Senin, 14 Desember 2015

Aku Pernah Hidup Sebagai Bocah

Aku pernah hidup sebagai bocah yang ketika pulang sekolah, langsung kumpul teman-teman sebaya. Pergi ke sumber di hutan samping kampung. Mandi berjamaah.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang kumpul bersama teman-teman sebaya sehabis ashr, main engklek, lompat tali, kasti.
Aku pernah hidup sebagai bocah. Yang ketika tetangga sedang membakar genteng. Aku bersama teman-teman sebaya memakai sarung dan main ninja-ninjaan.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang ketika mengunjungi tempat pembuatan genteng. Aku dan teman-teman sebaya meminta tanah liat untuk dibentuk menjadi aneka bentuk binatang atau replika benda.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang tak mengenal apa yang zaman sekarang disebut 'kecanggihan'. Mainanku, kuda-kudaan atau senapan dari dahan daun pisang. Kadangkala aku membuat penangkap capung dari rumah jaring laba-laba.
Aku dan teman-teman sebaya, pernah hidup sebagai bocah yang merasa asyik walau hanya menangkap belalang di kebun depan rumah.
Aku pernah hidup sebagai bocah yang berlarian main kejar-kejaran, bentengan, dolipan, saat azan isya selesai berkumandang.
Aku pernah menjadi bocah, yang lugu. Tak berpikir aneh walau main pengantin-pengantinan. Berkeliling sawah, sambil membawa ketapel. Memanjat pohon tetangga dan menghabiskan buahnya.
Ya, aku pernah menjadi bocah di zaman keemasan dan penuh kebahagiaan. Hidup di zaman kreatif bukan konsumtif.
AM. Hafs
Sgs, 121215

Jumat, 11 Desember 2015

Rindu yang Mati Rasa

Rindu, agaknya aku sudah lupa bagaimana rasa rindu. Padahal dulu seringkali kulukis dalam sajak-sajak, dalam puisi-puisi.
Apakah ini faktor terlalu sering bercengkerama atau apa? Atau aku mulai jenuh dengan rutinitas cinta yang begitu-begitu saja? Entah.
Sepertinya aku lebih memilih menanti semua menjadi halal. Bukan mengulang kesalahan demi kesalahan yang sama. Keledai saja tidak masuk ke lubang yang sama dua kali, kan?
Namun, aku tahu pasti resiko dicintai. Yakni, takkan bisa ikut campur dalam mengelola perasaannya. Tak bisa memaksa kehendak harus begini harus begitu. Itulah kenapa, dicintai terasa lebih berat daripada mencintai. Lagu lama.
Seperti malam ini, barangkali kalau kami bertatap muka, ekspresi akan nampak lucu dan bloon sekali. Bagaimana tidak, ketika dia mengatakan rindu, aku malah bingung harus apa. Apalagi dalam kondisi mata yang tinggal beberapa watt.
Anehnya, setelah pamitan aku malah tak mampu terpejam. Mengesankan. Dan ketika kuhubungi kontaknya ... terlambat, sudah dimatikan.
Aku jadi berpikir kemungkinan apa yang sedang dia pikirkan. Apa dia berpikir aku jahat? Tak pengertian? Egois? Tak peka? Atau juga berpikir bahwa aku tak sungguh-sungguh mencintainya.
Mungkin ada baiknya, melalui tulisan ini kusampaikan permohonan maaf padanya. "Maaf ya, Donad?" Moga besok pagi udah baikan. Selain permintaan maaf, tak ada salahnya jika aku ucapkan terima kasih. Sebab, tanpa keresahan yang mengiringi hati, aku takkan menulis sebanyak ini. Dan membuat kantukku kembali lagi.  Hehe.

AM. Hafs
Singosari, 10-12-15

Anda pengunjung ke

Statistikku