Senin, 24 Agustus 2015

Nara yang Kutera

Nara ...
Ada masa di mana tak akan lagi mencuri sayang makhluk lain untuk kuabadikan.
Ada masa di mana aku tak akan lagi mencantumkan nama buatan di rasa sayang yang kutulis.
Ada masa di mana aku tak akan lagi menyembunyikan rasa sayang di balik puisi.

Nara ...
Kusembunyikan kisah padamu
Kusembunyikan rindu padamu
Kusembunyikan cinta padamu

Hingga ...
Nanti, kulabuhkan puisi di gendang telingamu

Kini, biarlah kuabadikan
Sesurat ungkapan
Padamu, Nara ...

Aku menyayangimu di antara dua tali
Tali kebaikan dan tali keburukan
Jaga aku melalui doamu
Agar sayang tertambat dalam jerat kebaikan

Aku menyayangimu di antara dua jalan
Jalan kebaikan dan keburukan
Bantu aku dengan doamu
Agar sayang ini senantiasa menyusuri jalan-Nya

Aku menyayangimu di antara dua hal
Nafsu dan ketulusan
Selamatkan aku dengan doamu
Agar sayang ini tak terbujuk nafsu

Aku menyayangimu di antara dua jurang
Jurang kesewenangan dan jurang kepasrahan
Iringi rasaku dengan doamu
Agar hatiku tak menempatkan namamu di atas Allah, Rasulullah dan orang tuaku

AM. Hafs
Singosari, 24 Agustus 2015

Rabu, 19 Agustus 2015

Terima Kasih, Allah

Terima kasih, Allah. Telah menjadikan ibu, bapak dan adikku saat ini, sebagai ibu, bapak dan adik di hidupku.

Terima kasih, Allah. Telah menjadikan sahabat-sahabatku saat ini, sebagai sahabat-sahabat di hari-hariku.

Terima kasih, Allah. Telah menjadikan guru-guruku saat ini sebagai guru-guru di perjalananku mencari ilmu-Mu.

Terima kasih, Allah. Atas kasih sayang-Mu yang terus mengalir walau diri ini lebih sering dan lebih lama bercengkerama dengan makhluk-Mu daripada dengan-Mu.

Terima kasih, Allah. Atas kesempatan berladang di dunia hingga hitungan kedua puluh empat ini. Walau kurasakan, masih lebih banyak maksiat daripada taat. Masih sering kufur daripada syukur nikmat. Semoga saja, di kesempatan kali ini, Engkau beri hamba kekuatan untuk sebenar-benar taubat. Aamiiin.

AM. Hafs
Singosari, hari kesatu dari kesempatan ke dua puluh empat.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Mengerti Tak Mengerti

Semua mengerti, hanya untuk mengeluarkan yang layak keluar pun butuh tempat sepantasnya. Lantas, kenapa kamu buang semua pada tulisan yang seolah tak bertempat?
Tidak, aku tak menyebutmu bodoh, Gus. Hanya saja kamu kurang pandai, menempatkan apa-apa pada tempatnya. Pikirkan, apa bedanya kamu ... dengan bocah-bocah yang baru menetas itu? Bocah-bocah yang belum mengerti adab tata krama. Bocah-bocah merah, yang pengendaliannya terhadap kata, seperti mengendalikan kerbau liar, pontang-panting. Tak ada bukan?

Sudahlah, Gus. Alihkan saja semua tenaga dan pikiran itu pada 'goal'mu. Tak perlu sok baik mengurusi negara yang saat ini di luar jangkauanmu. Cukuplah, sematkan doa pada negeri merah putih yang sekarang hitam, putih, abu-abunya pun memerah!
Iya, aku paham dengan ucapan, "Penulis harus peka. Rakyat harus peduli terhadap pemerintah, mengawasi. Peduli pada lingkungan sekitar." Paham, sangat paham. Tapi mbok ya tahu diri. Dirimu sendiri itu butuh dibenahi. Mosok ta ya, kamu mau teriak-teriak ke mereka yang jalan-jalan ke mall cuma pakai celana daun, padahal dirimu sendiri telanjang. Lak yo piye?

Sekali lagi, kamu mesti tahu diri, tahu posisi. Pelajar, yo tugasnya belajar. Mempelajari yang haq dan yang batil. Biar kenal dan mudah memisahkan mereka.
Sek ngotot mau ngurusi negara? Memangnya FPmu sudah diikuti berapa orang? Belajar dulu sampai tuntas dari tempat yang kamu diami saat ini. Nanti, pasti ada waktumu berbuat lebih. Cueklah pada omongan orang, sekali-kali kamu mesti egois. Sebab nyatanya, tak semua orang mampu mengerti dan mesti dituruti.
AM. Hafs #renunganpagi.

Rabu, 12 Agustus 2015

Menulis adalah Perjalanan

Menulis adalah perjalanan seumur hidup. -Muhammad Walid Khakim (Penulis)

Begitulah, dari tulisan ... mampu dinilai bagaimana cara berpikir, wawasan dan juga karakter seseorang. Sekalipun ia memanipulasi, kalau kata Mas Novanka Raja (CEO Kinomedia), akan tetap terbawa emosi, sisi ego, dan juga opini pribadinya. Di sisi lain, dunia ini terlalu mubadzir dan juga sempit untuk sebuah kebohongan.

Menulis adalah perjalanan hidup, mengabadikan pikiran, juga kenangan. Melalui tulisan juga, akan mampu terselami seberapa kemajuan atau kemunduran seseorang dalam berpikir. Ada masa galau dan lantas membuat status alay atau ada masanya juga merenung dan membuat status bijak. Walau terkadang hanya mengolah kembali petuah motivator, tapi setidaknya bukan menyalin dan menampilkan tulisan orang lain lalu mengakuinya.

Dari situ, ketika telah dewasa dan menghadapi galau yang sama, bisa jadi tulisan alay di masa lalu menjadi cambuk untuk tidak berbuat hal serupa.

Biarkanlah diri berproses. Kalau kata Asma Nadia, "Menulislah dengan jujur." Jujur dengan wawasan yang dimiliki. Mengakui kelemahan bukan untuk minder, tapi untuk diperbaiki. Sebab ... memang menulis itu perjalanan.

Seseorang yang bergelut di dunia pendidikan harus memaksa otak dan energi, bila hendak menulis tentang profesi lain. Loncatan itu butuh proses. Sembari membiarkan aksara tumbuh dan berkembang, Asma Nadia menyarankan, "Tulis saja apa yang ada di sekitarmu."

Mari tengok Andrea Hirata. Tulisannya tentang olah dari kehidupan yang ia jalani. Ahmad Fuadi, Tasaro GK, pun sama. Baru ketika mahir, mereka mulai melakukan loncatan-loncatan dengan menuliskan pengalaman orang lain. Kalau kata mas Wenda Koiman (Novelis), "Tantangannya masih sama, mengubah yang sederhana menjadi luar biasa." Mau contoh? Tonton film Slum Dug Millionaire.

Lain kata alay, lain pula kata bijak. Kata bijak juga bisa menjadi cambuk. Kapan? Ketika hati merasa heran saat membacanya dan berkata, "Aku dulu kok bisa seperti itu ya?"

Kembali, menulis adalah proses dan perjalanan. Nikmatilah seperti menikmati masa sekolah. Ada tawa, jam kosong, ulangan mendadak, tangis, duka, berantem, canda, cinta, rindu, ujian kenaikan kelas, juga ujian kelulusan. Sebab sejatinya menulis adalah hidup itu sendiri.

AM. Hafs
Singosari, 12815

Mengejar Keberkahan dalam Menulis

Tiba-tiba teringat tentang kisah ibunda Husein At Tabataba'i. Bocah cilik dari Iran yang hafal dan memahami isi Alquran di usia lima tahun. Dalam bukunya diceritakan, sewaktu balita, tiap hendak menyusui Ibundanya berwudhu terlebih dahulu.

Aku pun lantas merenung. Sebagai calon penulis yang meniatkan hati untuk beramal sholeh, alangkah bagusnya apabila ketika menulis, tubuh ini terusahakan dalam keadaan suci. Sekalipun belum terpahami manfaat langsungnya, paling tidak ada pahala wudhu dan pahala dawamul wudhu ketika menunaikannya. Husnudzon saja, semoga keberkahan menjaga wudhu bisa menjaga hati dari keburukan sewaktu menulis. Dan semoga mampu mengamalkan dengan istiqomah.
Seperti saat ini, aku mengisi blog dalam keadaan wudhu. Hanya saja saat hendak menulis, aku lupa membaca basmalah. Teringat sebuah pengajian dalam acara maulid, kalau terlupa membaca basmalah, hendaklah mengucapkan, "Bismillaahi awwaluhu wa akhirohu."

AM. Hafs
Singosari, 120815

Anda pengunjung ke

Statistikku