Senin, 02 Maret 2015

Apa Kriteria Jodohmu? (Cerpen)

Apa Kriteria Jodohmu?

Sahabatku bercerita. Suatu waktu, di kantin pada jam istirahat ia bertanya pada kawan perempuannya, "Apa kriteria jodohmu?"

Perempuan yang ia temui beberapa bulan ini. Teman yang dipertemukan di tempat tes kerja, hingga akhirnya diterima di bagian yang sama. Keakraban yang timbul, membuat sahabatku jatuh hati. Sayang, ia tak pernah benar merasa siap untuk mengatakannya.

"Eh, kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Perempuan berjilbab itu menjadi kikuk.

"Enggak, cuma mau tahu aja." Sahabatku terkekeh. Berusaha mencairkan kegugupan yang ia ciptakan dan berharap perempuan itu tidak berpikir macam-macam. Mengingat karakter yang ia tunjukkan selama ini "slenge'an".

"Emmm, aku sih mimpinya punya suami hafidz."

Uhuk! Sahabatku meletakkan kembali segelas teh jeruk di genggaman ke atas meja. Mengambil sapu tangan dan mengelap lelehan di bibirnya.

"Eh? Kamu kenapa?"

"Enggak, gak papa lanjutin!" Sahabatku kembali terkekeh dan menggaruk hidung.

"Emm apa ya? Kayaknya yang penting satu itu. Lainnya menyesuaikan." Kini, Pipi perempuan seperempat abad memerah.

 "Kalau misal ada yang melamar, tapi  gak hafidz gimana?"

"Hemmm, ya boleh aja, asal agamanya lumayan dan lagi bacaan Al-Qurannya harus fasih. Biar bisa jadi pentashih hafalanku."

Uhuk! Kali ini sahabatku tersedak angin.

"Hafidzah to?"

Dia tersenyum, "Alhamdulillah."

Ia sosok yang terbuka dan ramah tapi tetap memegang batas. Risih bila disentuh pria dan juga tak pernah mau dibonceng lawan jenis. Sebab itu, sahabatku nyaman berteman dengannya.

"Pantesan."

"Eh, aku kok kayak lagi diprospek ya?"

Sahabatku tertawa, "Emang iya."

"Maksudnya?" Wajah polosnya penuh tanda tanya.

"Boleh gak kalau bulan depan aku melamarmu?"

Uhuk! Gantian, perempuan itu yang tersedak.

"Serius? Kok tiba-tiba?"

"Tiba-tiba gimana? Kita kan udah kenal selama ...." Sahabatku menghitung dengan jari, "lima bulan." Sahabatku terkekeh.

"Gimana ya?" Pertanyaan mengambang. Membuat jantung sahabatku berdegup kencang. "Boleh deh. Tapi keputusannya ada di Abi sama  Kakak laki-lakiku dan satu lagi, siap-siap dites bacaan qurannya." Perempuan itu tersenyum penuh makna. Dia pun sebenarnya menyimpan kagum. Sebab pernah tanpa sengaja mendapati lantunan ayat suci mengalir dari bibir sahabatku di musala kantor.

"Siap!" Sahabatku bersemangat.

Mereka pun berpisah ke ruang kerja masing-masing sembari menikmati hentakan jantung yang tak wajar.

Entah apa yang terjadi. Seminggu setelah kejadian itu, perempuan yang akhirnya oleh sahabatku disebut Nara, menjauhinya. Bila bertemu, hanya ada senyum disertai rasa canggung.

Ketika kusarankan untuk menelponnya, sahabatku menolak. "Biarkan dulu, mungkin dia ingin menenangkan pikirannya," tulisnya.

Namun ketika keadaan itu bertahan hingga tiga minggu, sahabatku akhirnya tak mampu menahan rindu.  Mulailah jemarinya mencari kontak Nara.

"Assalaa ...."

"Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab. Cobalah beberapa saat lagi." Suara dari seberang setelah bunyi tut terakhir.

Sahabatku mencoba lagi.

"Assalaamu'alaikum, ada apa, Mas?" Suara lembut meluruhkan hati sahabatku.

Dengan hati-hati sahabatku menjelaskan kegundahan dan isi pikirannya.

"Maaf, Mas. Nara hanya ingin menjaga hati. Agar tak terlalu berharap. Karna Nara tak tahu apa yang akan terjadi minggu depan. Nara harap, Mas mengerti."

Setelah sahabatku mengucap maaf dan beruluk salam, percakapan pun diakhiri. "Hah, seminggu lagi. Bismillah."

***

Hari yang ditunggu pun tiba ...

Sahabatku hadir bersama kedua orang tuanya. Ketika dikabari mengenai rencana lamaran, orang orang tuanya sangat bergembira. Mengingat umur sahabatku yang menginjak angka dua puluh tujuh. Lebih sehari.

Jum'at yang cerah untuk sebuah niat suci. Agaknya mentari turut semringah tapi tidak dengan Nara atau pun sahabatku. Keduanya was-was dan berhujan keringat. Padahal, embun saja masih menggantung di ujung daun.

Bapak dan Ibu Nara tak menyangka, kedatangan keluarga sahabatku begitu pagi. Untung saja, semua jamuan telah siap sebelum subuh. Karena Nara dan ibunya mempersiapkan semua sejak pukul 3 pagi.

Dengan sedikit gugup, sahabatku menengok jam tangan hitamnya. 07.15 seharusnya gigil di tubuhnya mulai hilang. Tapi yang ada malah sebaliknya. Melihat gelagat putranya, Ayah sahabatku pun memberi pesan, "Jangan gugup! Baca sholawat yang banyak. Nanti kalau sudah di dalam, tekuk kedua jempol kakimu."

Apa hubungannya gugup sama jempol kaki? Tapi sahabatku tak ambil pusing. Dituruti saja pesan ayahnya. Begitu menginjak kaki di halaman. Nampak kedua orang tua Nara dan kakak lelakinya tengah menunggu di beranda. Setelah saling beruluk salam dan berjabat tangan, rombongan sahabatku dipersilahkan masuk.

Baru saja sahabatku merebahkan punggung di kursi dan menenangkan hati, tak lupa juga menekuk jempol kaki, ibunya sudah memberi shock terapi, "Ayo, Le, sampaikan maksudmu ke Abinya Nara."

"Lho lha kok?"

"Ehem," ayah sahabatku berdehem.

Itu artinya tak ada jawaban lain selain harus meng'iya'kan perintah ibu.
Bukannya ... seharusnya Ayah yang ngomong? Batinnya. Terlihat Ayah, Ibu dan Kakak Nara tersenyum.

Nara yang mengamati dari balik kelambu turut berdebar-debar. Dari mulutnya terus menerus menggumamkan Al-Insyirah, berharap semuanya dimudahkan.

"Emm ..." Sahabatku membenarkan posisi duduknya yang tidak salah, "begini ... kedatangan saya dan orang tua kami kemari ..."

Belum sempat kalimatnya terselesaikan, abinya Nara memotong.
"Iya, kami sudah diberitahu Nara. Begini saja, kasihan Nak Mas terlihat gugup. Mending langsung ke Tesnya saja."

Kakaknya Nara menyodorkan sebuah mushaf al-Quran bersampul warna perak.

"Coba baca An-Nisa ayat 4."

Diterimanya mushaf tersebut dan mendekapnya. Setelah membaca syahadat, ta'awudz. dan basmalah, sahabatku memejamkan mata. Lalu dari bibirnya terlantun surat yang dimaksud dengan merdu.

Melihat hal tersebut, Nara hanya menganga. Menaruh telapak tangan kanannya di depan bibir. Tak menyangka jika ternyata sahabatku seorang hafidz. Sedang kedua orang tua nampak tersenyum puas. Tapi tidak dengan kakaknya, setelah bacaan sahabatku selesai, ia kembali memerintah, "At-taubah ayat 71"

Selesai dengan lancar dan disambut dengan perintah ketiga, "Surat An-Nuur!"

Nara tak bisa menyembunyikan kerisauannya. Sedang sahabatku mengambil nafas dalam. Namun ketika akan melantunkan surat, ia menundanya, "Maaf, ada air putih?"

Seketika tawa memecah ketegangan. Saking khusyuknya sampai tuan rumah lupa menyajikan minuman. Nara hadir ke tengah pasang keluarga. Ia tampak anggun dengan busana biru dan kerudung biru laut bermotif bung. Ayah sahabatku berujar, "Oh ini to yang namanya Nara, pantesan putraku ngebet minta dilamarkan."

Kembali tawa menggema.

"Monggo diminum." Ayah Nara mempersilakan.

Setelah meneguk teh hangat, suasana tegang menyelimuti. Sahabatku bersiap melantunkan kembali ayat suci. Kembali dibuka dengan syahadat, ta'awudz, dan kemudian basmalah.

"Suurotun an(g)zalnaahaa wa farodhnaahaa ... (sampai akhir ayat.) Shodaqallaahul'adziim."

"Subhanallaah."

Ibunya Nara terlihat berbisik. Sedang kakaknya pamit ke dalam.

"Ehem ... saya kagum dengan Nak Mas ini. Bacaan indah, Nara banyak cerita tentang akhlak Nak Mas. Tapi tak pernah cerita kalau Nak Mas ternyata seorang Hafidz. Tapi sebelumnya, kami memohon maaf." Ayah Nara mengambil nafas. Tampak sengaja memberi jeda, "Kami tidak bisa menerima lamaran Nak Mas."

Nara, Sahabatku dan kedua orangnya tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Tapi ...." Semua nampak menyimak dengan perasaan yang tak menentu.

"Kami akan dengan senang hati, seandainya Nak Mas mau melakukan akad sekarang juga."

Nara terkejut, begitu pula dengan Sahabatku dan kedua orang tuanya.

"lho lha itu anu." Sahabatku gelagapan, "Pak? Bawa uang buat mahar?" lanjutnya.

"Cuma bawa dua ratus ribu," bisiknya.

"Tenang, mahar bisa nyusul. Nomer sekian itu, yang penting Nak Mas bersedia atau tidak?"

Sahabatku mengusap-usap telinga, "Be-bersedia, Pak."

Kakaknya datang dengan beberapa tetangga sekitar sebagai saksi. Dan turut hadir pula Penghulu desa. Agaknya rencana ini telah dipersiapkan tanpa sepengetahuan Nara.

"Saya terima nikahnya Sabrina Raudhotul Jannah binti Haji Mas'ud Abdillah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar dua juta rupiah hutang."

"Sah?"

"Sah!" Serempak para saksi berteriak.

Sahabatku pun memulai kisahnya yang baru di buku yang baru. Karena tubuhku telah penuh oleh kisah semasa lajangnya. Tertanda : Buku Diary

Sekian. Sila baca tulisanku yang lain di www.Lovrinz.com atau www.shohibulgubug.blogspot.com makasih ^^

Malang, 02 Maret 2015
AM. Hafs

9 komentar:

  1. Kok ini jd bikin gue minta dilamar juga ya hahahaha

    BalasHapus
  2. Hahaha, udah punya calon belum? :D Kalau udah, segera saja. #eh

    BalasHapus
  3. merinding bacanya mas...

    *inspiratif banget ne :)

    BalasHapus
  4. hutang? hihi
    keren ceritanya,, aku juga pengen dilamar, duh! >.<

    BalasHapus
  5. Udah dinikahi heheheh. Secara teknis ada beberapa tanda baca dan kata yang ga terlalu baku. inspiratif tapi kurang greget apaa gitu. Narasinya agak kurang renyah dan diksinya ringan banget

    BalasHapus
  6. @iilajah iya hutang :D | sudah punya calon bemang? :D

    @Teteh : hua, kalau kata baku emang belum nguasai :D makasih komennya ^^

    BalasHapus
  7. Halo Agus! :D

    Mohon maaf isi tweet-mu terlewat, jadi aku kelupaan mengecek link ini, untung kamu mengingatkan lagi.. ^^x

    Secara keseluruhan, tulisanmu sudah cukup bagus. Konfliknya memang tergolong ringan, tapi ada petikan jenaka di sana. Kalau kamu menambah tulisanmu dengan kalimat-kalimat deskriptif, terutama di sela-sela percakapan, pasti tulisanmu akan terasa semakin hidup. :D

    Oh ya, aku owner dari CariPenulis.com (@CariPenulis.com on Twitter)

    Semangat menulis! :D

    BalasHapus
  8. Hahay, trims Kak. ^^ Siap terus belajar (:

    BalasHapus

Anda pengunjung ke

Statistikku