Jumat, 03 Februari 2017

Siapa yang Berhak Diumpat?

Oleh : AM. Hafs

Belum juga usai
amukan hujan semalam
Sungai kehilangan akal sehat
Turut memporandakan
Apa saja
di hadapan

Butuh lebih dari sejam
Hingga keduanya mereda
Pelangi mencoba menghibur
dari balik awan
Berlarian seperti tersibaknya tirai

Malang
Tak ada yang hirau
Tangistangis bersautan
dengan teriakan
Mengiringi langkah-langkah
Kepala kepala resah
Nan kebingungan

"Emak!"
"Bapak!"
Semua sibuk
Mencari kepala sanak keluarga
Yang mungkin masih bernyawa

Sedang di sudut puing lain
Seorang anak meringkuk
Tergugu
Tangisannya begitu pilu
Tengah berandai
"Kenapa aku tak mati bersama kalian."
di hadapan empat bujur
Mayat keluarganya

Hutan gundul di balik desa
Urung tertawa
Tapi juga tak tahu
Hendak mengumpat siapa

Hikmah Dua Puluh Menit

Sudah dua hari ini, Pariono hanya bisa menggeleng kepala di balik meja kerjanya. Sesekali dia mengambil napas panjang. Seakan-akan tak percaya dengan apa yang terjadi.

Kemarin, lelaki tiga puluh tahun itu telat ngantor, tidak banyak, hanya delapan menit. Dia masih bisa tersenyum semringah. Meski juga masih menyimpan keheranan. Sebab tak pernah ia telat sampai begitu lama. Meski kerap tidur seusai subuh. Barangkali karena cuaca yang begitu dingin, membuat tubuhnya menolak untuk keluar dari selimut.

Sedang pagi ini, dia benar-benar tak habis pikir. Melongok ke layar gawainya, sudah pukul 8:42. Segera saja dia melonjak dari kasur tipisnya ke kamar mandi, membasahi tubuh secepat kilat tanpa memakai sabun, berganti pakaian, menuruni tangga, meninggalkan jatah sarapan.

Sampai di gerbang biru tempatnya bekerja, waktu menunjukkan pukul 8:50.  Padahal seharusnya kantor travel umroh haji itu buka pukul 8:30. Bersamaan dengan itu, pimpinannya datang memarkir mobil pajero hitam. Keluar dengan berkacak pinggang. Semacam terkena sidak dadakan, bulir-bulir keringat dingin meluncur di dahinya. Prestasinya yang tak pernah telat selama 3 bulan terakhir seolah tak berarti. Hari pertama dari selesainya masa percobaan malah menjadi hari yang paling nahas.

Pariono masih menanti dengan was-was. Menanti keputusan para pimpinan yang sedang berada di ruang meeting. Dua puluh menit jika dibanding dengan tiga bulan kedisiplinannya, harusnya masih bisa menyelamatkan mukanya. Dia kembali mengambil napas panjang dan berharap yang terbaik dengan pasrahnya.

Suara tapak sepatu terdengar menuruni tangga. Beberapa pimpinan menuruni tangga, menuju pintu keluar melewati meja kerja Pariono dengan tatapan dingin. Tamat riwayatku, batinnya.

Tampak orang terakhir yang turun, Pak Nande, pak kepala cabang. Dengan langkah tegap dan tanpa senyum, lelaki paruh baya itu memberikan amplop, gaji bulan ini.

"Tolong tanda tangan di sini, Pak," pintanya.

Dengan gemetar Pariono membubuhkan tanda tangan. Sementara Pak Nande mengambil satu amplop lagi dari tas.

"Dan ini, ada tambahan sebanyak setengah gaji bapak. Mulai besok bapak bisa istirahat di rumah."

Deg, rasanya sesak. Andai Pariono bukan lelaki, mungkin ia sudah menangis sesenggukan. "Ba-baik, terima kasih, Pak."
---

Pukul 17:00 akhirnya, hari yang begitu panjang telah berakhir. Dengan agak lunglai dia meninggalkan kantor. Sembari merutuki diri sendiri.

Sampai di rumah, yang tak jauh dari kantornya, ia termenung di depan tv. Memindah channel tv dengan tatapan kosong.

---

Menjelang tidur, Pariono masih belum juga mampu memaafkan diri sendiri. Tinggal di rumah sendirian, membuatnya bingung, tak ada tempat untuk bercerita. Mau bercerita ke tunangannya pun ia ragu.

Tergolek di kasur, dengan menatap layar hape. Pariono membuka lini masa media sosialnya. Sedikit menghibur, tapi ia tak berani menulis apapun. Hingga akhirnya ia membaca status temannya yang berdagang jagung manis.

Dengan segeri ia menuliskan komentar, bertanya harga kiloan jagung manisnya. Ia bangkit, duduk di atas kasur tipis. Meraih tas dan mengeluarkan amplopnya. Menghitung pundi rupiah yang ia terima tadi. Bersyukur masih diberi pesangon walau setengah gaji.

Setelah menghitung ini dan itu, ia mantap, besok lusa akan berjualan jagung manis rebus keliling. Sebab ia ingat, di gudang ada bekas gerobak bakso bapaknya. Besok pagi akan ia rombak sedikit. Jika memungkinkan, akan ia tambah pemanggang, untuk menambah menu jagung bakar.

Malam ini, ia nampak terlelap dengan lega. Karena seharian sibuk mencerca diri sendiri, ia sampai tak sempat bertanya, kenapa langsung dipecat, bukankah seharusnya ada surat peringatan atau teguran. Ah, tak lagi penting, mungkin berjualan sebagaimana profesi bapaknya dulu memang lebih cocok.

AM. Hafs
Singosari, 3-2-2017

Anda pengunjung ke

Statistikku