Jumat, 25 Oktober 2019

Menulis, Menunda Kematian

Kadang kala, aku memikirkan bagaimana rasanya mati. Lalu apa yang akan terjadi padaku saat sudah di alam baka nanti? Apakah seperti tengah bermimpi atau malah lebih terasa hidup daripada rasanya hidup di dunia?

Kematian, menurut al-Ghazali adalah suatu hal yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini. Bahkan jarak antara hidup dan mati barangkali hanya hitungan detik. Tergantung seberapa cepat Izrail mencabut nyawa ini.

Namun memang sudah menjadi keumuman, yang dekat seringnya malah terabaikan. Yang jauh malah terngiang tanpa henti. Ah, generalisasi.

Kadangkala, membayangkan kematian dengan gambaran yang pernah kudengar, ketika ruh dicabut seperti dicabutnya kain dari belukar berduri, membuatku begidik ngeri.

Namun, ketika aku ingat bahwa Allah Maha Pengampun, dan Rahmat Allah jauh lebih besar daripada dosa-dosaku, aku seolah siap dipanggil kapan saja.

Kematian, juga disebut sebagai nasihat terbaik. Hanya ... umumnya orang bukanlah pendengar nasihat yang baik. Seringnya butuh momen tertentu sampai seseorang itu bisa menerima sebuah nasihat dengan hati.

Apa pun, kematian sesungguhnya adalah saat dirimu tak lagi diingat oleh orang lain. Bisa karena semasa hidup, lakumu kurang bermanfaat bagi orang lain atau bisa juga karena namamu terlalu buruk untuk dikenang. Maka, menulis kebaikan, ilmu, atau hikmah selain untuk tabungan amal kebajikan, juga agar nama kita tetap bergaung saat jasad telah tiada. Minimal anak keturunan masih bisa membaca 'kita'.

AM. Hafs
Malang, 26 Oktober 2019

#Akukeluargacangkirpena
#nulismawanitisharikeempat

Rabu, 23 Oktober 2019

Cerita Sedih Kala Hujan

"Bila bagimu hujan adalah obat, maka bagiku hujan adalah racun."

Aku pernah menikmati rintik dalam sunyi ditemani lagu-lagu Sheila On 7 yang setahun belakangan beralih ke jalur indie. Mengukir kata demi kata di otakku, menjadi sebuah puisi renungan yang lenyap seketika saat hendak kutuliskan. Seharusnya tadi ketika di luar, aku membawa pensil dan kertas, ujar benakku. Sebuah penyesalan yang sia-sia.

Belakangan, aku merasa hujan itu mimpi buruk. Lebih tepatnya setelah kepergianmu. Hujan yang dulu mengisi kesendirianku, kunikmati dengan syahdu, menjadi berwarna saat kamu di sisiku. Dan ketika kamu pergi, semua warna seolah itu turut kamu bawa lari. Arkais, ketika hujan menyapa rerumputan, dan gemericiknya bersenandung, aku lebih memilih berlindung di dalam selimut, daripada sakit hati mengingatmu.

Arin membaca tulisan di unggahan blog Marwan itu dengan hati yang tidak kalah sakit. Sebenarnya, tidak sampai hati dia harus mengatakan kalimat perpisahan itu. Apalagi di tengah taman, saat hujan. Kalau saja dia tidak berharap hujan akan menyamarkan air matanya. Sebab dia harus terlihat serius dan tegar.

"Kak, sudah waktunya minum obat."

Arin tergagap dan segera menghapus air matanya yang melelah ke pipi tanpa dia sadari.

"Ah, iya. Makasih, Suster."

Andai saja yang memergoki air mata itu ibunya, pasti dia akan dicecar pertanyaan. Di sisa umurnya kini, sebagaimana yang dia minta ke orang tuanya, dia enggan jika harus dirawat di rumah sakit. Dia ingin tinggal di desa yang asri, tenang dan damai. Sehingga dia masih merasa seperti orang pada umumnya. Bukan seperti orang yang tengah menanti ajal karena penyakit leukimia yang dideritanya.

...

Marwan tampil menawan di atas panggung. Puisi patah hatinya yang viral, ia bawakan dengan penuh penghayatan. Banyak yang menebak itu karena pengalaman pribadinya, tapi tidak pernah sekali pun marwan memberi klarifikasi atau semacamnya.

Turun dari panggung, dia dipanggil Toni untuk segera ke mobil.

"Ada apa?"

"Sudah ikut saja, darurat."

"Halah, paling-paling minta traktir lagi kan? Berapa orang?"

"Sudah ikut saja, dan jangan banyak tanya."

Toni berlagak setenang mungkin agar Marwan tidak curiga. Dilajukan Ayla Putihnya menyusuri jalanan yang terik walau mendung sudah mulai berarak. Marwan mengambil satu novel dari tasnya dan mulai sibuk membaca. Toni merasa bersyukur dengan hobi karibnya itu. Kalau saja dia terus mencecarnya dengan pertanyaan, entah bagaimana dia akan menjawab.

Sedari tadi membaca buku, Marwan tak sadar jika sudah hampir sejam di perjalanan.

"Kita mau ke mana ini?"

"Sudah, lanjut saja baca bukumu. Sebentar lagi sampai. Teman-teman juga sudah menunggu."

Marwan mengangkat alis dan bahunya sebelum melanjutkan membaca buku.

...

"Kita sudah sampai."

Marwan melihat rumah lama bercat putih, gaya Belanda. Ada kerumunan orang di bawah tenda yang dipasang di depan pintu masuk. Bendera palang merah tapi berwarna hijau berkibar menempel di sisi pintu gerbang.

"Rumah siapa ini, Ton? Siapa yang meninggal?"

"Ayo masuk! Nanti kamu tahu sendiri."

Di depan pintu menyambut sosok yang begitu dikenalnya. Bapak dan ibuk Arin.

Deg!

Marwan berlari ke dalam rumah. Ada sesosok jenazah berkafan di ruang tengah. Di sampingnya, terduduk sosok lain yang tidak asing. Arin, memakai jilbab dan gamis hitam.

"Arin? Siapa yang meninggal?" Sejenak Marwan tampak lega, yang terbujur di sana bukan seseorang yang walau pernah menyakiti, tapi masih dia cintai.

"Maaf, Kak. Aku Rina. Saudara kembar Kak Arin," katanya sembari memendam isak tangis.

Ditengoknya wajah jenazah yang terbujur itu. Dan memang ... Arin. Seketika Marwan terduduk lemas, kebingungan, dan tak tahu bagaimana menyebut perasaan yang bergolak tak keruan di hatinya.
...

AM. Hafs
Malang, 23 Oktober 2019

#Sayakeluargacangkirpena
#nulismawanitisharikedua

Selasa, 22 Oktober 2019

Mahkota untuk Ibu

"Aku berangkat, Pak, Bu. Minta doanya. Semoga ilmu yang kuperoleh bisa manfaat dan selalu dalam naungan ridho Allah SWT."
Barangkali sebagian besar santri akan mendapat balasan berbagai pesan dan senyum. Namun, tidak bagi Mada. Sudah lima tahun ini ia hanya mendapati dua tulisan di batu nisan yang berdampingan.
Sudah enam tahun ini Mada tinggal di pesantren pamannya, Kyai Dalhar. Dengan terpaksa. Sebab pemuda dua puluh tahun itu awalnya enggan untuk masuk pesantren. Bahkan di bulan pertama, ia harus dipasung agar tidak mengamuk saat sakau karena obatnya habis.
...
"Maaf, anak Anda kami tangkap. Ia terbukti memakai obat-obatan terlarang."
Segerombolan orang berseragam polisi menjemput Mada di rumahnya. Orang tuanya syok. Ia memang cukup nakal, tapi tak pernah terbayang kalau ia akan sampai mencicipi barang haram itu.
"Bawa anak durhaka ini, Pak! Kami tidak ridho punya anak seperti dia! Mulai hari ini anggap kami sudah mati!"
Mada hanya tertunduk tanpa bisa bicara apa pun.
...
Kyai Dalhar, yang masih saudara jauh ibunya mendengar kejadian itu. Tanpa sepengetahuan orang tua Mada, menjemput Mada dari Kantor Polisi. Beliaulah yang menjamin dan mengusahakan agar Mada bisa menjalani rehabilitasi di Pesantren beliau. Orang tua Mada pun hanya tahu anaknya dipenjara.
"Nak, buyut-buyutmu dulu itu orang alim semua. Bagaimana bisa kamu jadi seperti ini?"
Jika saja yang bertanya seperti Bapak atau Ibu Mada, pasti tanpa ba-bi-bu ia akan menjawab, "Persetan! Hidupku tidak ada hubungannya dengan mereka!"
Namun, wajah teduh dan suara yang penuh wibawa Kyai Dalhar membuat Mada tidak bisa berkata-kata hanya tertunduk. Seolah ada hawa aneh dari dalam diri Kyai Dalhar. Apa ini yang disebut karisma? batin Mada.
"Sekarang begini. Semua terserah padamu. Mau tinggal di sini dengan mentaati segala aturan Pesantren dan menjalankan apa yang aku tugaskan atau kembali ke penjara?"
Bagi Mada yang sudah merasakan dinginnya sel penjara dan  tatapan mengerikan para tahanan malam sebelumnya, tanpa pikir panjang pun mengangguk. Setidaknya di sini aku tidak bertemu berandal-berandal seperti di Penjara, begitu benaknya. 

(Bersambung)

AM. Hafs
Malang, Hari Santri 2019

# sayakeluargacangkirpena #nulismawanitisharipertama

Anda pengunjung ke

Statistikku