Maksudnya?" Wajah polosnya penuh tanda tanya.

"Boleh gak kalau bulan depan aku melamarmu?"

Uhuk! Gantian, perempuan itu yang tersedak.

"Serius? Kok tiba-tiba?"

"Tiba-tiba gimana? Kita kan udah kenal selama ...." Sahabatku menghitung dengan jari, "lima bulan." Sahabatku terkekeh.

"Gimana ya?" Pertanyaan mengambang. Membuat jantung sahabatku berdegup kencang. "Boleh deh. Tapi keputusannya ada di Abi sama  Kakak laki-lakiku dan satu lagi, siap-siap dites bacaan qurannya." Perempuan itu tersenyum penuh makna. Dia pun sebenarnya menyimpan kagum. Sebab pernah tanpa sengaja mendapati lantunan ayat suci mengalir dari bibir sahabatku di musala kantor.

"Siap!" Sahabatku bersemangat.

Mereka pun berpisah ke ruang kerja masing-masing sembari menikmati hentakan jantung yang tak wajar.

Entah apa yang terjadi. Seminggu setelah kejadian itu, perempuan yang akhirnya oleh sahabatku disebut Nara, menjauhinya. Bila bertemu, hanya ada senyum disertai rasa canggung.

Ketika kusarankan untuk menelponnya, sahabatku menolak. "Biarkan dulu, mungkin dia ingin menenangkan pikirannya," tulisnya.

Namun ketika keadaan itu bertahan hingga tiga minggu, sahabatku akhirnya tak mampu menahan rindu.  Mulailah jemarinya mencari kontak Nara.

"Assalaa ...."

"Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab. Cobalah beberapa saat lagi." Suara dari seberang setelah bunyi tut terakhir.

Sahabatku mencoba lagi.

"Assalaamu'alaikum, ada apa, Mas?" Suara lembut meluruhkan hati sahabatku.

Dengan hati-hati sahabatku menjelaskan kegundahan dan isi pikirannya.

"Maaf, Mas. Nara hanya ingin menjaga hati. Agar tak terlalu berharap. Karna Nara tak tahu apa yang akan terjadi minggu depan. Nara harap, Mas mengerti."

Setelah sahabatku mengucap maaf dan beruluk salam, percakapan pun diakhiri. "Hah, seminggu lagi. Bismillah."

***

Hari yang ditunggu pun tiba ...

Sahabatku hadir bersama kedua orang tuanya. Ketika dikabari mengenai rencana lamaran, orang orang tuanya sangat bergembira. Mengingat umur sahabatku yang menginjak angka dua puluh tujuh. Lebih sehari.

Jum'at yang cerah untuk sebuah niat suci. Agaknya mentari turut semringah tapi tidak dengan Nara atau pun sahabatku. Keduanya was-was dan berhujan keringat. Padahal, embun saja masih menggantung di ujung daun.

Bapak dan Ibu Nara tak menyangka, kedatangan keluarga sahabatku begitu pagi. Untung saja, semua jamuan telah siap sebelum subuh. Karena Nara dan ibunya mempersiapkan semua sejak pukul 3 pagi.

Dengan sedikit gugup, sahabatku menengok jam tangan hitamnya. 07.15 seharusnya gigil di tubuhnya mulai hilang. Tapi yang ada malah sebaliknya. Melihat gelagat putranya, Ayah sahabatku pun memberi pesan, "Jangan gugup! Baca sholawat yang banyak. Nanti kalau sudah di dalam, tekuk kedua jempol kakimu."

Apa hubungannya gugup sama jempol kaki? Tapi sahabatku tak ambil pusing. Dituruti saja pesan ayahnya. Begitu menginjak kaki di halaman. Nampak kedua orang tua Nara dan kakak lelakinya tengah menunggu di beranda. Setelah saling beruluk salam dan berjabat tangan, rombongan sahabatku dipersilahkan masuk.

Baru saja sahabatku merebahkan punggung di kursi dan menenangkan hati, tak lupa juga menekuk jempol kaki, ibunya sudah memberi shock terapi, "Ayo, Le, sampaikan maksudmu ke Abinya Nara."

"Lho lha kok?"

"Ehem," ayah sahabatku berdehem.

Itu artinya tak ada jawaban lain selain harus meng'iya'kan perintah ibu.
Bukannya ... seharusnya Ayah yang ngomong? Batinnya. Terlihat Ayah, Ibu dan Kakak Nara tersenyum.

Nara yang mengamati dari balik kelambu turut berdebar-debar. Dari mulutnya terus menerus menggumamkan Al-Insyirah, berharap semuanya dimudahkan.

"Emm ..." Sahabatku membenarkan posisi duduknya yang tidak salah, "begini ... kedatangan saya dan orang tua kami kemari ..."

Belum sempat kalimatnya terselesaikan, abinya Nara memotong.
"Iya, kami sudah diberitahu Nara. Begini saja, kasihan Nak Mas terlihat gugup. Mending langsung ke Tesnya saja."

Kakaknya Nara menyodorkan sebuah mushaf al-Quran bersampul warna perak.

"Coba baca An-Nisa ayat 4."

Diterimanya mushaf tersebut dan mendekapnya. Setelah membaca syahadat, ta'awudz. dan basmalah, sahabatku memejamkan mata. Lalu dari bibirnya terlantun surat yang dimaksud dengan merdu.

Melihat hal tersebut, Nara hanya menganga. Menaruh telapak tangan kanannya di depan bibir. Tak menyangka jika ternyata sahabatku seorang hafidz. Sedang kedua orang tua nampak tersenyum puas. Tapi tidak dengan kakaknya, setelah bacaan sahabatku selesai, ia kembali memerintah, "At-taubah ayat 71"

Selesai dengan lancar dan disambut dengan perintah ketiga, "Surat An-Nuur!"

Nara tak bisa menyembunyikan kerisauannya. Sedang sahabatku mengambil nafas dalam. Namun ketika akan melantunkan surat, ia menundanya, "Maaf, ada air putih?"

Seketika tawa memecah ketegangan. Saking khusyuknya sampai tuan rumah lupa menyajikan minuman. Nara hadir ke tengah pasang keluarga. Ia tampak anggun dengan busana biru dan kerudung biru laut bermotif bung. Ayah sahabatku berujar, "Oh ini to yang namanya Nara, pantesan putraku ngebet minta dilamarkan."

Kembali tawa menggema.

"Monggo diminum." Ayah Nara mempersilakan.

Setelah meneguk teh hangat, suasana tegang menyelimuti. Sahabatku bersiap melantunkan kembali ayat suci. Kembali dibuka dengan syahadat, ta'awudz, dan kemudian basmalah.

"Suurotun an(g)zalnaahaa wa farodhnaahaa ... (sampai akhir ayat.) Shodaqallaahul'adziim."

"Subhanallaah."

Ibunya Nara terlihat berbisik. Sedang kakaknya pamit ke dalam.

"Ehem ... saya kagum dengan Nak Mas ini. Bacaan indah, Nara banyak cerita tentang akhlak Nak Mas. Tapi tak pernah cerita kalau Nak Mas ternyata seorang Hafidz. Tapi sebelumnya, kami memohon maaf." Ayah Nara mengambil nafas. Tampak sengaja memberi jeda, "Kami tidak bisa menerima lamaran Nak Mas."

Nara, Sahabatku dan kedua orangnya tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Tapi ...." Semua nampak menyimak dengan perasaan yang tak menentu.

"Kami akan dengan senang hati, seandainya Nak Mas mau melakukan akad sekarang juga."

Nara terkejut, begitu pula dengan Sahabatku dan kedua orang tuanya.

"lho lha itu anu." Sahabatku gelagapan, "Pak? Bawa uang buat mahar?" lanjutnya.

"Cuma bawa dua ratus ribu," bisiknya.

"Tenang, mahar bisa nyusul. Nomer sekian itu, yang penting Nak Mas bersedia atau tidak?"

Sahabatku mengusap-usap telinga, "Be-bersedia, Pak."

Kakaknya datang dengan beberapa tetangga sekitar sebagai saksi. Dan turut hadir pula Penghulu desa. Agaknya rencana ini telah dipersiapkan tanpa sepengetahuan Nara.

"Saya terima nikahnya Sabrina Raudhotul Jannah binti Haji Mas'ud Abdillah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar dua juta rupiah hutang."

"Sah?"

"Sah!" Serempak para saksi berteriak.

Sahabatku pun memulai kisahnya yang baru di buku yang baru. Karena tubuhku telah penuh oleh kisah semasa lajangnya. Tertanda : Buku Diary

Sekian. Sila baca tulisanku yang lain di www.Lovrinz.com atau www.shohibulgubug.blogspot.com makasih ^^

Malang, 02 Maret 2015
AM. Hafs

Jumat, 27 Februari 2015

Status Facebook Jadi Buku?

Menulis itu sama halnya berbicara. Bedanya, kalau berbicara kadangkala kita lupa dengan apa yang telah kita ucapkan. Contoh nih, apa kalimat pertama yang kawan-kawan ucapkan hari ini? Kalau yang biasa baca doa bangun tidur, tentu ingat, yang enggak? Entah deh.
Meski begitu, bukan berarti boleh ngomong sembarangan. Karena dua malaikat yang ada di sisi kanan dan kiri tak akan luput mencatat sehuruf pun. Semua akan dipertanggung jawabkan. Termasuk juga tulisan. Karenanya, sebagai insan yang baik, sudah sewajarnya untuk menimbang kembali sebelum menulis sesuatu. Apalagi bila berhubungan dengan medsos.

Sensasi Menulis Hal yang Kontroversial

Menilik semakin berkembangnya media sosial, apalagi berita online. Ternyata berbanding lurus dengan kian mudahnya penyebaran hal-hal yang berbau kontroversial. Berita online dengan rintisan alamat web yang baru biasanya menggunakan judul-judul kontroversial. Tujuannya tidak lain untuk mengangkat 'traffic' pengunjung. Karena hal-hal yang kontroversial mempunyai sifat gula yang kerap memancing banyak semut untuk berdatangan.

Ada beberapa tema yang kerap kali mengundang kontroversi. Mulai dari hal sepele semacam kehidupan artis, club bola, hingga seserius ajaran agama. Biasanya tema itu juga diawali dari judul yang juga kontroversial.

Tulisan kontroversial kerap kali memacing perdebatan. Bagi pembaca yang sering mengunjungi arena debat, pastinya tahu, bagaimana topik "test the water" bisa menjadi jendela untuk melihat, mana pembaca yang cerdas, ingin terlihat cerdas, dan mana yang kurang cerdas.

Beberapa hari ini, aku pun penasaran 'sisi lain' dari menulis kontroversi. Akhirnya kucoba melemparkan umpan.

Rabu, 25 Februari 2015

Kumpulan Fiksimini

Tak Ada Salju

Bocah-bocah menyerbu sawah yang baru dibajak. Muka Pak Tani terhantam sebuah bola lumpur. Dia tersenyum penuh kemenangan.

---

Salah Buku

“Sini Mama bacakan cerita pengantar tidur.”
Dani dan Doni berebut pangkuan. Setengah jam berlalu. Ketiganya terpingkal ketika Ayah pulang.

---

Kembar

"Mau mancing di mana enaknya, No?"

"Di kali sebelah?"

"Okelah kita kemon!"

Mereka berdua masih terlelap.

---

Horeee

Andi bersorak-soraii sambil mengangkat Piala. Sementara sang kakak masih membetulkan kaki buatannya. Begitu juga peserta lain.

---

Bingung

Taufik masih memandangi Pialanya dari balik lubang kunci. Kemudian melangkah pergi dengan segenggam piagam dari sekolah.

---

PENGUMUMAN

"Pintu tobat akan ditutup setahun lagi." Matahari mulai melakukan pengereman.

---

Janji Palsu

"Kau bilang akan menemuiku di surga."

"Maaf, aku terlena ujian dunia."

---

Patah Hati

Budi masih termangu melihat kelincinya berwajah sayu.
"Sudahlah, Ci. Ikhlasin aja. Mungkin dia bukan jodohmu."

---
Banyak Teman

"Horeee. Mari kita bersulang, Sob!" Setan bersuka cita merayakan kematian lampu di Taman Kota.

---
Terharu

Semua penonton bermata sembab. Sekumpulan bocah tuna rungu masih berpantomim di atas tumpukan mobil bekas.
---

AM. Hafs

Malang, 25/02/2015

5 Hal yang Bisa Membuat Penulis 'Bunuh Diri'

Menulis seperti berkata. Menulis bisa membuat hidup kita lebih bermakna. Menulis bisa menjadikan nama kita abadi. Tapi, semua itu tergantung apa yang ditulis. Jika berupa kebaikan, ia akan menjadi umpan untuk kebaikan-kebaikan yang lain dan sebaliknya.

Menulis seperti berkata. Sudah seyogyanya, sebelum melempar tulisan ke publik, perlu dipikirkan manfaat dan mudharatnya. Agar tulisan tersebut tidak menjadi senjata makan tuan. Ini lah lima hal yang membuat penulis 'bunuh diri'?

Jumat, 20 Februari 2015

Hikayat Pengembara

Dia menunggangi kaki
Menelanjangi puing-puing kehidupan
Tanpa sapa, pun lirikan
Membiarkan lidah bertapa
Sekehendak hati
Membiarkan entah berkelana
Tanpa menyapa, "Kau mentari ke berapa?"
Hanya menggulir dzikir, obati nestapa
Baginya, satu terang satu gelap
Tak lebih dari gulir roda
Terbit dan lenyap
Sisakan tanya, "Apakah kita tinggalkan noda?"
Dan ketika lelap menghisap wujud
Pun tubuhnya rebahkan lelah
Hatinya bersujud
Di hantaran sajadah dedoa
AM. Hafs
Malang, 19/02/2015

Pesan Seribu Makna

Sampai detik ini, aku masih berusaha memahami pesan dari seseorang, yang telah kuanggap seperti kakak juga guru. Tulisnya dalam sebuah komentar, "Semakin ke atas, jangan kau angkat kepalamu tinggi-tinggi. Sebab hal indah terpampang buanyak banget di bawah. Lihatlah ... Bawalah keindahan itu ke atas juga. Bila kau angkat kepalamu tinggi-tinggi, kau akan sendiri.

Percayalah ...
Bila kau tak percaya yang kukatakan, coba tanya yang di samping sana ... yang tak pernah mau melihat ke bawah. Sekarang dia hanya bisa menyesali, sebab lehernya pegel karena mendangak terus ke atas."

Awalnya aku memahaminya sebagai peringatan agar menjaga hati dari kesombongan. Tapi, pemahaman itu tak serta merta memuaskan kalbu. Hari ke hari, berusaha mencari. Aku merasa ada sesuatu yang lain. Renungan demi renungan berlarian di pikir juga hati. Hingga pagi ini aku mendapati jawaban baru.

Rabu, 18 Februari 2015

Apa Perlunya Menghindari Tiga Perkataan Ini?

Dalam memanage diri, terutama untuk menjadi insan dengan tingkat ketaqwaan yang lebih baik, seyogya kita menghindari tiga perkataan berikut. Apa saja? Check it out!

1. Sekali ini aja!
 
    Ketika sedang berjalan di gang sempit kampungnya, Andi melihat temannya tengah asyik menenggak minuman keras. Seketika itu pula Andi terperanjat, "Astaghfirullah! Den! Gila, Lu? Sejak kapan Lu jadi kayak gini?"

"Halah, sekali ini aja, cuma pengen tahu rasanya."

Smart Girl, The Dream Girl

There was a youngman. He is Arabian, handsome, shalih, and very smart. He wanted to marry with a smart and shalihah woman like him. So, He did a journey from a nomadic tribe to other nomadic tribe to found the dream girl.

Meanwhile he went to nomadic tribe inYaman. On the way, He met a man.

The Youngman greeted,”Hi, Sir! Could you bring me and I bring you?”

Senin, 16 Februari 2015

Sebab Bercanda, Kebahagiaan?

Bahagia itu sederhana. Ah basi, tapi bener sih. Sesederhana mengintip kilau embun dengan syukur. Memerhatikannya yang kemudian menguap ke langit, bersama dedoa para pejuang kehidupan. Sesederhana beranjak ke dalam rumah sembari menyanyikan lagu riang. Dan ... sesederhana menatap wajah ibu, yang tersenyum melihat anaknya sarapan dengan lahap.

Namun, banyak orang yang masih terus mencari-cari kebahagiaan. Hingga rela menghamburkan uang, waktu, juga pikiran. Tak jarang yang akhirnya terjerumus pada dunia hitam. Hanya karena ingin mendapatkan kebahagiaan dengan instan. Padahal semua tahu, barang yang diperoleh dengan instan, biasanya juga terlepas dengan cara yang instan.

Perlombaan mencari kebahagiaan juga turut disemai oleh para motivator-motivator. Dengan iming-iming kesuksesan finansial, khalayak seolah dibombardir dengan jargon, "Kaya materi itu, bahagia!" Alhasil, semua turut berlomba menumpuk harta. Dengan berbagai cara. Tak lagi peduli apakah itu bersih atau kotor.

Menghadapi persoalan kebahagiaan yang terdoktrin sedemikian. Mari sejenak merenung. Kebahagiaan, hakikatnya merupakan ketenangan hati bukan? Lantas, jika ditempuh dengan cara-cara kotor, apakah ketenangan hati itu akan diperoleh? Katanya, yang haram saja susah, apalagi yang halal? Eits, itu hanya mind set. Coba tengok kisah nyata berikut,

Jumat, 13 Februari 2015

Kau, Senja yang Berkilau

Menulis. Semua orang mampu. Tapi tak banyak yang mau. Karena terlanjur merasa bahwa menulis adalah hal yang sulit. Dan lagi, seringnya terjebak kebingungan, "Apa yang hendak ditulis?". Padahal, jika mau merenung sebentar, banyak hal yang bisa ditulis. Karena yang namanya hikmah itu bertebaran di mana-mana. Mengutip sebuah quote, "Everyday may not be good, but there is something in every day.

Kuangkat pena dari kertas. Menaruhnya diantara bibir dan mulai merenung di depan hujan yang menari. Kegiatan rutin setiap sore semenjak dijadikan admin sebuah web literasi. Aku dituntut untuk memosting sehari satu tulisan. Bersyukur, hari ini dawai hujan yang mendayu menemani. Ketika memandang mendung, inspirasi itu hadir. Dengan segera kularikan pena ke atas diary usang, perekam momen, juga draft-draftku.

Kau, Senja yang Berkilau

Selasa, 10 Februari 2015

Hal-hal Sederhana yang Membahagiakan Hati (1)

Banyak yang menjelaskan bahwa bahagia itu sederhana, tapi banyak pula yang belum memahami. beberapa hal di bawah ini, mungkin mampu membawa anda kepada hikmah kebahagiaan.

1. Nikmatnya beristirahat

Sepulang sekolah, tubuhmu yang lelah sudah tak sabar untuk merebah di kamar. Tak kamu sangka, ternyata sprei yang membalut tempat tidurmu baru saja selesai dicuci. Kamu pun merebah dengan menghirup aroma terapi yang menyelimuti. Hingga akhirnya kamu terlelap dengan senyum yang mengembang.

2. Tak Jadi Sial

Hujan deras yang mengguyur semalam, membuat daratan di linkunganmu tergenangi air. Kamu yang terburu-buru mengejar Bus Sekolah, tak sempat memerhatikan sisi jalan yang becek. Kamu terkejut, hingga jantungmu berdetak lebih cepat karena kakimu terpeleset. Untung saja, tubuhmu masih seimbang. Sehingga tetap berdiri tegak. dan lumpur tersebut hanya membuat sepatu sedikit kotor. Kamu pun kembali berlari dengan senyum syukur.

Iklan Menyentuh Thailand

Seorang pemuda paruh baya terguyur air buangan dari atap rumah, ketika tengah berjalan menuju tempat kerja. Bukannya marah atau kesal, dia malah tersenyum. Diletakkannya sebuah pot berisi tanaman yang hampi mati kekeringan, di tempat jatuhnya air tersebut.

Sampai di penyeberangan, dia membantu seorang nenek tua yang tengah mendorong gerobak untuk berjualan. Ketika tengah makan siang, dia dihampiri oleh seekor anjing liar. Dengan senyum yang khas, tanggannya mengulurkan sepotong paha ayam bakar untuk anjing tersebut. Si penjual pun hanya menggelengkan kepala melihat hal tersebut.

Di tengah jalan, dia bertemu dengan seorang ibu dan anak. Mereka pengemis, di tangan anak perempuan itu, terdapat gelas plastik bertuliskan for education. Dengan cekatan jemarinya mengambil dompet, dan memberikan dua lembar uang kepada si anak. Uang dua lembar yang Tanpa berpikir, apakah tulisan itu hanya sekadar modus belaka agar memperoleh pendapatan lebih tinggi. Kejadian tersebut dilihat oleh seorang kakek tua penjual pemilik toko jam. Dia juga menatap dengan menggelengkan kepala.

Genggam Erat Jemariku

Ketika matamu telah berselimut malam
Cobalah terlelap dan mulai mengembangkan bunga-bunga mimpi
yang di bangunmu terasa menghimpit nadi

Ketika mentari tersenyum
Sambutlah dengan keyakinan hati
Biarkan doa dan langkahmu memangkas jarak terperi

Bila ragu masih saja mengganggu
Cobalah berceloteh padaku
Agar semua sesak itu, mampu menemukan alur alir sendu
Sekali lagi, tutuplah matamu
Dan bayangkan, tanganku menggengam jemarimu erat
Melewati tiap-tiap rintang yang menyekat.

Sabtu, 07 Februari 2015

Mengambil Fatwa dari Internet, Bolehkah?

"Lagi apa, Bung. Serius amat kelihatannya?" kantor ketika tengah rehat di kantin.

"Ini lagi searching hukumnya orang yang jimak di siang hari bulan Ramadhan."

Aku tertawa, "mentang-mentang pengantin baru."

Dia terkekeh. "Aku penasaran sama olok-olokannya teman-teman. Katanya kalau Ramadhan, "itu"-nya juga harus puasa. Jujur, sih baru denger. Maklum, aku sama istri basisnya dari TK sampai kuliah di umum. Ngaji cuma sampai SD doank."

Aku mengernyitkan dahi. Kemudian mengambil kursi di depannya dengan menaruh sandaran kursi di posisi depan dan mendudukinya. Kami kenal sudah sekitar 3 tahunan. Berawal dari rekrutan angkatan yang sama, membuat kami akrab. Kami sering berbagi mengenai masalah-masalah kantor. Tapi untuk masalah pribadi, sepertinya baru kali ini.

"Joinan ya?" kataku yang dijawab dengan anggukan. Tanganku meraih kopi susu yang terhidang. Setelah meneguknya sedikit aku pun mulai berceloteh.

"Boleh tanya-tanya?"

Jumat, 06 Februari 2015

Keterpaksaan Membawa Nikmat

Mengutip peringatan dari Al Quran yang mewanti-wanti bahwa, "Sesungguhnya Setan adalah musuh yang nyata bagimu." Dalam bab setan, bukan hanya islam, tapi semua agama -yang diakui di Indonesia- pun sepakat bahwa setan adalah musuh. Pada hakikatnya, musuh selalu mendorong kepada keburukan. terutama ketika seorang manusia ingin berbuat baik, ada saja kendala. Tapi yang terbanyak tentunya dari diri sendiri. Karena itu, kebaikan perlu dipaksakan untuk melawan godaan yang ada. Tidak hanya dari Setan, godaan yang bernama kemalasan timbul dari nafsu sendiri.

Dalam banyak hal, keterpaksaan sering diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tiga diantaranya yang bisa dijadikan contoh, salat, menuntut ilmu, dan bekerja.

Kamis, 05 Februari 2015

5 Tips Menulis Cerita Anak

Menulis cerita anak dalam rentan usia 7 hingga 12 tahun, agaknya gampang-gampang susah. Terutama apabila yang dijadikan POV-nya adalah si anak. Selain butuh pendalaman karakter, bahasa yang digunakan pun harus mudah dipahami. Untuk menyiasati hal tersebut, ada baiknya memperhatikan beberapa hal berikut :

1. Sering membaca cerita anak. Terutama yang ada di buku-buku paket pelajaran Bahasa Indonesia atau majalah anak, seperti Bobo, Anak Saleh, Kejora, dan lain-lain. Hl ini berguna untuk mempelajari tata bahasa yang umum diberikan kepada mereka.

2. Berinteraksi dengan anak. Dengan sering berinteraksi, kita akan mampu mengenali karakter anak. Sehingga pendalaman karakter bisa lebih maksimal. Karena dunia anak, berbeda dengan dunia dewasa ataupun remaja. Pendalaman karakter tidak hanya soal bahasa, tapi dalam menuliskan cara berpikir pun perlu diperhatikan. Jangan sampai kita menulis karakter seorang anak SD tapi gaya berpikirnya terlalu dewasa.

3. Menyiasati POV. Jika kedua hal di atas telah dilakukan, tapi masih kesulitan untuk menghidupkan karakter. Kita bisa memakai alternatif dengan menggunakan POV 3, yang tidak terlalu menuntut penokohan pada karakter utama. Bisa juga dengan menggunakan POV 1 dari sisi orang tua. Untuk POV tersebut, kita hanya perlu mendalami karakter sebagai orang tua. Tentunya lebih mudah, bukan?

4. Pesan dalam cerita. Berbeda dengan menulis cerpen untuk media, yang terkadang bisa menggunakan ending menggantung. Kalau cerita anak, kita diharuskan menyajikan dengan resolusi yang jelas. Kenapa harus? Karena anak-anak akan lebih mudah mencernanya. Selain itu, sangat tidak dianjurkan membuat kisah dengan tema percintaan. Karena hanya akan meracuni moral. Seyogyanya, cerita mengandung tema persahabatan, menuntut ilmu, akhlak, atau tentang mengejar cita-cita.

5. Diselingi humor. Humor, jika dalam penyajian makanan berfungsi sebagai bumbu pelengkap atau kerupuk. Yang membuat tulisan lebih sedap atau renyah. Dengan kadar yang pas dan humor cerdas. Anak akan menyukai tulisan kita. Sehingga terhindar dari rasa jenuh dan bosan. Untuk itu, penulis cerita anak sebaiknya sering membaca buku Nasruddin,  Abu Nawas, atau buku cerita humor jenaka lainnya.

Itulah, 5 tips menulis cerita anak yang bisa kubagikan. Tips kususun berdasarkan pengalaman mendongeng tiap hari Rabu bersama guru-guru kecil. Semoga bemanfaat.

AM. Hafs
Malang, 05 Februari 2015

Tulisan ini dipublish juga di Lovrinz.com

Sabtu, 31 Januari 2015

SUNGGUH, MAUT ITU DEKAT

Pada hari Kamis kemarin, ada acara khotmil quran di Gubuk Ngaji. Beberapa teman guruku yang hafidz turut hadir. Salah seorang di antaranya bernama Imron. Aku biasa menyebut beliau Cak Im.
Di acara itu, aku kebagian tugas sebagai seksi konsumsi. Waktu tengah menata suguhan, Cak Im tengah membaca Juz 4, 'bil ghoib'. Tak lama setelah selesai membaca, Cak Im berkumpul dengan beberapa teman guruku yang hadir di tempat jamuan.
Setelah agak siang, beberapa dari mereka meninggalkan tempat. Khotmil quran pun dilanjutkan oleh teman-teman sesama santri yang sudah lancar.
Sorenya, ada kabar duka. Cak Im mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Dan lebih mengejutkan semalam beliau dikabarkan telah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.
Jadi ingat sebuah pesan, "Kita akan diambil sesuai dengan kebiasaan." Semoga saja, aku bisa Husnul khotimah. Aamiin
AM. Hafs
31012015

Bangun, Cantik

Dia masih terlelap dengan cantik. Sepertinya masih kelelahan. Karena biasanya, ia sudah bangun sebelum azan subuh berkumandang.

Lamat-lamat kupandangi kecantikannya dengan kagum. Sungguh beruntung memilikinya. Semoga saja dia juga merasa beruntung memilikiku yang penuh kekurangan ini. Dengan lembut jemariku menyentuh pipinya. Lalu menepuk pelan untuk membangkitkan ia dari lelapnya.

"Dek, bangun. Sudah subuh."

Ia hanya menggeliat, imut sekali.

"Dek, bangun, Sudah subuh. Ntar kesiangan lo. Katanya semalem pengen jamaah."

Jumat, 23 Januari 2015

Liebster Award

Kenal "acara" ini dari Mbak @Agyasaziya_R. Waktu itu lewat kicauannya, si Mbak yang pengen banget jalan-jalan ke jepang itu ngeluh, puyeng dapat banyak tag dari Si "Liebster". (Tahu gak? Hal pertama yang terpikirkan waktu baca kata itu malah lobster.)

Aku yang penasaran langsung SKSD dan nanya-nanya. Karena biasanya, yang namanya "award" itu seru. Mbaknya bilang, "Bentar lagi diposting." Oke deh aku nunggu. *Cling!* Setelah tulisannya keluar di temlen, aku langsung meluncur. Kesan pertama pas baca tulisannya cukup menghibur dan kagum. Karena jujur, buatku nulis lepas itu terkadang lebih sulit daripada nulis fiksi atau puisi.

Kamis, 22 Januari 2015

Hujan Kenangan (Fiksimini)

Pada hujan yang bersinergi dengan kenang. Ingatkah, waktu setahun yang lalu kau buat aku dan dia berteduh di payung yang sama? Selama langkah menerkam jarak dari mini market ke rumah, aku hanya tertunduk malu. Sesekali melirik wajahnya dengan senyum merah jambu.Saat itu adalah hari halal keduaku dengannya, Bidadari Bumi. 

Aneh rasanya ketika di antara aku dan dia masih terselip jarak. Padahal andai kugenggam erat jemarinya, takkan ada dosa. Mungkin waktu itu ia pikir aku malu. Bukan, sebenarnya aku tengah membawa Al-Quran di saku baju.

Nikmatnya Kesetiaan

Suatu hal yang aneh bagiku adalah ketika kata setia jauh lebih mudah dijalani daripada memilih. Karena terkadang aku malah bertanya pada diri sendiri, "Pantaskah aku memilih?". Di masa ketika aku memiliki sebuah hati yang bisa kujaga, kesetiaan adalah sebuah nikmat yang luar biasa. Kesetiaan yang mampu membuat pandanganku menunduk, sikapku terjaga. Tidak seperti sekarang yang seringnya mata ini jelalatan. Meski hanya berupa tengokan sesaat, tetap saja ada rasa sesal yang timbul setelahnya.

Terkadang, aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana hanya menggenggam satu hati. Namun, aku tahu ... masa lalu tetaplah masa lalu. Hanya untuk dikenang dan diambil hikmahnya. Bukan lagi untuk diratapi atau disesali. Karena hanya akan menyakiti hati dan membuang waktu. Dan cara terbaik untuk mengatasi hal itu adalah dengan menjadikannya tulisan yang menginspirasi.

Anda pengunjung ke

Statistikku