Minggu, 30 Oktober 2016

Penghujung Oktober

Hanya ingin mengisi, agar tak kosobg seperti bulan sembilan. Sebab sekali terlewat tak mungkin bisa kembali. Sepatah, dua kata. Aku akan memaksa otakku bercerita. Tentang apa saja, kecuali pilkada DKI. Sebab terlalu riuh sudah.
.
Aku mulai dari lego ninjago KW, dengan harga bervariasi, dari dua ribu, tiga ribu dan lima ribu rupiah. Jauh bila dibandingkan produk asli yang seharga dua puluh ribu rupiah. Namun tentu saja, ada harga ada kualitas.

Lego KW, detailnya kalau jauh bila dibandingkan yang asli. Namun, dengan keluasaan menata kaki dan tangan, lego KW cukup artistik untuk diolah menjadi model foto. Dipadu padankan dengan mode makro dan beberapa tanaman, maka bisa kita hasilkan foto unik yang 'bercerita.'

Tak lupa, aku bersyukur dengan adanya gawai baru yang tak baru, Oppo Neo 5. Dengan bekal kamera belakang yang 8 Mp, bermain fotografi kian menyenangkan. Dibanding gawai android pertamaku advan e1c yang hanya dibekali kamera 1.3 Mp.

Aku dari kecil suka bermain action figur, menata lego menjadi kota. Dan mulai bermain drama. Ketika kini aku mempunyai alat yang canggih, sayang rasanya bila tak dimanfaatkan. Sekalian juga sebagai ajang mengenang masa lalu.

Oktober tanggal 30. Ini artinya, perjuanganku tinggal sebulan lagi. Sangat berharap, bulan depan aku akan sudah menghalalkan dia yang kini mengisi hati. Yang itu artinya, aku sudah harus menyelesaikan studi Quran yang kini tengah kutekuni.

Akhirnya, waktu bermain dan belajar harus proporsional. Lebihlebih dalam bermain media sosial. Dengan mengambil napas panjang, kuucap basmalah dan kulangitkan harap. Semoga semua lancar, manfaat, sesuai rencana, dan diridhoi Allah.

AM. Hafs
Sgs, 30 Oktober 2016

Rabu, 31 Agustus 2016

Belajar Memahami 'Life Sign'

Ada banyak buku yang telah kubaca. Tapi hanya sedikit yang meninggalkan kesan begitu dalam. Selain Api Tauhidnya Habiburrahman, ada juga buku non fiksi karya Andre Raditya yang berjudul "Life Signs".

Kali ini, secara khusus aku ingin mengulas bagaimana buku tersebut memengaruhi proses berpikirku. Buku yang kupinjam dari seorang teman itu secara garis besar mengajak kita untuk lebih awas terhadap kehidupan. Yang inti dari buku itu apabila digambarkan dalam satu kalimat, kurang lebih seperti ini, "Di dunia ini tak ada yang kebetulan."

Kepekaan seseorang terhadap alur kehidupannya berbeda-beda. Ada yang hanya dengan satu 'clue' ia mampu memahami ada yang harus mengalami berbagai kejadian dulu, baru memahami.

Apa yang dimaksud memahami? Akan kuceritakan sedikit pengalamanku.

Bulan kemarin, ketika aku merasa penjualan desain kaligrafi menurun, hati ini tergerak untuk berdoa dan mengharap agar dilancarkan lagi.

Tak lama setelah itu, dalam sebuah obrolan, seorang teman tiba-tiba bertanya, di antara waktu sempit pagi hari sebelum berangkat kerja, apa sudah masuk dhuha?

Awalnya aku hanya menanggapi biasa, tak berpikir apa-apa. Aku lantas melihat jadwal sholat, setengah 7 untuk daerah Malang, itu sudah masuk dhuha. Jadilah, di tengah sempitnya waktu yang dia punya, masih dia sempatkan untuk mendirikan sholat dhuha.

Aku baru menyadari sesuatu, ketika akhirnya aku dihadapkan pada 'sign' kedua. Beberapa kali ketika hendak sarapan, aku seolah diperlihatkan kepada kakak perempuanku yang sedang sholat dhuha. Dari dua clue tadi, tiba-tiba saja aku teringat ada banyak perkataan ulama tentang manfaat dhuha untuk kelancaran rezeki.

Setelah kupelajari lebih dalam, ternyata lancarnya rejeki hanyalah efek samping. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menerangkan bahwasanya indera kita ini butuh disedekahi sebagai ungkapan rasa syukur. Lantas beliau memberi tahu jika dua rokaat dhuha di pagi hari, mencukupi itu semua. Maka, jika ditarik lebih dalam terhadap firman Allah yang menjelaskan bahwasanya sesiapa saja yang bersyukur, maka nikmatnya akan ditambah.

'Lain syakartum la azidannakum'

Dari hal itulah kemudian ulama memberi kesimpulan gamblang, siapa yang ingin rejekinya ditambah, maka silakan sholat dhuha istiqomah.

Begitulah, harus menemui dua 'signs' dulu, agar aku memahami jawaban terhadap doaku yang bisa juga berupa teguran, sebab tak istiqomah dhuha padahal waktu yang kupunya jauh lebih luang dari temanku yang bertanya.

Jika ada yang berkata, "Masa sholat/ibadah untuk mengharap rejeki?" Abaikanlah. Sesungguhnya semua itu proses. Ketika kita telah mampu istiqomah dan siap untuk naik kelas, maka akan sangat mudah bagi Allah untuk membuat kita beribadah dengan ikhlas hanya mengharap ridho-Nya.

AM. Hafs
Singosari, Penghujung Agustus 2016

Minggu, 03 Juli 2016

Arti Sebuah Kelulusan

Pernahkah berpikir jika sebulan yang kita lalui, menentukan perjalanan setahun ke depan? Suatu kali aku merenung, mengamati pola kebiasaanku di bulan Ramadhan. Khususnya dalam hal ibadah, yang secara tiba-tiba membuat hati ini menarik benang merah. Bulan suci nan mulia ini tak ubahnya seperti waktu menata ulang proker atau prota kehidupan. Sehingga, saat sebulan ini kita isi dengan kebiasaan-kebiasaan positif, ia akan melekat dalam langkah setahun ke depan sebagai suatu misi yang terpogram, begitu pula sebaliknya.

Sebab itu, kurang lebih tiga hari menjelang masuk bulan Ramadhan aku menyusun target-target. Apa pentingnya? Ibarat sebuah game yang punya misi, maka target itu pun sama. Suatu bentuk ikhtiar untuk menempa diri secara terprogram demi memaksimalkan bulan suci, yang belum tentu bisa ditemui lagi tahun depan.

Kamis, 16 Juni 2016

Lima 'Viewer' Penyemangat

Lima 'viewer' yang juga 'reader', entah siapa mereka, yang pasti aku tersenyum melihat kesediaan mereka membaca corat-coretku. Terutama setelah berbulan-bulan penaku berhenti merangkai. Apalagi tulisan tentang sitar tadi belum kubagikan di lini masa twitter.

Menulis memang membuat hidup lebih hidup. Untuk masalah ketakutan dalam menulis, rumusnya tetap sama. Rasa takut hanya bisa disudahi dengan melawannya. Apa begitu juga yang seharusnya kulakukan dalam hal mencintainya?

Belum. Tunggu lulus, minimal. Seperti itu nurani menjawab. Sementara itu, aku berharap ia bersabar dan terus berpikir positif. Seperti yang sama-sama kami ketahui, cinta sebelum halal merupakan ujian. Aku hanya berharap, semua berakhir dengan turunnya ridho Allah. Sehingga apa yang kami niatkan diberi kelancaran, keberkahan, dan kelanggengan.

Sedikit cerita, setelah dulu pernah punya pengalaman cinta yang berakhir akibat tak direstui, aku sungguh bahagia ketika sekarang orang tuanya mendukung hubungan kami. Meskipun saat ini aku belum bisa memberi kepastian kapan akan menghalalkannya, atau minimal memperkenalkan dia ke orang tuaku. Meski aku tahu, ibuku pasti sudah mencium hubunganku dengannya. Karena, mengutip kata-kata si dia, "Wanita adalah detektif handal ketika berurusan dengan cinta." Semoga dia tidak marah karena aku menulis kisah kami di sini. Heheu.

Sejujurnya, sejauh pencarianku sebelum-sebelumnya, sebenarnya aku mendambakan sosok yang mau menunggu, lalu mencintai dalam diam. Tapi nampaknya cinta tak sesederhana itu. Ada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi ketika dua anak adam telah memutuskan untuk saling mencintai. Mau tak mau, harus kami jalani. Yang bisa kulakukan saat ini hanya mengerem, ketika semuanya mulai lepas kendali. Meski tak selalu berhasil, setidaknya aku tak ingin menyerah.

AM. Hafs
Singosari, 16 Juni 2016

Puisi Kucing, Rindu, Cemburu

Meow meow meow ...
Kucing Abu
Duduk malumalu
di depan pintu
Mengharap kehadiran sosokmu

Meow meow meow
Wajahnya memelas
Mengharap terbukanya pintu
Menyajikan senyum manismu
Dan mungkin
segelas susu
Seperti hari-hari lalu

Meow meow meow
Kenapa hanya sunyi
Sang kucing kian menggerutu
Apa karena pesta malam lalu?
Hingga semua penghuni rumah lelah
Termasuk kamu?

Meow meow meow
Untuk kesekian kali
Kucing abu
mengharap kemunculan sosokmu
wajahnya sendu
Dipenuhi rindu

Kucing abu melangkah maju
berhenti mengeong
memilih ke tumpukan baju
di tempat sepatu
tempat ia biasa membaringkan tubuh

Suara mobil menderu
di depan rumahmu
Si abu bangkit
ia tersenyum
melihat sosokmu
hendak lari menyongsong
sebelum bersitatap denganku
matanya menatapku dengan cemburu
Melihatmu di gendonganku
Dengan gaun pengantin putih
Dan
sesabit lengkung senyum haru.

AM. Hafs
Singosari, 16 Juni 2016

Indahnya Petikan Sitar

Aku menulis dalam keadaan takut. Entah berapa kata, kalimat, dan judul yang sudah kuhapus, sebelum akhirnya aku memulai menulis lagi dengan judl sitar ini. Kenapa sitar? Seba aku saat ini telah dihibur oleh petikan sitar dari lagu gambus yang menghiasi daftar urut lagu di aplikasi winamp. Memang, tak hanya sitar, tapi juga berbagai alat musik pengiring lain, tapi ... gambus tanpa sitar itu hanya akan menjadi dangdut. Heheu

Setelah satu paragraf di atas tertulis, rasa takutku mulai terkikis. jangan tanya ketakutan seperti apa. Karena aku sendiri juga tak dapat memastikan. Untungnya, dini hari menjelang waktu sahur ini, rasa rindu merangkai kata lebih besar daripada ketakutanku.

Di paragraf ketiga ini, aku mulai bingung harus menulis apa. Karena itu, aku akan kembali ke sitar. Alat musik yang satu ini seperti seorang pemimpin yang mampu menggiring dan mengiring bawahannya menjadi satu perpaduan indah. Dia adalah pembuka dan penutup untuk rangkaian lagu. Jika kalian tanya siapa wakilnya, maka dalam musik gambus ini aku memilih biola. Gesekannya benar-benar cantik. Sedang gendang posisikan saja sebagai penjaga gawang. Mumpung lagi musim euro dan copa amrica. Kenapa penjaga gawang? Sebab ia seperti bagian penting yang harus ada. Pelengkap yang tak hanya sekadar pelengkap. Entah kalian sebut apa. Heheu.

Kursor berkedip, seperti bertanya, aku hendak menceritakan apalagi. Sedang dalam paragraf sebelumnya saja aku telah membuka identitas sebagai orang yang tak terlalu paham musik, terutama gambus dan dengan seenaknya memosisikan alat musiknya. Kalau kata orang jawa, "Kodo" pakai "o" seperti pada kata "boleh", yang artinya tidak sopan, Tapi aku masih ingin menulis, tentang apa saja kecuali cinta. Agaknya, aku belum sanggup. Terlalu rumit. heheu.

Baiklah, sudahi saja. Sitar dan biola saat ini sedang berpadu mengiringi sang vokalis. Musik memang universal, bisa dinikmati walau tak dimengerti. Ah iya, kucantumkan satu judul lagu marawis yang enak didengarkan Galbi Niram dari Nizar Ali. Selamat mencari.

AM. Hafs
Singosari, 16 Juni 2016

Selasa, 24 Mei 2016

Sebagai Kakak

Sebagai kakak, aku merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi kepada adikku. Apalagi jika mengenang masa kecil dulu, di mana aku sering sekali menyakitinya. Bahkan pernah menendang sampai hidungnya berdarah. Barangkali, kalau saat itu ia ditanya, "Siapa orang yang kamu benci di dunia ini?" Ia akan menjawab, "Kakakku."

Semenjak lulus SMA, aku mulai menyadari, betapa masa lalu kami sungguh buruk. Karena itu, aku mulai mencoba menebusnya. Sedikit hadiah di kala ulang tahun, sedikit uang jajan ketika gajian. Ah semuanya serba sedikit. Satu hal yang besar, mungkin hanyalah impian untuk menguliahkannya. Namun, alih-alih mewujudkan mimpi, semenjak ia bekerja, malah aku yang diberinya uang saku. Menyesakkan kadang-kadang. Padahal, aku merasa belum tuntas membayar rasa bersalah. Di sisi lain, aku juga masih berkutat dalam misi pribadi membenahi hidup. Membuatku bingung, mana hal yang harus lebih dulu kuprioritaskan. Di hadapan semua itu, aku terus memupuk keyakinan, bahwa bersama kesulitan, pasti ada kemudahan. Bahkan dua lipat kemudahan. 

-AM. Hafs

Rabu, 09 Maret 2016

Taman Wisata Air Krabyakan

Mengisi liburan hari ini, secara mendadak aku bersama keenam temanku mengunjungi sebuah tempat rekreasi yang bernama Krabayakan. Terletak di Desa Sumber Ngepoh, Kec. Lawang, Kab. Malang. Sebuah tempat rekreasi yang masih asri dan alami.

Rute ke tempat ini dimulai dari gang sebelah toko/warung Mungil, depan pasar Lawang. Setelah belok kiri di gang tersebut, lurus ke arah timur sampai menemui gapura tanda masuk Desa Sumber ngepoh.

Gapura :

Dari gapura ini, pertigaan pertama belok ke kanan. Lurus sampai pertigaan berikutnya, kemudian belok kanan.

Sebelum masuk ke tempat wisata yang berupa kolam dan pemandian ini, Anda akan disuguhi hamparan sawah dan pemandangan khas pedesaan. Lokasinya di kelilingi oleh bukit-bukit yang cukup membuat mata menjadi segar kembali.

Senin, 07 Maret 2016

Mimpi atau Relita?

Mimpi atau realita? Begitu judul sebuah give away di sebuah blog yang kuikuti. Kau tahu, beberapa hari ini aku 'sakau' kepada sebuah pertanyaan. Di dalam tempurung otakku, terasa ada sesuatu yang ingin keluar tapi tak ada jalan keluar. Dan pagi ini, setelah menelurkan beberapa artikel aku merasa lebih hidup. Itulah kenapa kemudian kata mutiara, "Menulis membuatku lebih hidup" kutempelkan di bagian bawah kanan blog ini.

Mimpi atau realita? Begitu mendapati pertanyaan ini, otakku segera bekerja. Menggali kemungkinan-kemungkinan. Menggali pengalaman yang kemudian lahir sebagai tulisan beriku, yang percayalah bahwa sebelumnya aku pun tak pernah memikirkannya. Seperti sebuah kejutan begitulah rasanya kaetika aku menemukan sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan.


Mimpi atau Realita?

Masih Tentang Februari, Surat Kepada Bapak

Tanggal 2 Februari kemarin adalah hari jadi bapakku. Pada dinding facebook, aku mengadu keresahan yang akan kuhadirkan ulang di laman ini.

Persembahan Kecil di Hari Jadi Bapakku (2 Feb 2016)

Bapak, hari ini pada kurun setengah abad lebih yang lalu engkau menatap dunia. Walau aku tak tahu bagaimana wajah yang engkau hadirkan kala itu, tapi aku bisa memastikan engkau lahir dengan membawa suara memekik dan air mata. Sebab belum pernah kudapati ada bayi yang lahir kemudian tertawa ngakak seperti penonton 'komedi berdiri', dan  lucunya, tangis itu disambut gembira oleh kedua orang tuamu.

Bapak, ada banyak kemiripan kita. Sehingga, walau tanpa tes DNA aku yakin jika engkau memang bapakku. Salah satu kemiripan kita yaitu, dalam hal pendidikan kita tak terlalu memedulikan teman. Dalam artian kita tak ragu dan tak malu berangkat sekolah atau mengaji sendirian. Membiarkan teman-teman yang lain bergerombol kesana kemari. Begitu cerita emak kepadaku. Barangkali, kalau zaman sekarang, engkau akan dijuluki sok alim.

Mungkin engkau tak tahu, Pak. Zaman SMA dulu aku juga terbiasa sendirian. Ketika semua teman lelaki menerlambatkan diri masuk kelas seusai istirahat, aku sendirian yang masuk kelas tepat waktu. menjadi satu-satunya pejantan tangguh di antara dua puluhan kaum hawa. Karena kebiasan itu, aku sukses mendapat julukan kuper. Lucu sekali, kenapa bukan playboy ya? Heheu.

Bapak, satu hal yang patut aku banggakan darimu. Yakni, ketika suatu hari ada orang yang menjahilimu. Tapi, engkau tetap saja mampu berpikir dan berbuat baik. Barangkali oleh pemuda sekarang engkau akan dijuluki lugu. Lugu dalam artian sebenarnya, bukan lucu 'gundek'. Aku tak sampai hati bercita-cita menduharkai engkau. Walau uang jajan tak lagi kuterima semenjak bekerja.

Pak, suatu hari aku berkunjung ke rumah nenek. Beliau memberi wejangan kepadaku agar jadi anak yang patuh. Nenek bercerita, bahwasanya engkau dulu adalah anak yang patuh. Berbeda denganku, yang di masa kecil dulu pernah menantangmu main pedang-pedangan saat aku hendak engkau cambuk, gara-gara tidak mau berangkat ngaji. Apa engkau masih ingat, Pak? Ah, betapa menjengkelkannya aku waktu itu.

Minggu, 06 Maret 2016

Pecinta Kucing, Silakan Masuk

Februari yang spesial telah lewat tanpa ada satu pun tulisanku yang mengabadikannya. Februari tahun kabisat dengan segala kontroversi di tubuhnya. But, kata pepatah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. So, malam ini akan kukumpulkan remah-remah ceritanya.

Kursor masih berkedip-kedip. Menanti jemariku yang berusaha menerjemahkan isi hati. Februari ... oh ayolah! Bahkan sampai di sini, aku belum menemukan momen apapun untuk ditulis.

Baiklah, Coba kumulai dari Instagram. Aku adalah seorang lelaki pecinta kucing. Maka tak heran jika di lini masa Instagramku sering berkelebatan foto dan video kucing dengan segala ekspresi menggemaskannya. Di rumah, aku memiliki satu kucing jantan, namanya Jojo. Aku sangat menyukai bulu putih yang mendominasi tubuhnya. Ia memiliki banyak warna, selain loreng abu-hitam di punggung dan dahi, juga ada sedikit warna orange di kedua telinganya.

Senin, 04 Januari 2016

Senin Rasa Anggur

Senin selalu saja riuh. Bukan hanya cuitan emprit kaji di dahan pohon mangga atau encit di pupohon kelapa, tapi juga cuitan akun-akun di media sosial berlogo burung biru.
Ada yang menunjukkan cuitan semangat menatap hari senin, walau tetap saja ada rasa berat beranjak dari kasur. Ada pula yang menunjukkan kelesuhan, tapi juga tetap berangkat demi tuntutan tanggung jawab.
Sedang bagi blogger pengangguran sepertiku, semua hari nampak sama. Tiap hari targetnya pun tak jauh beda. Blogwalking, menjelajahi beranda, menjelajahi lini masa, menengok situs berita, menulis status, menulis apapun di blog.
Sesekali meluangkan waktu jalan-jalan. Menyegarkan otak, agar tidak jadi kaum kupik, kurang piknik. Walau pun sekadar jalan-jalan ke depan rumah, lihat situasi, lalu balik lagi ke kamar, jalan-jalan melalui jendela dunia. Ditemani secangkir minuman hangat.
Terhitung, tujuh bulan sudah aku menjadi pengangguran. Sesekali memburu event untuk mengumpulkan uang jajan.
Jujur, baru sekarang ini merasakan predikat pengangguran. Karena dari semenjak lulus SMA, aku langsung kerja dengan rutinitas yang sama selama lebih kurang lima tahunan.
Menganggur itu rasanya bebas tak bebas. Karena ketika ingin kemana-mana, dompetku kosong. Beda saat masih kerja dulu.
Dan yang lebih parah, sebagai pengangguran, seharusnya aku lebih produktif menulis di blog, tapi kenyataannya aku tetap saja penulis moody. Menulis hanya ketika sedang mood. Kebiasaan buruk.
Di tahun baru ini, saatnya mengubah itu. Sebab bagi pengangguran, Senin itu rasa anggur.

AM. Hafs

Jumat, 01 Januari 2016

Hidup Butuh Tagline

Setelah berakhirnya tahun 2015, aku menyadari bahwa sebuah target itu memang perlu. Renungan yang lahir ketika tadi aku bertanya pada diri sendiri, "Apa yang telah kucapai di 2015?" Aku tak mampu menjawab. Sebab tahun kemarin memang hampir tak membuat target selain ingin secepatnya lulus. Dan Alhamdulillah meleset, menyisakan beberapa juz.
Karenanya tak perlu memandang heran ketika banyak kepala di awal tahun ini, menuliskan berbagai resolusi. Bahkan, seorang Azrul Ananda sampai membuat sayembara yang berhadiah satu juta di Jawa Pos. Atau bila porsi masalah tentang memandang orang lain lebih diluaskan, akan seperti quote ini, "Jika pernah gagal akibat melakukan sebuah misi, jangan lantas meremehkan seseorang yang tengah melakukan misi yang pernah gagal kita lakukan." Hal tersebut malah hanya menunjukkan betapa sempitnya pandangan. Mengukur orang lain hanya dari kaca mata kita.
Namun, dalam hal menulis resolusi ini, aku lebih tertarik untuk menuliskan di buku harian, daripada di sosial media. Rasanya lebih privat saja dengan sang pencipta. Dan dalam kaca mataku, resolusi itu sebenarnya lebih ke target pribadi, bukan ajang pamer diri atau prestasi. Memang tak semua resolusi mengandung dua hal tersebut, tapi kembali lagi, ini hanya pandanganku semata. Dan tak lantas ternilai lebih baik dari mereka yang menuliskannya di ranah umum.
Selain resolusi, tagline pun tak kalah penting. Jika sahabatku di tahun kemarin membuat tagline #Makeithappen dan tahun ini #Neverlosehope, aku membuat tagline #Waktunyamembalas. Terkadang, satu kalimat bisa memberi energi lebih. Seperti sebuah mantra. Barangkali ada yang ingat kalimat, "Aal iz well?" yah, kurang lebih seperti itulah.
Di ujung tulisan, sudah selayaknya kulangitkan syukur untuk apa-apa yang terjadi di tahun kemarin. Karena ada yang menjanjikan bahwa siapa saja yang bersyukur, maka nikmatnya akan ditambah. Aku beriman atas janji itu, sebab yang menjanjikan adalah Dzat Yang Tak Mungkin Menyalahi Janji.
.
AM. Hafs
Singosari, 1 Januari 2016

Anda pengunjung ke

Statistikku