Kamis, 25 Desember 2014

Hafalan Surat Si Evi

"Aduh, sulit, Mas." Evi mengeluh menatap ayat panjang yang harus dihafal. Dan setiap kali itu pula, aku harus memotivasinya. Menunjukkan kembali berlembar-lembar ayat yang telah dihafalnya. Lalu membandingkannya dengan ayat yang kini tengah ia hadapi.
"Coba lihat, jumlah ayat yang sudah kamu hafal dengan ayat ini banyakan mana?"
"Banyakan ini, Mas," jawabnya dengan sedikit lesu.
"Nah, masih merasa sulit?"

Selasa, 16 Desember 2014

Sholeh dan Santrinya (Mencium Cewek?)

Seperti biasa, di hari Rabu, setelah magrib aku mengajarkan kaligrafi pada ashhabul gubug junior (sebutan untuk santri Si Sholeh). Setelah itu, kami bersholawat bersama, dengan syi'ir hasil gubahanku. Mau tahu seperti apa sholawatnya? Seperti ini,

Sholaatulloh salaamulloh
'Ala thoha Rosuulillah
Sholaatulloh salaamulloh
'Ala yaasiin habibillah

Anak sholeh rajin mengaji
Tingkah lakunya sopan terpuji
Anak sholeh tak suka menyakiti
Rajin ibadah suka memberi

Selasa, 09 Desember 2014

Rahasia Rejeki

Waktu itu, aku tengah berada di majlis ilmu. Duduk bersama rekan sejawat untuk mengalunkan sholawat, atas Rasulullah Sang Penyampai Rahmat. Menjelang acara dimulai, seekor belalang terbang ke sampingku. Sedang di dinding gubug, yang terbuat dari anyaman bambu, di sebelah kanan, seekor tokek tengan jalan-jalan mencari mangsa.
Dalam keadaan seperti itu, aku berinisiatif melempar belalang tadi ke arah Tokek. Belalang pun terbang terpaksa dan akhirnya hinggap pas di depan hewan loreng itu. Namun malang nasibnya, ketika hendak menerkam, belalang sanggup menghindar. Dan terbang ke dinding seberang. Melihat hal tersebut, aku berujar, "Belum rejekinya."

Senin, 08 Desember 2014

Ketika Rindu Tak Berpintu

Tahukah engkau, butiran-butiran rindu yang mengembun di talas hati? Setelah semalaman tadi rintik.
Berseluncur ke sana kemari, dalam diamnya otak kiri.

Tahukah engkau, bagaimana cara ia menggigilkan hati? Sungguh, tak mampu ditelan ainku.

Sepurnama tadi ... Lebih dari selaksa puja pada-Nya, terapal indah. Hanya untuk mengalirkan renjanaku, pada tempat seharusnya dan menghitamkan bayangmu di pekat malam.

Lantas, sepi dan beku tetap memenjarakan semua inginku.
Adakah engkau tahu?
Cara lain mengatasi ini?
Karena aku terlalu jengah dengan balada laba-laba bermuka dua.

Ia mengejekku melalui denting jaringnya. Mengalunkan nada-nada sendu. Membuat bayangmu tak kunjung keruh.

Kini, haruskah aku memaki benang merah? Yang menautkan ain kita di purnama kedua belas?
Ataukah engkau berkenan, mengautkan segala yang tercerai dari hati ini?
Menyusunnya menjadi pintu, untuk kubuka dan merengkuh kembali sabitmu yang telah pergi.

Atau dengan terpaksa, biarkan aku beramnesia. Agar semua perih itu gugur bersama mimpi indah masa lalu. Hingga aku mampu, menatap seminya harapan baru di ujung pagiku, yang sendu.

AM. Hafs
Malang, 08 Desember 2014

Jumat, 05 Desember 2014

Pengaruh Orang Tua Terhadap Salat Si Anak

Aku salut pada perkembangan sikap David. Bagaimana balita bisa menjalankan salat lima waktu dengan lengkap. Meski terkadang ada rasa malas yang muncul di dirinya, namun tak butuh dua kali perintah untuk membuatnya mendirikan sholat. Bahkan tak jarang pula, dia yang mendahului dengan bertanya, "Bu, sekarang salatnya berapa kali?" yang maksudnya berapa rakaat.

Semua tak lepas dari didikan orang tua dan lingkungannya. Di rumah ini semua orang terdekatnya mengerjakan sholat. Sehingga, ketika dia tidak mendirikan salat, ada perasaan malu yang muncul.
Hal itu juga menjadi pembuktian, sebuah teladan lebih dahsyat dari kata-kata.

Di sudut rumah yang lain pernah kutemukan, bagaimana sulitnya menyadarkan seorang anak bahwa salat lebih dari kewajiban.

Hari Jumat adalah jadwalku mengisi musala di samping rumah. Ada sekitar 15 anak dan remaja yang tiap sesudah magrib hadir menuntut ilmu.

Hari itu, kuceritakan tentang pengetahuan salat. Terutama bagi mereka yang telah remaja. Pada kesempatan itu, aku bertanya pada seorang anak kelas 7 SMP, "Sehari salat berapa kali?"

Dia tersenyum, cengar-cengir sebelum akhirnya menjawab, "Dua kali, Mas."

"Magrib Isya saja?" Aku mencoba menebak.

"Hehe, iya."

"Duhur enggak?" dia hanya tersenyum, "pulang sekolah jam berapa?"

"Jam 1, Mas."

"Langsung kemana? Maen?"

Dia menunduk dengan senyum malu-malu.

"Salat dulu to, Le. Baru maen. Sudah kelas tujuh lo kamu. Coba mulai besok salat, ya?"

"Hehe, malu, Mas?" Jawabnya sambil menggaruk kepala.

"Lho, kok malu?" Aku heran.

"Orang tuanya gak ada yang salat, Mas." Seorang anak yang masih sepupunya menyahut.

"Eh?" Aku terdiam. "Yawes, kalau malu salat di rumah, coba kalau sekolah bawa sarung. Di sekolahmu ada musala kan? Pulang sekolah mampir dulu ke situ, salat. Jangan lupa juga doakan orang tuamu. Kasihan, Le. Mulai besok sanggup ya? Jumat depan kucek lagi."

Begitulah, yang satu malu ketika tidak mendirikan salat. Satunya lagi sebaliknya. Semoga bisa diambil hikmahnya.

AM. Hafs
Malang, 05 Desember 2014

Selasa, 02 Desember 2014

Buku Berpenyakit Hati

Judul Buku          : Animus Seven Days
Penerbit              : Lovrinz Publishing
Penulis                 : Ajeng Maharani
Tebal                     : viixxxv + 296 Halaman
Cetakan               : September 2014
Peresensi            : Muhammad Agus Riwayanto (AM. Hafs)
(Alumni MA Darul Karomah Singosari, Pengelola Rumah Sebuku 2 di Malang, Koordinator Komunitas Bisa Menulis (KBM) Regional Malang)

Buku Berpenyakit Hati

Sebuah topic yang tak akan pernah habis diulas. Sebuah makalah yang tak akan pernah tuntas dipresentasikan. Seperti itulah gambaran ketika mengupas masalah hati. Hati yang mampu berbicara tanpa suara. Seolah menyimpan beragam misteri, juga keunikan. Lebih khusus lagi jika membahas tentang penyakit hati. Beribu atau bahkan berjuta tulisan telah mengupasnya. Karena memang penyakit yang satu ini berbahaya namun tak kasat mata. Bahkan terkadang tak dirasa.

Penyakit hati, kerap kali membuat seseorang sengsara tanpa disadarinya. Mulai dari iri, dengki, sombong, dendam, benci, sum’ah. Apabila sudah menggerogoti hati, maka sulit untuk diobati. Karena cara pengobatannya tak mungkin dilakukan seperti ketika mengalami sakit fisik.
Jika sakit fisik, kita hanya perlu meminum obat sesuai saran dokter. Tapi ketika sakit hati, obatnya hanyalah olah jiwa, muhasabah. Itu pun hanya bisa dilakukan oleh orang yang sadar bahwa dirinya tengah sakit. Sedang bagi mereka yang tak menyadarinya, akan terus menerus termakan penyakit, yang berimbas pada buruknya tabiat juga pemikiran.BBerkaca dari hal tersebut, kehadiran Novel Animus seolah ingin membawa pembaca menyadari keberadaan penyakit hati. Di dalamnya, secara tersirat digambarkan, bagaimana manusia-manusia yang tak sadar dengan penyakit yang merasukinya akhirnya bertabiat buruk.

Sebuah novel bergenre thriller ini menyajikan cerita secara maju-mundur dalam beberapa part. Berkisah tentang empat tokoh utama, dengan background yang berbeda namun berpenyakit sama. Dendam. Dari mula yang berbeda juga, namun berakhir dalam ujung pertemuan yang saling berkaitan. Dikemas apik dalam kadar penasaran yang pas, membuat pembaca enggan untuk berhenti menjelajahi tiap kalimatnya.

Berdasarkan isi cerita, novel ini dikhususkan untuk pembaca dewasa. Karena di dalamnya terdapat adegan yang akan membuat hati begidik ngeri. Penggambaran tokoh antagonis yang detail, membuat pembaca ikut larut dalam kebencian.  Tak lupa, setting yang dilukiskan dengan diksi terpilih, juga mendukung imajinasi untuk menggambarkan dengan lebih jelas.

Kejadian demi kejadian, mampu menyihir pembaca untuk turut merasakan dan menyelami keadaan para tokoh. Padahal, novel ini disusun hanya dalam rentan waktu sebulan. Bagi penulis pemula, novel ini akan menjadi gudang kosakata. Karena sang penulis pandai menggabungkan kata menjadi idiom-idiom cantik tanpa membingungkan pembaca.

Membaca novel ini sama dengan bermuhasabah. Karena tanpa sadar, kita akan diajak menekuri tiap akibat dari keburukan penyakit hati yang terturuti. Satu kekurangan dari novel ini, kesadisan yang digambarkan, membuatnya tak bisa direkomendasikan untuk pembaca-pembaca bermental lemah dan juga anak-anak. Sedang bagi mereka yang suka cerita horor, novel ini akan mejadi kado yang pas dan memuaskan. 

Senin, 01 Desember 2014

Keutamaan Anak Zaman Dulu

Soul, kau tahu kenapa anak dulu tak pernah membantah, ataupun bertanya, ketika orang tua mereka melarang sesuatu? Walau dengan alasan yang aneh? Ya, Aneh. Seperti, jangan duduk di atas bantal, nanti bisulan. Jangan minum sambil berdiri, nanti betisnya besar. Dan beberapa nasehat 'aneh' lainnya? 

Hanya Celoteh Kecil, Cukup Dilirik Saja

Selamat datang Desember dan juga Safar. Pada bilangan ketujuh Safar aku pertama kali menangis. Tangisan yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya. Apakah karena ketakutan menghadapi dunia baru atau karena keluar dari zona nyaman rahim ibu? Entah. Yang jelas kini telah sampai pada putaran ke 23.

Di putaran ini, beberapa orang telah merengkuh mimpi. Sedang aku masih berkutat dengan segala keluh. Menatap hal-hal yang sebenarnya lebih baik diabaikan.

Ada yang bilang aku tengah mengepak sebagai kupu-kupu. Kupu-kupu macam apa? Yang kulihat masih bayang semu. Semua hitam yang melekat mengaburkan pandangan. Hingga kadang aku tersesat pada bunga semu dunia.

Anda pengunjung ke

Statistikku