Mencoba membaca tiap cermin jiwa yang hadir, dan merangkainya menjadi tutur indah nan menggugah.
Rabu, 29 April 2015
Air Mata Langit
Memenjarakan pandanganku pada dedaunan yang menari bersama lambaian angin
Coba pandangi lekat tangkapan retinamu
Bagaimana mereka menyampaikan bisikan-bisikan rindu
Rindu yang kembali merebak bersama napas bumi
Air mata langit saling bertaut
Menenggelamkanku pada awan bergelayut yang bercumbu dengan kabut
Coba tatap bagaimana mereka mendendangkan nyanyian hujan
Bersama balutan genderang dan kilatan petir yang bersautan
Membuat kenang kian berkelindan
Air mata langit mulai pudar
Awan pengangkut butiran es dan kabut berarak pulang
Membiarkanku mengeja memoar
Lalu kuabadikan di catatan seribu mimpi; sebelum hilang
Sebab surya kian terang berpendar
Air mata langit tak lagi berwujud
Wajah langit kembali membiru
Kutundukkan hati dan bersujud
Meresapi tiap makna di lembar baru
Menghamburkan syukur atas terbitnya pelangi sepeninggal kabut
AM. Hafs
Singsari, 29 April 2015
Jumat, 17 April 2015
Ledakan Amarah Kak Awi di Surau Kami
Kamis, 09 April 2015
Tip Bersepeda Menaklukan Bromo 100 Km
Rabu, 08 April 2015
Keajaiban Pikiran
Senin, 06 April 2015
Pentingnya Target dalam Menulis
Kamis, 02 April 2015
Memandang Jendela Kehidupan
Keriuhan anak sekolah menjadi musik pengiring kehidupan kerjaku. Tak ada kata bising, ketika telah mampu menikmatinya. Begitu pula dengan masalah yang hadir. Tak ada kata berat jika bisa menyikapinya. Seperti judul lagu Jason Mras, "The World As I See It."
Aku bersyukur ditakdirkan menggeluti dunia kepenulisan. Melalui aksara-aksara yang tercoret, aku membebaskan pikiran dalam pantauan tanggung jawab, menerapi jiwa, dan meluaskan pikiran.
Pernah kubaca sebuah tulisan yang melarang untuk menulis ketika marah. Alasannya emosi dalam tulisan jadi tidak terkontrol. Tapi menurutku sebaliknya. Tuliskan! Tulis sampai emosi mereda. Tapi jangan dipublikasikan. Setelah tulisan itu rampung, biarkan mengendap bersama emosi yang ada.
Di lain waktu atau lain hari, bacalah kembali tulisan tadi. Maka dari sana, hati akan menemukan hal-hal salah yang sebelumnya teranggap benar.
Ahad kemarin, aku pulang ke rumah. Alhamdulillah, kakak sepupu tengah berkunjung. Dari luar terdengar sebuah obrolan yang nampak seru.
Setelah uluk salam, aku mulai duduk, mengikuti diskusi dan mencermati.
Kakakku yang seorang single parent bercerita. Suatu hari ketika kakakku yang bekerja sambilan sebagai penjual jamu tengah melayani pembeli, seorang ustadzah tiba-tiba mendatanginya dan berkata, "Ra, kamu itu haram berjualan reng usuk. -bambu yang telah dipotong menjadi seukuran tongkat panjang. Biasa digunakan untuk alas genting rumah- Soalnya, yang beli bukan muhri. Lalu, pas ngangkat dari tempat rendaman, baju kamu basah dan lekuk tubuhmu tercetak."
Karena posisinya di hadapan orang banyak, Kakakku bukannya sadar, malah merasa dipermalukan. Tak ayal, ia pun membalas dengan frontal dengan mengatakan kalau dia gak kerja apa si ustadzah yang mau membiayai kehidupannya. Lagian yang namanya mengangkat bambu dari tempat yang basah ya pasti basah. Toh niatnya gak buat ditampangkan. Pakaiannya juga berlengan panjang dan berhijab. Si Ustadzah langsung meninggalkan tempat tanpa bisa menjawab.
Ketika hendak menanggapi, aku terlebih dahulu memisahkannya sebagai dua masalah yang harus disikapi berbeda.
Setelah mengambil napas panjang. Aku mulai menanggapi, "Mbak, di sini ada dua masalah yang perlu dipisah. Yang pertama mengenai ketidak bolehan berinteraksi dengan bukan muhrim itu kalau interaksinya berbuat yang maksiat. Tapi kalau ada keperluan yang dibenarkan syariat, ya gak papa."
Yang kedua, apa yang disampaikan ustadzah tentang keharaman tubuh yang tercetak, itu benar. Tapi, cara penyampaian yang dilakukan di depan banyak orang, itu salah. Seharusnya ustadzah tadi bertandang ke rumah, Mbak dan berbicara empat mata."
"Lha yang namanya masuk ke air, baju apapun ya pasti tetep tercetak! Emang punya caranya biar gak tercetak, gimana?" potongnya dengan sedikit emosi.
"Sebentar, begini. Aku belum punya solusi. Tapi sementara ini hanya saran. Mbak Mira jangan menganggap hal tersebut benar, dan harus diikuti usaha untuk menemukan solusi. Sembari ikhtiar, di tiap selesai salat Mbak memohon ampun kepada Allah. Kata-katanya kira-kira seperti ini, Ya Allah, ampunilah hamba atas kenampakan tubuh tersebut. Engkau tahu hal tersebut tidak hamba lakukan dengan sengaja. Dan hamba memohon, berikanlah jalan terbaik untuk mengatasinya. Dengan begitu, harapannya kekhilafan Mbak bisa dimaafkan oleh Allah SWT."
Dia tampak manggut-manggut. Bersamaan dengan itu, Pakdhe mengetuk pintu. Menjemput Mbak Mira untuk pulang. Tak lupa sebelum berpisah, kami saling bermaafan dan berterima kasih.
AM. Hafs
Malang, 30 Mar 2015
Menggurat Rindu
Judul ini lahir dari kebuntuan. Mulai kemarin, 1 April 2015, aku mewajibkan diri untuk latihan menulis. Waktu yang kualokasikan hanya sejam, dari 05.30 sampai dengan 06.30. Namun hari ini, hingga pukul 06.00 tadi aku belum juga menemukan bahan yang bisa dikembangkan dengan bebas. Kebuntuan pun menjalar.
Ah, kebuntuan ini tak bisa disepelekan, batinku. Lantas, jemari ini pun mulai bergerilya. Membuka obrolan di grup BBM hingga ber-chit-chat dengan kawan-kawan. Dari sana, akhirnya lahir sebuah judul di atas setelah sebelumnya aku melempar tema televisi di grup.
06.10. Waktu untuk merangkai kataku tinggal 20 Menit. Sembari menulis, otakku berlarian menggeledah arsip ingatan. Demi memadukan rindu dan televisi. Apakah akan berupa fiksi, artikel, celoteh atau puisi? Baiknya, kupejamkan saja, agar mata hati berkesempatan untuk melihat lebih dalam.
Setelah mengambil napas panjang, mulailah jariku menggurat rindu.
Rindu ...
Rinduku tak seperti menghidupkan televisi
Yang cukup sekali pencet lalu bisa menyala dan berceloteh ria
Rindu ...
Rinduku tak seperti tayangan televisi
Yang apabila bosan, bisa dengan mudah berganti channel hati
Rindu ...
Rinduku tak seperti berita pagi
Yang bisa dikabarkan dengan gamblang tanpa perih
Rindu ...
Rinduku tak seperti program televisi
Yang dijeda ribuan iklan penarik hati
Ah, Rindu ...
Aku hanya mengguratmu sekehendak hati
Janganlah dimarahi atau dimaki
Karena aku khawatir, rinduku kian merintih.
06.24, tanpa kata penutup, tulisan ini kuakhiri. Semoga rindumu kian menjadi. Hingga terbawa mimpi. Hei, Kawan! Ini sudah pagi. Mari berlari untuk kehidupan, yang lebih baik lagi.
AM. Hafs
Singosari, 02/04/2015
Rabu, 01 April 2015
Masih Terlalu Pagi!
Masih terlalu pagi untuk merintih. Meski negeri ini kian lepas kendali. Karena sesungguhnya, masih banyak langkah-langkah kecil yang bisa membuat setidaknya diri sendiri menjadi lebih baik. Bukankah perubahan diawali dari hal kecil?
Masih terlalu pagi untuk mengeluh. Sedang matahari masih saja datang dengan ceria, menyingkap kabut yang membuat berdiri rambut-rambut halus di kulit tangan dan kaki. Juga menggigilkan rindu di hati. Kenapa tak dicoba untuk bersyukur? Mensyukuri nikmatnya bersujud, subuh tadi.
Masih terlalu pagi untuk membiarkan amarah menari. Membuat gerah pikiran juga hati. Kenapa tak tersenyum saja? Menikmati tiap hiruk pikuknya yang hampir selalu sama.
Masih terlalu pagi, untuk memikirkan apakah hari ini akan menyenangkan. Kenapa tak mengangkat tangan saja, dan berdoa agar hari ini diberi kekuatan.
Namun ...
Tak ada kata terlalu pagi untuk menulis, bermuhasabah, dan berdoa. Melalui tulisan, mencoba menangkap hal-hal kecil yang biasanya terabaikan. Mengambil pelajaran dari apa-apa yang kemarin terlakukan dan terlewatkan. Bermuhasabah dan menjalani dengan penuh sabar sebagai ikhtiar. Lalu berdoa sebagai bentuk tawakkal terhadap takdir-Nya yang tak mungkin kita ketahui.
Mulailah menulis. Luangkan sedikit saja waktu barang sejam. Tuliskan, paling tidak 5 hal yang ingin dicapai untuk hari ini. Agar waktu yang senantiasa berlari, tak membuat napas terembus tanpa arti.
Mari ... menulis!
AM. Hafs
Singosari, 1 April 2015
Tamales Ngalu Nuhat Malangku. #101