Minggu, 10 Desember 2017

Anomali Dua Hati

Orang yang paling mungkin menyakitimu adalah yang paling dekat dengan hatimu, disebabkan paling besar kau sandarkan harapan padanya.

Maka kau akan paling sering menangis karenanya. Dan di saat yang sama, dia jugalah penawar terbaikmu. Maka jangan pernah berhenti bicara padanya. Dia adalah sahabat terbaikmu. Dia yang menyimpan kunci hatimu.

Rabu, 04 Oktober 2017

Apa Kabarmu Kini?

Apa kabarmu kini?
Duhai pujangga bisu
Satu purnama telah melangkah
Tidakkah kau resah?
Kalamkalam di dadamu
Kian pudar
Tak selayak harap
di lampau
di ujung bibir manismu
Yang menggema merdu

Hidupmu bertumpuk sembilu
Harga dirimu beranjak layu
Tubuh kurusmu lunglai
Sebab hatimu dihantam caci maki
Jiwamu sendiri

Apa kabarmu kini?
Yang meracau dini hari
Lelap, begitu dalam
Meninggalkan fajar
dan keberkahan

Katamu,
Kau hendak berubah
Katamu,
Kau hendak berjuang

Ah,
Semua hanya bualan
Hidupmu
Kian asu, dari hidupnya asu!

AM. Hafs
Malang, 4 Oktober 2017

Senin, 25 September 2017

Untuk Perempuan yang Tengah Dipeluk Hujan

Rintik berdetak
Di atap-atap
Berderak
Di lembar dedaunan
Berkecipak
Di genang-genang
Rinduku turut menggenang
Lalu menggunung
di batas jarak dan waktu

Di tengah dawai hujan
Terbayang ...
Rintik basahi matamu
Membelai hidung dan bibirmu
Gigilkan jemarimu

Aku mendekap harap
Agar lekaslekas
Jarak terpangkas
Waktu terringkas

Hingga tubuhmu dan tubuhku
Meluruhkan rindu
Dalam temu
Tak berjarak
Tak terhalangi waktu

Sebelum hujan mereda
Sebelum dingin tinggal nama
Dan biarkan aku
Menggantikan rintik
yang selimuti ragamu
tadi ...

AM. Hafs
Sawojajar, 25 September 2007

Kamis, 21 September 2017

Rumah Kesedihan

Apa yang kauharapkan dari lorong-lorong putih yang dipenuhi wara-wiri para dokter dan perawat. Wara-wiri para manusia duka. Entah karena anak, ibu, bapak, atau saudaranya, yang menginap di salah satu kamarnya atau karena ia sendiri.

Beberapa wajah, ada yang sembunyikan lelah dan dukanya dalam lelap di bangku-bangku panjang. Ada yang sibuk membaca buku, tapi lebih banyak yang melamun. Entah melamunkan kemungkinan terburuk, biaya, atau kondisi keluarga di rumah.

Sesekali, kebanyakan dari mereka tersenyum. Tak lain karena kedatangan kunjungan saudara. Meski hanya membawa sebungkus roti dan sekecap doa.

Pemandangan lain yang tak kalah asing di sini, adalah wajah-wajah layu dihiasi tangis dan sedikit isak pilu tertahan. Barangkali baru saja mendapat kabar dari dokter, yang seringkali diawali, "Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Rumah sakit, yang bahagia hanya sedikit. Lebih banyak yang mencoba tabah. Lebih banyak yang tak betah, walau fasilitas semua ada.

Maka, jika kau ingin tahu harganya sehat berkunjunglah ke sini sesekali. Tapi jangan karena sakit. Sebab rumah ini tak mampu menjaminmu keluar dengan selamat.

AM. Hafs
RSU dr Iskak Tulungagung, 21/19/2017

Selasa, 19 September 2017

Bakat Menulis?

Setelah lama sekali 'mandeg' menulis, di kuliah perdana kemarin aku seperti mendapat motivasi atau semangat untuk menulis lagi. Bertemu dengan dosen yang juga punya kebiasaan menulis dan sudah menelurkan beberapa karya tulis menurutku bukanlah hal yang kebetulan. Kuanggap sebagai 'kode' bahwa ini adalah saat untuk merekam kembali hikmah. Lebih-lebih, kini aku berada dalam naungan lembaga sumber ilmu, STAI Ma'had Aly Al Hikam Malang, yang oleh dosen Ulumul Quran, Pak Rahmat, M.Pd I dikatakan, Al Hikam adalah Hikmah-hikmah.

Beliau lantas mengikuti makna itu dengan kisah pengalaman nyata tentang banyak hikmah yang seringkali menemani beliau mengarungi kehidupan, semenjak menginjakkan kaki di tanah Al Hikam. Mulai dari perjalanan menulis, karir, sampai dengan jodoh.

Sabtu, 16 September 2017

Angan yang Mewujud

Antara menanti atau hanya akan berakhir sebagai mimpi. Itulah yang aku rasakan saat mendengar kata kuliah. Di tahun ini, 2017, akhirnya aku ditakdirkan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al Hikam. Sebelum akhirnya benar-benar masuk ke kampus ini. Aku hanya bisa berswafoto di depan papan nama lembaga ini. Semenjak itu, hatiku serasa tertaut kuat bahwa suatu hari aku akan menuntut ilmu di sini. Padahal, waktu itu aku sedang disibukkan persiapan pernikahan. Di sisi lain, pekerjaanku yang seminggu penuh menjadikan keinginan itu kian terasa mustahil. Its like a mission impossible.

Jumat, 03 Februari 2017

Siapa yang Berhak Diumpat?

Oleh : AM. Hafs

Belum juga usai
amukan hujan semalam
Sungai kehilangan akal sehat
Turut memporandakan
Apa saja
di hadapan

Butuh lebih dari sejam
Hingga keduanya mereda
Pelangi mencoba menghibur
dari balik awan
Berlarian seperti tersibaknya tirai

Malang
Tak ada yang hirau
Tangistangis bersautan
dengan teriakan
Mengiringi langkah-langkah
Kepala kepala resah
Nan kebingungan

"Emak!"
"Bapak!"
Semua sibuk
Mencari kepala sanak keluarga
Yang mungkin masih bernyawa

Sedang di sudut puing lain
Seorang anak meringkuk
Tergugu
Tangisannya begitu pilu
Tengah berandai
"Kenapa aku tak mati bersama kalian."
di hadapan empat bujur
Mayat keluarganya

Hutan gundul di balik desa
Urung tertawa
Tapi juga tak tahu
Hendak mengumpat siapa

Hikmah Dua Puluh Menit

Sudah dua hari ini, Pariono hanya bisa menggeleng kepala di balik meja kerjanya. Sesekali dia mengambil napas panjang. Seakan-akan tak percaya dengan apa yang terjadi.

Kemarin, lelaki tiga puluh tahun itu telat ngantor, tidak banyak, hanya delapan menit. Dia masih bisa tersenyum semringah. Meski juga masih menyimpan keheranan. Sebab tak pernah ia telat sampai begitu lama. Meski kerap tidur seusai subuh. Barangkali karena cuaca yang begitu dingin, membuat tubuhnya menolak untuk keluar dari selimut.

Sedang pagi ini, dia benar-benar tak habis pikir. Melongok ke layar gawainya, sudah pukul 8:42. Segera saja dia melonjak dari kasur tipisnya ke kamar mandi, membasahi tubuh secepat kilat tanpa memakai sabun, berganti pakaian, menuruni tangga, meninggalkan jatah sarapan.

Sampai di gerbang biru tempatnya bekerja, waktu menunjukkan pukul 8:50.  Padahal seharusnya kantor travel umroh haji itu buka pukul 8:30. Bersamaan dengan itu, pimpinannya datang memarkir mobil pajero hitam. Keluar dengan berkacak pinggang. Semacam terkena sidak dadakan, bulir-bulir keringat dingin meluncur di dahinya. Prestasinya yang tak pernah telat selama 3 bulan terakhir seolah tak berarti. Hari pertama dari selesainya masa percobaan malah menjadi hari yang paling nahas.

Pariono masih menanti dengan was-was. Menanti keputusan para pimpinan yang sedang berada di ruang meeting. Dua puluh menit jika dibanding dengan tiga bulan kedisiplinannya, harusnya masih bisa menyelamatkan mukanya. Dia kembali mengambil napas panjang dan berharap yang terbaik dengan pasrahnya.

Suara tapak sepatu terdengar menuruni tangga. Beberapa pimpinan menuruni tangga, menuju pintu keluar melewati meja kerja Pariono dengan tatapan dingin. Tamat riwayatku, batinnya.

Tampak orang terakhir yang turun, Pak Nande, pak kepala cabang. Dengan langkah tegap dan tanpa senyum, lelaki paruh baya itu memberikan amplop, gaji bulan ini.

"Tolong tanda tangan di sini, Pak," pintanya.

Dengan gemetar Pariono membubuhkan tanda tangan. Sementara Pak Nande mengambil satu amplop lagi dari tas.

"Dan ini, ada tambahan sebanyak setengah gaji bapak. Mulai besok bapak bisa istirahat di rumah."

Deg, rasanya sesak. Andai Pariono bukan lelaki, mungkin ia sudah menangis sesenggukan. "Ba-baik, terima kasih, Pak."
---

Pukul 17:00 akhirnya, hari yang begitu panjang telah berakhir. Dengan agak lunglai dia meninggalkan kantor. Sembari merutuki diri sendiri.

Sampai di rumah, yang tak jauh dari kantornya, ia termenung di depan tv. Memindah channel tv dengan tatapan kosong.

---

Menjelang tidur, Pariono masih belum juga mampu memaafkan diri sendiri. Tinggal di rumah sendirian, membuatnya bingung, tak ada tempat untuk bercerita. Mau bercerita ke tunangannya pun ia ragu.

Tergolek di kasur, dengan menatap layar hape. Pariono membuka lini masa media sosialnya. Sedikit menghibur, tapi ia tak berani menulis apapun. Hingga akhirnya ia membaca status temannya yang berdagang jagung manis.

Dengan segeri ia menuliskan komentar, bertanya harga kiloan jagung manisnya. Ia bangkit, duduk di atas kasur tipis. Meraih tas dan mengeluarkan amplopnya. Menghitung pundi rupiah yang ia terima tadi. Bersyukur masih diberi pesangon walau setengah gaji.

Setelah menghitung ini dan itu, ia mantap, besok lusa akan berjualan jagung manis rebus keliling. Sebab ia ingat, di gudang ada bekas gerobak bakso bapaknya. Besok pagi akan ia rombak sedikit. Jika memungkinkan, akan ia tambah pemanggang, untuk menambah menu jagung bakar.

Malam ini, ia nampak terlelap dengan lega. Karena seharian sibuk mencerca diri sendiri, ia sampai tak sempat bertanya, kenapa langsung dipecat, bukankah seharusnya ada surat peringatan atau teguran. Ah, tak lagi penting, mungkin berjualan sebagaimana profesi bapaknya dulu memang lebih cocok.

AM. Hafs
Singosari, 3-2-2017

Anda pengunjung ke

Statistikku