Senin, 02 Desember 2019

Allah, Maaf Aku Hanya Ingat Engkau saat Susah

Allah, aku sedang tertawa. Menertawai nasib. Dan aku yakin Engkau tahu walau tanpa ku bercerita.
Allah, para alim berkata bahwa di surat At Tin Engkau berfirman bahwa Engkau menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Tapi aku malah sedang merasa menjadi satu produk gagal. Apa barangkali aku ini sebaik-baik produk gagal?
Allah, aku percaya dengan firman-Mu bahwa setiap orang diuji sesuai dengan kemampuannya. Tapi saat ini aku merasa sudah sangat lelah. Meski begitu, aku belum ingin pulang. Karenanya Ya Allah, berilah hamba kekuatan dan jalan keluar terbaik di setiap ujian yang Engkau berikan.
Allah ...

Jumat, 25 Oktober 2019

Menulis, Menunda Kematian

Kadang kala, aku memikirkan bagaimana rasanya mati. Lalu apa yang akan terjadi padaku saat sudah di alam baka nanti? Apakah seperti tengah bermimpi atau malah lebih terasa hidup daripada rasanya hidup di dunia?

Kematian, menurut al-Ghazali adalah suatu hal yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini. Bahkan jarak antara hidup dan mati barangkali hanya hitungan detik. Tergantung seberapa cepat Izrail mencabut nyawa ini.

Namun memang sudah menjadi keumuman, yang dekat seringnya malah terabaikan. Yang jauh malah terngiang tanpa henti. Ah, generalisasi.

Kadangkala, membayangkan kematian dengan gambaran yang pernah kudengar, ketika ruh dicabut seperti dicabutnya kain dari belukar berduri, membuatku begidik ngeri.

Namun, ketika aku ingat bahwa Allah Maha Pengampun, dan Rahmat Allah jauh lebih besar daripada dosa-dosaku, aku seolah siap dipanggil kapan saja.

Kematian, juga disebut sebagai nasihat terbaik. Hanya ... umumnya orang bukanlah pendengar nasihat yang baik. Seringnya butuh momen tertentu sampai seseorang itu bisa menerima sebuah nasihat dengan hati.

Apa pun, kematian sesungguhnya adalah saat dirimu tak lagi diingat oleh orang lain. Bisa karena semasa hidup, lakumu kurang bermanfaat bagi orang lain atau bisa juga karena namamu terlalu buruk untuk dikenang. Maka, menulis kebaikan, ilmu, atau hikmah selain untuk tabungan amal kebajikan, juga agar nama kita tetap bergaung saat jasad telah tiada. Minimal anak keturunan masih bisa membaca 'kita'.

AM. Hafs
Malang, 26 Oktober 2019

#Akukeluargacangkirpena
#nulismawanitisharikeempat

Rabu, 23 Oktober 2019

Cerita Sedih Kala Hujan

"Bila bagimu hujan adalah obat, maka bagiku hujan adalah racun."

Aku pernah menikmati rintik dalam sunyi ditemani lagu-lagu Sheila On 7 yang setahun belakangan beralih ke jalur indie. Mengukir kata demi kata di otakku, menjadi sebuah puisi renungan yang lenyap seketika saat hendak kutuliskan. Seharusnya tadi ketika di luar, aku membawa pensil dan kertas, ujar benakku. Sebuah penyesalan yang sia-sia.

Belakangan, aku merasa hujan itu mimpi buruk. Lebih tepatnya setelah kepergianmu. Hujan yang dulu mengisi kesendirianku, kunikmati dengan syahdu, menjadi berwarna saat kamu di sisiku. Dan ketika kamu pergi, semua warna seolah itu turut kamu bawa lari. Arkais, ketika hujan menyapa rerumputan, dan gemericiknya bersenandung, aku lebih memilih berlindung di dalam selimut, daripada sakit hati mengingatmu.

Arin membaca tulisan di unggahan blog Marwan itu dengan hati yang tidak kalah sakit. Sebenarnya, tidak sampai hati dia harus mengatakan kalimat perpisahan itu. Apalagi di tengah taman, saat hujan. Kalau saja dia tidak berharap hujan akan menyamarkan air matanya. Sebab dia harus terlihat serius dan tegar.

"Kak, sudah waktunya minum obat."

Arin tergagap dan segera menghapus air matanya yang melelah ke pipi tanpa dia sadari.

"Ah, iya. Makasih, Suster."

Andai saja yang memergoki air mata itu ibunya, pasti dia akan dicecar pertanyaan. Di sisa umurnya kini, sebagaimana yang dia minta ke orang tuanya, dia enggan jika harus dirawat di rumah sakit. Dia ingin tinggal di desa yang asri, tenang dan damai. Sehingga dia masih merasa seperti orang pada umumnya. Bukan seperti orang yang tengah menanti ajal karena penyakit leukimia yang dideritanya.

...

Marwan tampil menawan di atas panggung. Puisi patah hatinya yang viral, ia bawakan dengan penuh penghayatan. Banyak yang menebak itu karena pengalaman pribadinya, tapi tidak pernah sekali pun marwan memberi klarifikasi atau semacamnya.

Turun dari panggung, dia dipanggil Toni untuk segera ke mobil.

"Ada apa?"

"Sudah ikut saja, darurat."

"Halah, paling-paling minta traktir lagi kan? Berapa orang?"

"Sudah ikut saja, dan jangan banyak tanya."

Toni berlagak setenang mungkin agar Marwan tidak curiga. Dilajukan Ayla Putihnya menyusuri jalanan yang terik walau mendung sudah mulai berarak. Marwan mengambil satu novel dari tasnya dan mulai sibuk membaca. Toni merasa bersyukur dengan hobi karibnya itu. Kalau saja dia terus mencecarnya dengan pertanyaan, entah bagaimana dia akan menjawab.

Sedari tadi membaca buku, Marwan tak sadar jika sudah hampir sejam di perjalanan.

"Kita mau ke mana ini?"

"Sudah, lanjut saja baca bukumu. Sebentar lagi sampai. Teman-teman juga sudah menunggu."

Marwan mengangkat alis dan bahunya sebelum melanjutkan membaca buku.

...

"Kita sudah sampai."

Marwan melihat rumah lama bercat putih, gaya Belanda. Ada kerumunan orang di bawah tenda yang dipasang di depan pintu masuk. Bendera palang merah tapi berwarna hijau berkibar menempel di sisi pintu gerbang.

"Rumah siapa ini, Ton? Siapa yang meninggal?"

"Ayo masuk! Nanti kamu tahu sendiri."

Di depan pintu menyambut sosok yang begitu dikenalnya. Bapak dan ibuk Arin.

Deg!

Marwan berlari ke dalam rumah. Ada sesosok jenazah berkafan di ruang tengah. Di sampingnya, terduduk sosok lain yang tidak asing. Arin, memakai jilbab dan gamis hitam.

"Arin? Siapa yang meninggal?" Sejenak Marwan tampak lega, yang terbujur di sana bukan seseorang yang walau pernah menyakiti, tapi masih dia cintai.

"Maaf, Kak. Aku Rina. Saudara kembar Kak Arin," katanya sembari memendam isak tangis.

Ditengoknya wajah jenazah yang terbujur itu. Dan memang ... Arin. Seketika Marwan terduduk lemas, kebingungan, dan tak tahu bagaimana menyebut perasaan yang bergolak tak keruan di hatinya.
...

AM. Hafs
Malang, 23 Oktober 2019

#Sayakeluargacangkirpena
#nulismawanitisharikedua

Selasa, 22 Oktober 2019

Mahkota untuk Ibu

"Aku berangkat, Pak, Bu. Minta doanya. Semoga ilmu yang kuperoleh bisa manfaat dan selalu dalam naungan ridho Allah SWT."
Barangkali sebagian besar santri akan mendapat balasan berbagai pesan dan senyum. Namun, tidak bagi Mada. Sudah lima tahun ini ia hanya mendapati dua tulisan di batu nisan yang berdampingan.
Sudah enam tahun ini Mada tinggal di pesantren pamannya, Kyai Dalhar. Dengan terpaksa. Sebab pemuda dua puluh tahun itu awalnya enggan untuk masuk pesantren. Bahkan di bulan pertama, ia harus dipasung agar tidak mengamuk saat sakau karena obatnya habis.
...
"Maaf, anak Anda kami tangkap. Ia terbukti memakai obat-obatan terlarang."
Segerombolan orang berseragam polisi menjemput Mada di rumahnya. Orang tuanya syok. Ia memang cukup nakal, tapi tak pernah terbayang kalau ia akan sampai mencicipi barang haram itu.
"Bawa anak durhaka ini, Pak! Kami tidak ridho punya anak seperti dia! Mulai hari ini anggap kami sudah mati!"
Mada hanya tertunduk tanpa bisa bicara apa pun.
...
Kyai Dalhar, yang masih saudara jauh ibunya mendengar kejadian itu. Tanpa sepengetahuan orang tua Mada, menjemput Mada dari Kantor Polisi. Beliaulah yang menjamin dan mengusahakan agar Mada bisa menjalani rehabilitasi di Pesantren beliau. Orang tua Mada pun hanya tahu anaknya dipenjara.
"Nak, buyut-buyutmu dulu itu orang alim semua. Bagaimana bisa kamu jadi seperti ini?"
Jika saja yang bertanya seperti Bapak atau Ibu Mada, pasti tanpa ba-bi-bu ia akan menjawab, "Persetan! Hidupku tidak ada hubungannya dengan mereka!"
Namun, wajah teduh dan suara yang penuh wibawa Kyai Dalhar membuat Mada tidak bisa berkata-kata hanya tertunduk. Seolah ada hawa aneh dari dalam diri Kyai Dalhar. Apa ini yang disebut karisma? batin Mada.
"Sekarang begini. Semua terserah padamu. Mau tinggal di sini dengan mentaati segala aturan Pesantren dan menjalankan apa yang aku tugaskan atau kembali ke penjara?"
Bagi Mada yang sudah merasakan dinginnya sel penjara dan  tatapan mengerikan para tahanan malam sebelumnya, tanpa pikir panjang pun mengangguk. Setidaknya di sini aku tidak bertemu berandal-berandal seperti di Penjara, begitu benaknya. 

(Bersambung)

AM. Hafs
Malang, Hari Santri 2019

# sayakeluargacangkirpena #nulismawanitisharipertama

Rabu, 07 Agustus 2019

Dendam di Bengkel Tua

Polisi sudah hampir menyerah ketika akhirnya Bagus, adik dari Fani -wanita yang dilaporkan hilang lima bulan sebelumnya- menemukan mobil sport kakaknya di bengkel milik Garda, pria yang dikenal sang kakak melalui media sosial. Informasi mengenai Garda, didapatkan Bagus dari buku catatan Fani yang tersembunyi di loker rahasia di bawah ranjang Fani. Fani menuliskan tentang keadaannya yang sedang dikuntit oleh seseorang yang dikenalnya melalui media sosial, pertemuan mereka di rumah Garda beserta alamatnya. Walaupun demikian, keberadaan Garda yang juga lenyap, membuat kasus hilangnya Fani masih samar sehingga pihak kepolisian belum bisa membuat kesimpulan apa pun.

Fani, wanita paruh baya yang menghilang itu bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan keuangan, sedangkan Garda, sampai dengan ditemukannya mobil Fani, hanya diketahui sebagai lelaki yatim piatu pengangguran. Akun media sosial Garda yang menjadi muara perkenalan mereka berduanya juga minim informasi. Hal itu kian membuat heran. Bagaimana bisa Fani yang terkenal teliti dan hati-hati bisa berteman dengan Garda? Tak kalah mengherankan, keadaan mobil sport Fani ringsek seolah akibat jatuh dari jurang.

Bagus tak habis pikir dengan semua kebuntuan yang ada di hadapannya. Detektif swasta itu mengira dengan ditemukannya mobil Fani, maka satu per satu celah dari kasus ini akan terungkap, tetapi sebaliknya, misteri yang ada menjadi kian gelap. 

Kasus sang kakak tidak hanya membuatnya terluka, tapi juga mencederai kariernya yang cemerlang. Hampir setiap kasus yang ia kerjakan, bisa terungkap kurang dari seminggu. Sedangkan sekarang? Lima bulan sudah berlalu dan entah butuh waktu berapa lama lagi baginya untuk memecahkan kasus ini. Sesekali ia menyesalkan karakter introver Fani. Andai saja hubungan mereka bisa akrab, tentu kejadian seperti ini akan mudah dicegahnya. 

---

Kalimat Aktif: Fani menuliskan tentang keadaannya yang sedang dikuntit oleh seseorang yang dikenalnya melalui media sosial, pertemuan mereka di rumah Garda beserta alamatnya.

Kalimat Pasif: Informasi mengenai Garda, didapatkan Bagus dari buku catatan Fani yang tersembunyi di loker rahasia di bawah ranjang Fani.

Penghubung intrakalimat: Fani, wanita paruh baya yang menghilang itu bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan keuangan, sedangkan Garda, sampai dengan ditemukannya mobil Fani, hanya diketahui sebagai lelaki yatim piatu pengangguran

Penghubung antarkalimat: Walaupun demikian, keberadaan Garda yang juga lenyap, membuat kasus hilangnya Fani masih samar sehingga pihak kepolisian belum bisa membuat kesimpulan apa pun.

Majemuk Setara Sejalan: Polisi sudah hampir menyerah ketika akhirnya Bagus, adik dari Fani -wanita yang dilaporkan hilang lima bulan sebelumnya- menemukan mobil sport kakaknya di bengkel milik Garda, pria yang dikenal Fani melalui media sosial.

AM. Hafs
Malang, 7 Agustus 2019
#kuisgramatikaronde4

Selasa, 16 Juli 2019

Ketika Aku Terjatuh dalam Bayangan Hitam

"Pernahkah kamu merasa hidupmu hanya menjadi beban bagi orang lain? Segala hal yang kamu lakukan berakhir sebagai sebuah kesalahan. Dan segala yang kamu usahakan berakhir sebagai kesia-siaan. Aku sering."

Pada titik tertentu, aku merasa keberadaanku sendiri adalah sebuah kesalahan. Terutama bagi orang-orang di sekelilingku. Terlebih ketika kesalahan-kesalahan itu menyakiti orang-orang yang kusayangi dan membekas bagai hantu yang terus membayangi imajiku. Dalam keadaan seperti itu, suara-suara kematian menggema di alam pikiranku. Tawa bahagia orang-orang di sekeliling jasadku membayang seolah-olah mati adalah hal yang bisa kulakukan agar mereka bahagia.

Barangkali tidak ada yang tahu jika kegiatan berpikir untuk bunuh diri adalah rutinitasku, bahkan keluarga dan teman dekatku. Di depan mereka, aku sering bertingkah dan berlagak kuat. Bahkan kegiatan menangis, sebisa mungkin kulakukan saat sendirian.

Jika ada yang bertanya kenapa ada pikiran bunuh diri? Karena ketika aku berbuat satu kesalahan, bayangan kesalahan di masa lalu yang seolah tak pernah bisa kuperbaiki ikut muncul, mencerca pikiranku. Maka, ingatanku pun dipenuhi dengan kenangan kesalahan-kesalahan yang seolah berulang dan tak pernah bisa kuperbaiki.

Sampai saat ini pun, aku kerap melakukan hal yang sama. Lalu, kenapa aku masih bisa bertahan? Jawabnya karena iman.

Aku patut bersyukur, imanku yang tidak seberapa ini tidak pernah berhenti berteriak bahwa kematian bukanlah jalan keluar.

Lalu perlahan, ayat-ayat Al Quran kembali menjadi wirid. Terutama ayat-ayat penguat hati, seperti Al Insyirah, akhir surat Al Baqarah. Lalu aku mulai berdiri lagi, mencoba menjalani, mencoba berubah secepat yang aku bisa.

Apa tidak ada orang yang bisa membantuku? Ada, banyak. Tapi aku takut, ketika melibatkan orang lain, yang terjadi malah aku menyakiti lebih banyak orang.

Ingin mati, ketika iman berada pada puncak ma'rifat, ketika kecintaan dan kerinduan kepada Allah tidak lagi tertahan, barangkali memang sebuah kenikmatan. Namun, mati karena lari, tidak akan pernah menjadi hal yang baik. Hanya saja, aku sering berdoa, ketika aku mati, semoga orang-orang di sekitarku lebih bahagia. Minimal, kebodohanku tidak lagi menyakiti mereka.

AM. Hafs
16-Juli-2019

Selasa, 12 Februari 2019

Kekuasaan, Buku, dan Perang Ideologi

Dua pekan lalu, mataku tertuju pada sebuah giveaway buku yang diadakan oleh @dialektikabook, sebuah toko buku yang ada di kota Makassar. Pada gelaran giveaway yang disebarkan melalui story akun toko buku itu tercantum redaksi kurang lebih seperti ini, “Sebelum dirazia, kami mau bagi-bagi buku.” Aku belum paham pada awalnya, tapi setelah membaca beberapa postingan pegiat literasi yang kuikuti di akun Instagram, barulah aku mengerti. Penyebabnya berasal dari wacana kontroversial Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang hendak merazia buku-buku yang dianggap berisi gagasan komunisme.

Keterkejutanku bertambah tatkala melihat razia tersebut benar terjadi di Kediri dan Padang pada hari Selasa (8/1) seperti diberitakan detik.com. Buku-buku yang dirampas di antaranya berjudul Kronik 65, Anak-anak Revolusi, Jas Merah serta Mengincar Bung Besar.

Perasaan geramku bangkit dan menuntunku pada diskusi panjang lewat daring dengan seorang sahabat yang merupakan pegiat literasi sekaligus anggota TNI AD yang bertugas di Sulawesi. Aku menanyakan pendapatnya tentang razia tersebut. Dia pun mengemukakan, “Razia itu lucu. Apa salahnya buku? Bahkan ada buku tentang presiden yang dianggap berbahaya. Si pemberi perintah itu terkesan berlebihan mencari sensasi dan sepertinya dia butuh banyak baca buku lagi. Ini sudah zaman reformasi, otak dituntut beradaptasi. Maklum saja, masih banyak TNI yang masih kaku dan belum beranjak dari masa orde baru. Di perpustakaan yang baru kubentuk di sini malah aku memajang buku-buku yang katanya berhaluan kiri termasuk pemikiran-pemikiran Karl Marx. Intinya, aku sangat tidak setuju dengan razia itu,” paparnya dengan berapi-api. Dia seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua anggota TNI setuju terhadap razia itu. Aku pun sepakat dengan pendapatnya. Meskipun awam hukum, razia yang miskin landasan ini membuatku berpikir bahwa kebebasan berekspresi di negara ini mulai dipertanyakan.

Alih-alih merazia buku, pemerintah seharusnya perlu membuat program pembangunan literasi. Bukan hanya soal mengangkat minat baca, tapi juga berkaitan dengan bagaimana proses kreatif menulis, penerbitan buku,  pembangunan ruang-ruang baca, dan peningkatan minat baca masyarakat.

Urgensi pengadaan program pembangunan literasi adalah agar masyarakat punya benteng untuk menghadapi ideologi dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan Pancasila. Sebab kegiatan membaca adalah budaya menelaah, mencari tahu, yang membuat seseorang bisa berlaku kritis dan ilmiah. Terutama dalam menentukan status sebuah informasi. Masyarakat juga akan mempunyai daya untuk melawan sebuah ideologi melalui media yang sama, buku.

Jika melawan buku yang mengandung sebuah ideologi hanya dengan merazia, itu tak ubahnya seperti memotong saluran air yang bocor. Bukan malah kebocoran itu tertutup, namun malah membiarkannya mengalir deras. Bagaimana tidak, semua kegiatan razia yang menimbulkan sensasi itu akan membuka kran penasaran masyarakat. Mereka yang sebelumnya tak tahu judul buku-buku kiri jadi tahu, ditambah dengan mudahnya akses internet, tak menutup kemungkinan jika buku kiri dalam bentuk elektronik sudah tersebar luas di situs-situs tertentu.

Di saat yang sama, ketika masyarakat yang penasaran tadi mulai membaca buku kiri, pemerintah belum banyak memiliki buku-buku yang bisa mematahkan ideologi buku-buku kiri. Bukankah ini sama saja dengan melakukan 'gol bonuh diri'?

Jika tindakan razia itu dianggap benar dan efektif, apakah nanti ketika masyarakat mulai beralih ke ranah buku elektronik, lalu pemerintah menutup akses internet? Tidak mungkin bukan?
Buku selayaknya dibalas dengan buku. Tapi kembali lagi, lebih mendesak pula untuk membangun budaya literasi, dari hulu ke hilir. Dari penulis ke penerbit, dari penerbit ke penjual, dan termasuk bagaimana menyediakan wadah-wadah yang memudahkan akses masyarakat ke buku. Di samping untuk melawan buku-buku yang dianggap terlarang, juga tak kalah mendesak untuk membentuk masyarakat yang anti hoax melalui program pembangunan literasi tersebut. Mirisnya, bukannya memikirkan program perbaikan minat baca dan peningkatan budaya literasi, pemerintah malah membebani para pegiat literasi dengan menaikkan pajak buku. Kebijakan tersebut membuat program kirim buku gratis ke Taman Baca di tanggal tertentu tiap bulannya jadi terlihat sia-sia.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penting sekali membangun wadah untuk pegiat literasi dan membangun budaya baca melalui media buku. Bukan malah menarik banyak buku yang dianggap berpaham ajaran kiri. Lebih konyol lagi, bila penarikan sebuah buku hanya berdasar pada sampulnya saja. Bukan karena membaca secara utuh. Mengherankan, ketika sebuah buku yang di dalamnya terdapat sebuah sejarah harus ditarik hanya karena diduga memuat ajaran kiri yang belum tentu benar.

Masyarakat Indonesia juga perlu meningkatkan minat baca sebagai bentuk perlawanan terhadap berita 'hoax' yang kian menjamur dan sukar dikenali. Di lain pihak, pemerintah haruslah beranjak dari zaman Orde Baru. Mengingat sekarang bangsa Indonesia berada di zaman Reformasi yang memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk berpendapat.
Perlu juga digaris bawahi, tahun 2016 melalui daftar 'World Most Literate Nations' yang dibuat oleh Central Connecticut State University mengatakan bahwa Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara. Indonesia hanya berdiri di atas Botswana, negara miskin dan kecil di Afrika. Nantinya, bukan hal yang mustahil jika budaya literasi bangsa Indonesia akan semakin mengalami kemunduran bila razia dan pemberangusan buku tetap dibiarkan.

Semoga saja, razia di Kediri dan Padang menjadi yang terakhir di negeri ini, sebab  -sekali lagi- literasi negeri ini butuh perbaikan, bukan pemberangusan. Di samping itu, sebagai masyarakat, rasanya tak cukup bila kita hanya mengkritisi pemerintah dan berharap adanya program yang lebih baik untuk dunia literasi negeri ini. Kita yang sadar literasi, melek informasi dan teknologi, serta mempunyai minat baca tinggi, juga harus mulai bergerak. Seperti mendirikan taman baca, melakukan penyuluhan, dan mulai mengenalkan nikmat dan pentingnya membaca pada generasi muda sekaligus memupuk mereka menjadi garda literasi yang mampu memperbaiki negeri ini. Akhirnya, mengutip pendapat Heinrich Heine [sastrawan terkemuka dari Jerman]: 'bila orang membakar buku, akhirnya mereka juga membakar manusia.'

Referensi:

1. Mojok
https://www.google.com/amp/s/mojok.co/mod/esai/empat-hal-yang-harus-aparat-razia-selain-buku-pki/amp/

2. Kompasiana https://www.kompasiana.com/1bichara/5c36f3e7c112fe1a8b6719e9/gagal-paham-razia-buku?page=all

3. Detik.com
https://m.detik.com/news/kolom/d-4386594/razia-buku-memenjarakan-nalar-intelektual

4. Tirto
https://tirto.id/razia-buku-penghinaan-terhadap-ilmu-dan-perlunya-aparat-membaca-dcLf

5. Rappler https://www.rappler.com/indonesia/145605-daftar-kasus-pemberangusan-buku-indonesia

Disusun oleh:

Ammy
Dion OS Umar
Maretha

#katahatiproduction #katahatichallengge

Selasa, 05 Februari 2019

Yang Hitam Kelam pun Masih Bisa Memutih

"Kepalaku penuh."

"Sudahlah tenangkan diri dulu."

Kardi masih menunduk. Jari-jarinya meremas kepalanya kuat-kuat. Andai dengan tercabutnya rambut dan kulit kepala bisa membuat selesai masalah, ia pasti akan melakukannya sejak tadi.

"Sudah banyak kekacauan yang kubuat."

"Lalu? Sekarang apa maumu?"

"Entah. Yang kurasakan saat ini hanya rasa sakit di dada."

Semenjak dia pergi ke dukun lima tahun lalu, kehidupannya jadi tambah buruk. Mungkin orang lain yang melihat, Kardi itu hidupnya enak. Rumah besar, kehidupan mapan, toko bangunannya laris, istri cantik, anak-anak yang pintar. Tapi, di balik semua itu Kardi menderita sendiri.

Sri, bunga desa yang dipersuntingnya, ketika berada di hadapannya, gadis yang lebih muda lima tahun dari Kardi itu terlihat seperti boneka. Dia akan mematuhi semua perintah Kardi, apapun itu. Efek dari ajian babi goyang yang dia pelajari yang menuntut tumbal darah perawan setiap tahun, tepatnya di tanggal 17 Syuro. 

Karena efek penurutnya itu, selain seperti boneka, Kardi bercerita jika istrinya malah lebih mirip mayat hidup saat ini. Berjalan tanpa kehendak di hadapannya. Dan hal itu pula yang membuat hati Kardi ikut merasa getir dengan kepalsuan yang dimilikinya. 

Tentang darah perawan, tiap tahun Kardi akan berkeliling ke Germo-germo. Membeli perawan. Tapi bagaimanapun sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.

Kesialannya lainnya bermula seminggu yang lalu. Dia dibohongi oleh seorang Germo di Sarang Bunga. Kardi bercerita, malam itu Germo menawarkan Miyoko, perawan Jepang. Seorang wisatawan yang tersesat saat melakukan pendakian ke Merapi. Ia bertemu dengan salah satu anak buah germo. Alih-alih diselamatkan, Miyoko justru diculik dan dijadikan pelacur. 

Karena sudah akrab dengan si Germo, dia pun diberi hak istimewa untuk menjadi yang pertama membawa Miyoko. Dengan harga yang tidak murah tentunya. 

Malam itu, Miyoko didandani seperti peri hutan. Bibir yang tipis namun menggoda, mahkota dari bunga dan akar tumbuhan, rambut hitam dikepang turut memahkotai tubuh putih mulus, membuat Kardi tak berhenti menelan ludah. 

Ranjang yang akan menjadi altar pun sudah disiapkan dengan tema yang sama, hutan bunga belantara. 

Kardi masuk ke dalam kamar, bersiap melakukan ritual tahunannya. Sedangkan Miyoko, gadis petualang itu hanya bisa meratapi kesialannya. Air matanya sudah habis. Melihat kondisi itu, entah darimana, perasaan iba Kardi muncul. 

"Speak english?"

Miyoko yang sudah setengah telanjang hanya mengangguk. Kardi kemudian membisikkan niatnya tentang menebus Miyoko dan memulangkannya ke Jepang. Asal dia mau memuaskannya malam itu. Tak disangka, hal itu membuatnya tersenyum. Barangkali gadis itu berpikir setidaknya dia bisa pulang. 

Setelahnya, pergulatan kedua manusia beda negara itu pun dimulai. Tanpa cinta, hanya ada nafsu dan nafsu. Hingga tiba pada ritual terakhir, mengolesi patung ayam dengan darah perawan. 

Kardi melongok ke area terlarang Miyoko. Dan seketika itu pula, wajahnya memerah. Keringatnya berkucuran di dahi. Darah yang diharapkannya tidak nampak. Sedang Miyoko sudah terkulai lemas, tak berdaya. 

Kardi menduga, Miyoko bukan perawan. Dan kemudian terbukti dengan anggukan gadis jepang itu setelah Kardi menanyainya.

Patung ayam mulai berasap. Kardi kebingungan juga ketakutan. Sudah tidak sempat lagi untuk mencari pengganti. Ah, dia merasa benar-benar ceroboh saat itu. 
Dalam kebingungan dan ketakutannya, Kardi menjadi kalap, Miyoko diberinya bogem mentah, "Dasar Penipu!"
Darah segar keluar dari hidung Miyoko yang spontan saja berteriak. Miyoko keheranan sekaligus menangis ketakutan. Matanya seolah bertanya, apa salahku?

Mendengar teriakan Miyoko, bagian keamanan, bawahan Germo, mendobrak pintu. Kardi sudah bersiap dengan AK-47 yang telah dia siapkan di kopernya. Terjadilah malam itu suatu pembunuhan massal di tempat pelacuran Sarang Bunga. Termasuk Germo yang menjadi korban. Kardi lari ke hutan yang ada di belakang pelacuran. Patung ayam tadi sudah meledak, berasap, dan mengeluarkan ular-ular cobra yang terus-menerus mengejarnya. 

Akhirnya, di sini Kardi sekarang. Di dalam goa di bawah kaki Gunung Slamet, tempatku uzlah. Menyendiri dari hiruk pikuk dunia. Dia berlindung di tempatku dari ular-ular cobra yang siap menghisap darahnya kapan pun dia keluar dari goa. Dan juga dari kejaran polisi. 

Aku sebenarnya heran, bagaimana dia bisa tersesat ke tempatku dalam keadaan yang seharusnya sudah tidak mungkin lagi untuk bergerak. Baju dan celananya combang-camping, penuh lumpur, dan luka gores di sekujur tubuh. Hanya saja, yang kutahu takdir Tuhan tidak mengenal yang namanya kebetulan. Jika Dia berkehendak atas sesuatu, maka terjadilah.

Sudah seminggu dia di sini, duduk diam, sesekali sesenggukan menangisi masa lalunya. Tapi masih bisa makan. Kubiarkan saja ia berbuat semaunya sembari tersenyum geli. Kenapa kebanyakan manusia baru bisa meratapi kesalahannya dan kembali merasa berTuhan saat telah di ambang kematian. Tapi di sisi lain aku juga iri. Tuhan masih welas asih kepadanya. Dan juga kian kagum atas sifat-Nya itu. Ia memberi kesempatan buat Kardi yang begitu bejat untuk tetap hidup dan menyesali semuanya. Tapi ya sudahlah, aku tak ada urusan dengan hal itu. Tugasku saat ini menjadi wasilah dari sifat welas asih Tuhan. Membantunya bertaubat dari segala ilmu hitam yang dia miliki. Membuat lelaki paruh baya itu mampu melawan ilmu hitam yang sedang mengejarnya. Menuntunnya kembali ka jalan Ilahi. Soal urusannya dengan polisi, biar dia sendiri yang menyelesaikannya. 
.
AM. Hafs
Malang, 5/2/2019

#katahatiproduction #katahatichallenge

Anda pengunjung ke

Statistikku