Senin, 27 Oktober 2014

Jeritan Sumpah Pemuda

Saat aku menulis ini, setengah jam lagi menuju Hari Sumpah Pemuda. Kala itu, 28 Oktober 1928. Semangat persatuan begitu menggelora. Memenuhi dada yang dipenuhi darah perjuangan untuk kebebasan dan perlawanan terhadap penjajah.

Pemuda dahulu bersatu melawan bangsa asing, yang telah jelas sifat permusuhannya. Sedang pemuda sekarang, bersatu dalam kelompok-kelompok memerangi kelompok lain, daerah lain, suku lain, agama lain yang sejatinya adalah teman mereka sendiri.

Renung di Relung

Apa yang hendak menari, sedang jemariku membisu. Apa yang kau tatap? Sedang aku menunduk lesu. Bukan, bukan sedang meresapi kesialan. Hanya sedang menghitung nikmat yang selalu kusiakan, waktu yang terlewatkan, dan cerita yang masih terus terjalani, tanpa tahu kapan titik terakhirnya kusentuh.

Surat Untuk Pemuja Cinta Semu

Beberapa orang perlu ditabok berkali-kali, agar tak jatuh pada lubang yang sama. Tapi beberapa lagi bahkan kebal dengan tabokan, sehingga menikmatinya, bahkan ketika jatuh pun merek malah merasa bangga dan tertawa di lubang yang sama. Mengherankan, kukira perumpamaan ini pas bagi mereka yang pernah dikhianati, merasa sakit atau bergulat dengan cinta semu. Namun, dengan dalih cinta datang tanpa diundang atau ditolak, mereka dengan mudah kembali menjatuhkan hati, tanpa mau sejenak mendengarkan hati kecil atau aturan yang telah tertera. Teman, sesungguhnya, kitalah yang mengendalikan perasaan, bukan perasaan yang mengendalikan kita. Karena cinta itu suci, jatuhkanlah pada tempat yang suci.

Rabu, 22 Oktober 2014

Adakalanya ...

Adakalanya kau hanya didatangi saat butuh. Jangan ragu untuk menolong. Karena Allah juga akan datangkan pertolongan saat kau butuh. Dan balasan Allah tentu jauh lebih tinggi nilainya, daripada pertolongan yang kau berikan pada sesama.

Adakalanya kebaikan dan ketulusanmu tak dihargai. Tapi bukan berarti hal itu menjadi pembenaran untuk menyakiti. Mungkin cukup dengan berhenti peduli padanya, agar tahu arti menghargai. Berhenti peduli tanpa menggenggam benci.

Adakalanya kebaikanmu dimanfaatkan dan membuatmu terlihat bodoh. Saat itu kau hanya perlu yakin, tak ada kebaikan yang sia-sia. Karena kekecewaan hanya akan menjadi penghalang untuk ikhlas.

Adakalanya kepedulian terasa menyakitkan. Tapi sebenarnya, akan lebih sakit saat tak ada lagi yang peduli.

AM.Hafs

Cinta itu Menggelikan

"Kamu tahu apa itu perdu?"
Pandanganmu terpenjara buku tugas. Kamu sibakkan sehelai rambut yang meluncur ke depan wajah khas oriental itu. Mata lentikmu mengerjap kebingungan. Kamu tempelkan ujung belakang pensil ke bibir mungilmu. Kamu tak tahu, aku pun terpaku, terpaku ekspresi kebingunganmu. Ah, Angin sore ini terasa begitu lambat.
"Saka?"
Tanganmu mengibas di depan wajahku.
"Eh, iya?" Kugaruk kening yang sebenarnya tak gatal, "apaan tadi?"
"Perdu!" jawabmu sembari mengerucutkan bibir. Ah, semakin imut saja rupamu.
"Kamu kenapa, sih?" tanyamu sambil memiringkan kepala, sedikit menyelidik.
Senyumku tersungging. "Sedang mensyukuri ciptaan Tuhan yang diamanahkan padaku."
"Alah, gombal." Kamu mengangkat buku tugas. Menyembunyikan wajahmu dariku. Tercuri olehku pipimu yang bersemu merah jambu.

AM. Hafs

Puisiku, Bukan Puisi

Dawaiku tak berseru, Kawan
Mentalku tengah lumpuh
Baitku palsu
Diterkam ketidaktahuan nan kebingungan
Kisahku buntu, Kawan
Tak mampu terajut rapi
Diksiku mati, dibunuh pesimis diri
Terjebak kotak kebimbangan
Aku hanya menguntai isi hati
Tak tahu tangga nada
Aku hanya berkisah
Tak bisa merapikan aksara
Kawan,
Tuntunlah perlahan
Karena aku si bebal, penuh keangkuhan
Kawan, tuntunlah dengan sabar
Karena aku tengah gusar
Sajakku mati
Miskin diksi
Puisiku bukan puisi
Tak punya isi
Tak getarkan hati
Terkapar, sepi
Uluran tanganmu, kunanti
AM. Hafs tak berpuisi

Kamis, 16 Oktober 2014

Tujuh Belas Ke-delapan













Oleh: AM. Hafs

Derai tawa di lindung awan 
Menghias bocah-bocah berwajah putih
Berserakan, berlarian
Berteriak, kegirangan

Merah putih, kibarnya bersaksi

Bapak-ibu
Tua-muda
Berduyun, berhimpit tubuh
Mencuri bahagia

Tujuh belas ke-delapan
Kerupuk-kerupuk berjajar
Bocah lahap seolah lapar
Tujuh belas ke-delapan
Merdeka itu mereka,
Kepala-kepala ber-tawa kejujuran

Malang, 16 Oktober 2014

Rabu, 15 Oktober 2014

Tempat Terbaik Untuk Masa Lalu

Selalu ada saat di mana kita perlu menyelami pengampunan diri. Menyelami sesal dan luka. Lalu menatap pagi dengan ceria dan hati yang kembali baru. Selalu ada saat di mana kita harus meninggalkan saga di senja menuju pembaringan fajar di luapan bola semangat dan sebuah mimpi baru.
"Dinda."
"Ya Kanda?"
"Kau tahu rupa kerelaan?"

Jumat, 10 Oktober 2014

Lima Bentuk Negara Menurut al-Farabi


"Jon, Loe tahu gak tentang ilmuwan muslim yang bernama Al Farabi?"

"Kagak, kenapa?" Joni masih sibuk dengan gitar barunya.

"Ini gue nemuin, buku pelajaran SKI kelas sembilan, ada tentang Al Farabi. Jon, Loe dengerin kagak sih?"

"Hemm ...." Joni ngerebahin diri ke kasur, dan mulai mencoba-coba petikan gitarnya.

"Ada satu pemikiran yang membuatku merenung."

"Tentang apa?"

Senin, 06 Oktober 2014

Sholeh dan Santrinya. (Episode laporan Bian) / Fiksimini

Sehabis maghrib tiap hari Jumat. Sholeh mengajar ngaji anak-anak kecil umuran TK dan SD di Surau yang tak jauh dari rumahnya.
Di tengah kegiatan hafalan juz amma, tiba-tiba ada yang nyeletuk. Bian namanya, santri gembul kelas 2 SD. Dia bilang, "Mas, Nirta pacaran sama Freanda."

Punguk Tinggal Nama

Kitab-kitab cinta berserak bersama daun purnama
Punguk, memunguti
Menculik tiap jejak getah hitam
Terpinang hatinya 'tuk mengetam rindu
Terbang bersama hijaunya mimpi

Merayu Rembulan

Bulan, di ujung mana lelahmu bermuara? 
Sedang tatapku sedari tadi terpaku
Bahuku tegak menunggu
Bulan, di ujung mana senyummu berlabuh?
Sedang sedari tadi bibirku menyabit padamu.
Haruskah kutunjukkan?
Senyummu tlah terlukis
di hatiku
Agar kau siramkan dian itu ...
padaku?

~AM. Hafs
Malang, 1/10/'14

Lupa

Dinda, apa kabar? Bahagiakah dengan cinta barumu? Semoga saja iya. Agar kau tak jadi sepertiku, yang lupa cara mencintai.
Jujur, aku lupa jika cara mencintaiku adalah menjaga senyummu. Aku pun lupa kalau sebungkus coklat bisa kembangkan senyummu. Aku lupa jika kebodohan tingkahku mampu menggemakan tawamu. Aku lupa cara menuliskan surat cinta yang berkesan, seperti diikatkan dalam mawar plastik, dengan isi, "Cintaku akan terus ada hingga bunga ini layu." Sebuah trik yang kudapat dari buku cinta yang judulnya telah kulupa.
Dinda, sebagaimana cinta, aku juga lupa cara merindukanmu. Aku lupa pernah bicara pada bulan di kala rindu. Aku lupa cara menyapa angin malam di kala rindu. Dan aku juga lupa pernah memanjatkan dedoa agar Allah selalu menjagamu, di kala rindu.
~AM. Hafs
Singosari, 05 Oktober 2014

Secuil Rindu, Berderai Syukur

Dinda, langkah ketiga bulan Oktober. Tapi lakumu masih sendu. Ada apa gerangan? Apakah sedang merindu pada bebintang yang kesiangan, sama sepertiku? Jika iya, kenapa kita tak duduk berdua dan menantinya bersama, pagi ini? Kutunggu jawab senyummu di taman mimpi. Hadirlah sebelum bedug Jumat berbunyi.
Kanda, aku tak miliki rindu serupa rindumu, yang mendayu. Bukan pula menanti bintang kesiangan di ujung malam. Aku hanya tengah merenungi waktu. Betapa hitamku semakin pekat. Tidakkah Kanda tatap bulan separuh tadi malam? Seperti itulah kiranya dosaku dibanding amalku. Langit pekat berbanding bulan separuh. Bagaimana aku sempat merasakan rindu? Namun, jika memang rindu ... bisa jadi aku tengah merindu pada pengampunan. Agar segera langitku dijadikan-Nya fajar, lalu cerah membiru.
Kanda, mengenai pertemuan yang kau tawarkan. Aku tak sanggup penuhi. Karena tak mungkin rasanya bagiku untuk menjangkau mimpi indah, sedang hitamku masih belum berhenti menghantui. Baik di pejam atau sadarku.
Dinda, aku tak mampu berkata, lagi. Maaf, aku hanya mampu menerjemahkan kilat netramu. Tidak dengan isi kalbumu.
Dinda, aku tertunduk malu oleh semua renungmu. Hati ini terbutakan rindu, hingga tak mampu melihat sedemikian jauh. Hitamku pun pasti lebih luas dari hitammu. Namun ... aku yakin, pengampunan-Nya lebih luas dari langit dan seisinya.
Kanda, pengampunan-Nya memang luas, tapi tak lantas kita berleha, bukan? Jika tadi kau mengajakku ke taman mimpi, bagaimana jika kau temani saja sujudku pagi ini? Berdiri di sajadah yang tergelar di depanku. Menuntunku hingga salam dan bersama kita langitkan doa-doa, mengemis pengampunan-Nya?
Dinda, syukurku kepada-Nya atas hadirmu di hidupku. Linangan yang menganak sungai di pipi ini ... semoga menjadi saksi kelak kita di hari penentuan atas taubatku pada-Nya.
~AM. Hafs
Malang, 03 Oktober 2014

Anda pengunjung ke

Statistikku