Selasa, 24 November 2015

Paku, Penanda Sejarah Hidupku

Ada yang tahu tentang subuh?  Ia serupa hening yang mengundang satu per satu jenis suara ke dalam pestanya. Menjadikan riuh dan gebyar. Ia juga tempat mata menyalakan pandangan. Tempat rentetan panjang munajat menemui muara. Dan tempat para 'kalong' merebahkan lelah.

Di sini, di subuh ini. Aku mulai menekuri perjalanan tahun kehidupan. Pada bulan shafar, dua puluh lima tahun yang lalu. Aku keluar dari rahim yang nyaman menuju dunia dengan langitnya yang tak selalu biru.

Aku tak pernah tahu wajah ibu, saat ia melahirkanku. Apakah tersenyum penuh suka cita atau sebaliknya? Yang kutahu hanya rasa sakit yang ia derita, kala tubuhku meminta untuk keluar dari mulut rahimnya. Meninggalkan zona nyaman. Apakah itu untuk zona nyaman yang lain? Entah.

Aku lahir di tanah Jawa. Tepatnya di Singosari, tempat yang kata sejarah menjadi cikal bakal Nusantara. Aku lahir di negeri yang katanya, bertanah surga. Meski kelaparan tetap terjadi di mana-mana. Dan membuatku bertanya-tanya. Kenapa bisa kelaparan? Kurang usaha kah? Atau tetangganya yang terlalu durja? Entah.

Aku tak tahu, untuk apa aku hidup. Hingga ibu memaksaku menuntut ilmu. Pagi di Sekolah, dan sorenya di surau. Dan entah kapan dan dari siapa aku mendengarnya, aku mendapat jawaban bahwa tujuan hidup diciptakan untuk beribadah kepada Yang maha Kuasa.

Aku bersyukur, dilahirkan dalam keadaan muslim. Semoga matiku pun kelak tetap dalam keadaan muslim. aaamiin. Dan untuk dicap mati sebagai muslim, sangatlah sederhana. Cukup wafat dengan megucapkan kalimat syahadat sebelum nyawa sampai di tenggorokan. Chusnul Khotimah. Begitu orang akan menyebutnya. Tak peduli biar pun orang sedunia menganggap kafir. Jika dua kalimat tersebut terucap, maka gelar muslim itu telah menjadi keniscayaan.

Namun, apa benar semudah itu? Kata guru ngajiku, masing-masing akan diambil dalam keadaan yang ia biasakan. Jika ia trbiasa berdzikir, maka bisa dipastikan dengan prosentase 99% maka seseorang tersebut akan wafat dalam keadaan berdzikir.

Dari hal tersebut, bisa ditarik kesimpulan sederhana. Seberapa mudah untuk mati chusnul khotimah, ditentukan dari seberapa mudah dan seringnya seseorang berdzikir menyebut nama Allah SWT. Tak perlu berpikir yang tinggi-tinggi. Sebab ketika sudah merasa dekat, maka apapun yang diperintahkan pasti akan dijalani dengan sukarela. Dan apapun yang dilarang pun demikian.

Itu rumus sederhana yang kupelajari dari sekolah. Akan tetapi, kehidupan tak membiarkannya menjadi hal yang semudah itu.

Sampai pada usiaku yang sekarang. Aku masih belum menjadi apa-apa. Aku kerap mengulang-ulang kesalahan yang sama. Dzikir dan ibadah? Jangan ditanya, hanya sebatas rutinitas. Yang seringnya kukerjakan dengan malas.

Kadang aku bertanya, apakah masa lalu yang membuatku menjadi pribadi yang demikian? Entah. Yang kutahu sekarang ... diri ini hanyalah seorang pelari. Ya, aku sering lari dari kenyataan. Lari dan lari dari kesulitan. Mencari jalan yang mudah ... namun menjerumuskan. Nurani pun sering menegur, "tak ada yang mudah di dunia ini dengan berlari, Kawan. Yang ada hanyalah menjadi lebih kuat untuk menghadapi tiap ujian yang terus dan terus meningkat.

Entah, sampai pada umurku saat ini. Berapa orang yang telah kukecewakan. Banyak pastinya. Namun, aku masih saja jalan ditempat. Masih sebatas ingin berubah. Berdoa tapi tak diiringi usaha yang keras.

Aku diajari untuk tak mengeluh. Namun, pada pagi ini, aku ingin mengeluh pada dunia, pada pembaca bahwa aku lelah untuk mengeluh. Aku ingin menjadi pribadi yang leih baik. Berubah menjadi lebih kuat. Agar bisa melindungi orang-orang yang kukasihi. Berubah mejadi lebih bijak. Agar aku mampu menjadi penuntun. Tak muluk-muluk, minimal untuk keluargaku. Ya, minimal. Kalau bisa ditakdirkan lebih, semoga Allah memberi kekuatan lebih.

Di subuh ini. Aku menancapkan paku sejarah hidup. Merayakan tanggal lahir hijiriyah, 7 Shafar yang jatuh lima hari yang lalu. Sebulan dari sekarang, aku pastikan, hafal quran yang telah begitu telat akan selesai. Dengan izin dan pertolongan dari Allah. Aku ingin menjadi hamba yang lebih baik dari tahun ke tahun. Di akhir tulisan, aku mengemis kepada pembaca, untuk meluangkan waktu, mendoakan kelancaran dan keberkahan terhadap hafalan yang tengah kuperjuangkan. Semoga, doa yang baik dibalas ke sang pendoa dengan kebaikan yang berkali lipat Aamiin.

اللهم صل علي سيدنا محمد و علي ال سيدنا محمد

AM. Hafs
Singosari, 24 November 2015

Pena yang Bangkit Dari Hibernasi

Pada akhirnya, sekeras apapun aku menahan laju pena, ia tetap mengusik pikiran. Barangkali, ia kesepian berada di balkon. Sehingga dengan susah payah mengirimkan sinyal kerinduan kepada jemari. Lalu malam ini, dengan terpaksa aku menjemput dan memeluknya.

"Selain jemari, kau pasti merindukan ini, bukan?" bisikku sembari mengambil buku bersampul hitam. Pena nampak semringah. Lantas mengirim sinyal ke otakku. Membuat jemariku menari bersamanya. Menulis apa saja yang terlintas.

"Tak ada guna penyesalan tanpa kesungguhan untuk berubah. Kau si pemalas, si plin-plan, tukang tidur, dan temperamen. Tidak cukupkah teguran-teguran dari nurani yang telah kau terima? Tengok pula kertas mimpi yang kau tulis dan telah terpajang bertahun lamanya. Sampai usang. Miris, hanya satu saja yang masih tercoret.

Pun seharusnya, tulisan-tulisan lampau sok bijak yang kaukhianati, menjadi teguran keras. Tapi tidak, kau seperti menikmati alur kelam yang sama. Taubat yang hanya taubat sambal. Pedas, membuat lidah dan rongga mulut kepanasan, kesakitan tapi tetap kau cicipi dngan alasan nikmat dan ketagihan.

Senin, 23 November 2015

Terpidana yang Memimpikan ‘Madinah’

Setahun semenjak perhelatan pilpres, aku menggeluti profesi sebagai pembuat berita. Bukan, aku bukan wartawan.

Berawal dari kesulitan mencari kerja di masa pilpres. Aku, pengangguran tiga tahun lulusan SMK jurusan Multimedia, diajak bekerja oleh seorang teman. Ia menjadi salah satu tim sukses parpol peserta pilpres. Lelaki itu menawarkan gaji yang cukup tinggi, satu juta per minggu.

Agak ragu saat pertama mendengarnya. “Em-el-em, bukan?” selidikku suatu kali. Ia menjawab, bukan. Dijelaskan kemudian, kerjaku nanti hanya duduk mengawasi 3 set komputer sekaligus. Pokoknya cocok dengan ilmu yang kupelajari.

Aku mencoba berhati-hati. “Tak ada uang pendaftaran atau semacamnya, kan? Dan berapa jam dalam sehari?” cecarku yang hanya dijawab dengan lembaran kontrak kerja. Aku disuruh membaca, dan sesekali ia menjelaskan poin-poin yang membuat ketamakanku berliur. Tunjangan kesehatan, jaminan keamanan, liburan akhir tahun.

Setelah beberapa waktu menelusuri, aku sampai pada poin ‘berpengetahuan tentang berbagai agama’. Ketika kutanyakan, apakah itu keharusan? Ia menjawab singkat, “Santai saja semuanya bisa dipelajari.”

Anda pengunjung ke

Statistikku