Rabu, 23 Oktober 2019

Cerita Sedih Kala Hujan

"Bila bagimu hujan adalah obat, maka bagiku hujan adalah racun."

Aku pernah menikmati rintik dalam sunyi ditemani lagu-lagu Sheila On 7 yang setahun belakangan beralih ke jalur indie. Mengukir kata demi kata di otakku, menjadi sebuah puisi renungan yang lenyap seketika saat hendak kutuliskan. Seharusnya tadi ketika di luar, aku membawa pensil dan kertas, ujar benakku. Sebuah penyesalan yang sia-sia.

Belakangan, aku merasa hujan itu mimpi buruk. Lebih tepatnya setelah kepergianmu. Hujan yang dulu mengisi kesendirianku, kunikmati dengan syahdu, menjadi berwarna saat kamu di sisiku. Dan ketika kamu pergi, semua warna seolah itu turut kamu bawa lari. Arkais, ketika hujan menyapa rerumputan, dan gemericiknya bersenandung, aku lebih memilih berlindung di dalam selimut, daripada sakit hati mengingatmu.

Arin membaca tulisan di unggahan blog Marwan itu dengan hati yang tidak kalah sakit. Sebenarnya, tidak sampai hati dia harus mengatakan kalimat perpisahan itu. Apalagi di tengah taman, saat hujan. Kalau saja dia tidak berharap hujan akan menyamarkan air matanya. Sebab dia harus terlihat serius dan tegar.

"Kak, sudah waktunya minum obat."

Arin tergagap dan segera menghapus air matanya yang melelah ke pipi tanpa dia sadari.

"Ah, iya. Makasih, Suster."

Andai saja yang memergoki air mata itu ibunya, pasti dia akan dicecar pertanyaan. Di sisa umurnya kini, sebagaimana yang dia minta ke orang tuanya, dia enggan jika harus dirawat di rumah sakit. Dia ingin tinggal di desa yang asri, tenang dan damai. Sehingga dia masih merasa seperti orang pada umumnya. Bukan seperti orang yang tengah menanti ajal karena penyakit leukimia yang dideritanya.

...

Marwan tampil menawan di atas panggung. Puisi patah hatinya yang viral, ia bawakan dengan penuh penghayatan. Banyak yang menebak itu karena pengalaman pribadinya, tapi tidak pernah sekali pun marwan memberi klarifikasi atau semacamnya.

Turun dari panggung, dia dipanggil Toni untuk segera ke mobil.

"Ada apa?"

"Sudah ikut saja, darurat."

"Halah, paling-paling minta traktir lagi kan? Berapa orang?"

"Sudah ikut saja, dan jangan banyak tanya."

Toni berlagak setenang mungkin agar Marwan tidak curiga. Dilajukan Ayla Putihnya menyusuri jalanan yang terik walau mendung sudah mulai berarak. Marwan mengambil satu novel dari tasnya dan mulai sibuk membaca. Toni merasa bersyukur dengan hobi karibnya itu. Kalau saja dia terus mencecarnya dengan pertanyaan, entah bagaimana dia akan menjawab.

Sedari tadi membaca buku, Marwan tak sadar jika sudah hampir sejam di perjalanan.

"Kita mau ke mana ini?"

"Sudah, lanjut saja baca bukumu. Sebentar lagi sampai. Teman-teman juga sudah menunggu."

Marwan mengangkat alis dan bahunya sebelum melanjutkan membaca buku.

...

"Kita sudah sampai."

Marwan melihat rumah lama bercat putih, gaya Belanda. Ada kerumunan orang di bawah tenda yang dipasang di depan pintu masuk. Bendera palang merah tapi berwarna hijau berkibar menempel di sisi pintu gerbang.

"Rumah siapa ini, Ton? Siapa yang meninggal?"

"Ayo masuk! Nanti kamu tahu sendiri."

Di depan pintu menyambut sosok yang begitu dikenalnya. Bapak dan ibuk Arin.

Deg!

Marwan berlari ke dalam rumah. Ada sesosok jenazah berkafan di ruang tengah. Di sampingnya, terduduk sosok lain yang tidak asing. Arin, memakai jilbab dan gamis hitam.

"Arin? Siapa yang meninggal?" Sejenak Marwan tampak lega, yang terbujur di sana bukan seseorang yang walau pernah menyakiti, tapi masih dia cintai.

"Maaf, Kak. Aku Rina. Saudara kembar Kak Arin," katanya sembari memendam isak tangis.

Ditengoknya wajah jenazah yang terbujur itu. Dan memang ... Arin. Seketika Marwan terduduk lemas, kebingungan, dan tak tahu bagaimana menyebut perasaan yang bergolak tak keruan di hatinya.
...

AM. Hafs
Malang, 23 Oktober 2019

#Sayakeluargacangkirpena
#nulismawanitisharikedua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku