Jumat, 14 Agustus 2020

Aku Sedang Tercenung

Aku sedang tercenung memikirkan banyak hal. Mulai dari masalah kuliah hingga kewajiban mencari nafkah. Ah iya termasuk hafalan quran yang kian entah. Setelah membaca sekilas satu Bab bukunya Mark Manson kemarin, aku jadi mulai ingin jujur kepada diri sendiri. Mungkin selama ini aku lelah karena terlalu sering memakai topeng. 

Tinggal satu setengah hari untuk memastikan kuliah semester tujuhku harus lanjut atau cuti. Aku berharap info PPL dan PKM di semester tujuh bakal segera dipublikasi, sehingga bisa segera mengambil keputusan. Apalagi aku kesulitan untuk mencari waktu berkonsultasi dengan dosen wali. Sebab harus menjaga putriku tercinta ketika Kantor istri sama sekali tidak memberi kelonggaran seperti sebelum pandemi. Namun bisa dipahami memang kenapa mereka jadi seketat itu. Bertahan dan memberi gaji utuh di tengah kondisi yang serba sulit saat ini adalah sesuatu yang mengesankan. Dan gaji utuh itu benar-benar menolong kami sekeluarga. 

Kembali ke masalah kuliah, sebelum pandemi, masih ada opsi untuk menitipkan si kecil di rumah neneknya selama aku PPL mengajar. Namun dengan kondisi saat ini, semua opsi itu terasa berat. Si kecil terbiasa dengan kami berdua. Benar-benar dilema. 

Beberapa hari ini, aku melarikan pikiran dengan game. Berharap bisa lebih merefresh otak, tapi tetap tak membuahkan hasil. Akhirnya, saat sedang menggendong putriku yang tertidur pulas, satu-satunya cara yang belum kucoba adalah menulis. Seperti saat ini. 

Di tengah menulis ini, aku mengirim pesan ke istri. Berunding bagaimana baiknya. Sayangnya dia sedang makan siang. Jadi belum bisa lewat telepon. Dan buruknya pikiranku adalah ketika sudah mulai percakapan suatu masalah, kalau bisa harus selesai saat itu juga. Pada akhirnya aku hanya bisa mengambil napas panjang. 

Selain masalah PPL dan PKM, adalagi masalah skripsi. Aku kehilangan arah tentang masalah apa yang hendak kuangkat. Bertumpuk masalah di otak ini membuat segalanya buntu. Seperti benang ruwet yang belum ketemu ujungnya. 

Anehnya yang paling tidak jadi beban adalah soal biaya kuliah. Bukan menganggap enteng, tapi aku sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa kembali memberi nafkah secara proporsional seperti saat masih bekerja. Maklum, omset menurun tajam justru saat putriku lahir. Sebabnya karena mobilitasku tak sesering ketika masih belum ada dia. Apakah aku menyesali keberadaannya? Tentu tidak. Aku malah merasa menjadi bapak yang beruntung karena bisa mengasuhnya setiap hari. Apalagi aku tergolong orang yang menyukai anak-anak dan dunianya. 

Rongga dadaku sudah mulai mendapat ruang karena akhirnya bisa menulis semua ini. Walau aslinya masih banyak hal yang sepertinya perlu kutulis. Tapi kadang-kadang aku terlalu takut dengan teguran istri yang memang introvert. Yang beberapa masalah tidak ingin diketahui orang. Pada titik ini pula aku jadi heran, kami jodoh tapi karakter kami benar-benar berkebalikan. 

Kalau aku sih masa bodoh dengan pandangan orang. Paling-paling mereka cuma bisa menilai. Namun tidak dengan istriku. Apa mungkin memang perasaan kebanyakan perempuan seperti itu ya? Ya sudah, yang bisa kulakukan hanya mengerem lalu menggunakan kepiawaian menulisku untuk menceritakannya secara tersirat saja. Yang pasti, tidak mungkin hidup tanpa masalah, tapi dengan adanya masalah atau menceritakan masalah, bukan berarti aku sedang tidak mencintai kehidupanku.

AM. Hafs
Malang, 14 Agustus 2020. 

Jumat, 07 Agustus 2020

Sejujurnya, Saya Ini Brengsek

Sudah lama sekali ingin menuliskan sebuah keresahan tentang betapa pengecutnya diriku, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Hingga akhirnya pagi ini sebuah status Whatsapp seorang kawan benar-benar membuatku tersindir. Ia anak muda yang kritis, tulisannya dimuat di mana-mana berbanding terbalik denganku yang tulisannya "mbulet" dan tidak ke mana-mana.

"Saya suka anak muda yang kritis, sekalipun kritikannya kurang berbobot bahkan nyaris salah daripada anak muda yang bijak tapi dia nggak kritis. Sudahlah yang muda nggak usah sok bijak, tugas anak muda sejatinya mendobrak pintu kejumudan. Bijak itu tugas orang tua."

Sebuah tulisan yang membuatku menyadari bahwa saya memang tidak kritis dan pengecut. 

Kamis, 16 Januari 2020

Aku Ingin Menulis Lagi dengan Riang Gembira

Dulu, aku bisa menulis apa saja dalam bentuk apa saja sesuka hatiku. Tapi beberapa waktu belakangan, semakin banyak aku membaca, semakin aku merasa tak punya apa-apa untuk ditulis. Mau menulis tentang Islam, sudah banyak yang lebih ahli bermunculan.

Beberapa waktu belakangan, aku juga mulai menjauhi dunia politik. Menjauhi hal-hal viral. Dan mencoba tak memikirkannya sama sekali. Namun, lingkungan seolah menarikku untuk membaca dan menghiraukan mereka.

Penulis di era digital harus selalu update isu terbaru. Berebut pembaca melalui kecepatan unggahan. Membuat tulisan-tulisan yang menarik. Sedangkan aku ... saat ini merasa lelah untuk itu.

Lalu benang takdir membawaku ke dalam pengasuhan seorang Tasaro GK. Melalui Klub Juru Cerita yang dibuatnya, aku dicekoki ilmu baru. Dasar jurnalistik. Aku mengenal hardnews, softnews, belajar lagi tentang 5W+1H. Lalu mengenal yang namanya news feature dan feature.

Ilmu baru itu membawaku pada sudut pandang kepenulisan yang baru. Membawaku pada metode penulisan yang baru. Aku menyebutnya sebuah metode tentang cara menulis suatu kejadian dengan pendekatan humanisme.

Walau begitu, lagi-lagi tanpa praktik, ilmu itu hanya akan menjadi pisau berkarat nan tumpul. Karenanya, aku berniat mengasah lagi dan lagi. Terlebih, aku iri ketika melihat teman-teman yang karir menulisnya seangkatan denganku telah berorbit ke lintasan berbagai media massa.

Yah, semua tahu bahwa masing-masing orang punya lini masanya sendiri. Namun, iri dalam hal kebaikan adalah hal yang dianjurkan. Apalagi di bawah pengasuhan seorang Tasaro aku mendapat secercah sudut pandang. Bahwa menulis tidak harus bertujuan untuk mengubah sudut pandang orang lain, namun kita bisa menulis untuk mewakili mereka yang sepemikiran tapi belum mampu mengungkapkan.

Menulis, sebuah jalan panjang yang terjal. Tanpa tekad dan niat, ia hanya akan menjadi imajinasi yang tak pernah mewujud. Pada titik ini, aku ingat bahwa aku punya mimpi untuk membumikan Al Qur`an. Mengubah kandungan satu ayatnya menjadi satu kisah hikmah. Maka, tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah kebajikan. Yang ada hanya sesekali kita butuh mengatur napas, sedikit langkah mundur, untuk sebuah ancang-ancang dan melompat dengan gemilang.

AM. Hafs
Malang, 16 Januari 2020

Anda pengunjung ke

Statistikku