Jumat, 10 Oktober 2014

Lima Bentuk Negara Menurut al-Farabi


"Jon, Loe tahu gak tentang ilmuwan muslim yang bernama Al Farabi?"

"Kagak, kenapa?" Joni masih sibuk dengan gitar barunya.

"Ini gue nemuin, buku pelajaran SKI kelas sembilan, ada tentang Al Farabi. Jon, Loe dengerin kagak sih?"

"Hemm ...." Joni ngerebahin diri ke kasur, dan mulai mencoba-coba petikan gitarnya.

"Ada satu pemikiran yang membuatku merenung."

"Tentang apa?"

"Nih, gue bacain. Dalam hal filsafat kenegaraan, al-Farabi membagi negara menjadi lima bentuk. Satu, negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. bentuk negara ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf. Dua, negara orang-orang bodoh, adalah negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan. Tiga, negara orang-orang fasik, adalah negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk dari negara orang-orang bodoh. Empat, negara yang berubah-ubah, adalah negara yang pada awalnya memiliki penduduk dengan pemikiran seperti penduduk negara utma, namun mangalami kerusakan. Terakhir, negara sesat, adalah negara yang pemimpinnya menganggap dirinya mendapat wahyu. Ia kemudian menipu banyak orang dengan ucapan dan perbuatan."

"Lalu?" Joni masih dengan aksen cueknya.

"Kira-kira negara kita ini masuk yang mana ya? Terus kenapa yang jadi ukurannya Mister Farabi ini kebahagiaan? bukan yang lain, ketaatan mungkin. Atau keimanan sebagaimana umumnya ulama?"

"Wah pertanyaan Loe berat tuh, Dan. Mending dipikir sambil nyanyi." Tawanya menggema.

"Ah, Elu, Jon. Daripada dengerin Loe nyanyi, mending makan pisang goreng ini."

"Kalian tuh ya, berisik banget." Amaya membetulkan kacamatanya.

"Ngomongnya aja belajar kelompok, ujung-ujungnya gue juga yang ngerjain huft." Dengan agak cemberut dan tatapan yang tetap fokus ke laptop, Amaya menanggapi dialog dua temannya. "but, let me answer your question. Soal kenapa al-Farabi menggunakan ke-ba-ha-gi-a-an sebagai acuan, menurut gue itu karena kebahagiaan adalah milik mereka yang berilmu, orang yang berilmu tahu cara bagaimana harus bahagia. Orang yang bahagia artinya bisa menerima dengan ikhlas, welas asih pada sesama, tak memikirkan dunia semata. Sudah jelas bahwa bahagia itu tingkatan tertinggi dari ketaatan dan keimanan.

Orang yang taat dan beriman tapi tidak bahagia, pasti ada ada yang salah dengan keimananannya. Sedang orang yang bahagia tahu benar cara beriman dan taat pada kehidupan dunia dan akhiratnya."

"Dan!" Joni duduk, dan berakting seperti amaya, seolah membetulkan kacamata. "Loe tahu? tadinya guemau menjawab seperti itu."

"Halah," Sebuah bantal melayang ke arah Joni, dari tangan Amaya.

"Wait, wait! berhenti dulu, ini aku post di Fb, dikomentari Pak Agus Safruddinnur. Wartawan koran Tempo. Kata beliau, Bahagia lahir, bahagia batin atau bahagia lahir batin? Hal itu hanya bisa dicapai jika negara dan pemerintahan diarahkan demi meraih kesejahteraan berdasarkan keadilan dan kesetaraan. Di sini, Islam bisa berdampingan dengan demokrasi."

"Dan!" Amaya berseru. "lebih baik Loe kerjain tugas ini sekarang!" Setumpuk buku mendarat empuk di paha lelaki berkacamata, dia pun mengaduh.

"Indonesia semoga termasuk di kategori yang pertama," Joni tiba-tiba berceletuk.

"Ampun deh, Jooon!" seru Amaya dan Dani sembari menutup kening, gegara melihat penampilan Joni yang memakai sorban dari serbet.

~AM. Hafs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku