Senin, 23 November 2015

Terpidana yang Memimpikan ‘Madinah’

Setahun semenjak perhelatan pilpres, aku menggeluti profesi sebagai pembuat berita. Bukan, aku bukan wartawan.

Berawal dari kesulitan mencari kerja di masa pilpres. Aku, pengangguran tiga tahun lulusan SMK jurusan Multimedia, diajak bekerja oleh seorang teman. Ia menjadi salah satu tim sukses parpol peserta pilpres. Lelaki itu menawarkan gaji yang cukup tinggi, satu juta per minggu.

Agak ragu saat pertama mendengarnya. “Em-el-em, bukan?” selidikku suatu kali. Ia menjawab, bukan. Dijelaskan kemudian, kerjaku nanti hanya duduk mengawasi 3 set komputer sekaligus. Pokoknya cocok dengan ilmu yang kupelajari.

Aku mencoba berhati-hati. “Tak ada uang pendaftaran atau semacamnya, kan? Dan berapa jam dalam sehari?” cecarku yang hanya dijawab dengan lembaran kontrak kerja. Aku disuruh membaca, dan sesekali ia menjelaskan poin-poin yang membuat ketamakanku berliur. Tunjangan kesehatan, jaminan keamanan, liburan akhir tahun.

Setelah beberapa waktu menelusuri, aku sampai pada poin ‘berpengetahuan tentang berbagai agama’. Ketika kutanyakan, apakah itu keharusan? Ia menjawab singkat, “Santai saja semuanya bisa dipelajari.”

Aku bernapas lega, jangankan tentang berbagai agama, islam yang kuanut sejak lahir saja tak begitu kupahami. Kontrak pun kutanda tangani, tanpa pikir panjang. Satu lagi, dalam kontrak tertulis hasil dari uji coba satu bulan akan menjadi syarat mutlak keputusan perekrutan berdurasi kerja dua tahun.

Seminggu kemudian aku telah berada di ruangan yang mirip aula. Kata temanku yang namanya tak boleh disebut dalam cerita ini, ada seratus calon kepala terdaftar dan berkumpul bersamaku saat itu. Hanya sepuluh nama yang akan terekrut.

Temanku mengirim pesan pendek, menyarankan supaya tak khawatir. Karena aku telah ia pastikan lolos. Kepalaku miring ke kiri saat membacanya. Merasa heran dan ragu, namun senyumku mengembang tanpa sadar.

Benar saja, awal bulan berikutnya, namaku masuk dalam daftar pegawai terpilih. Esok hari setelah pengumuman, aku dan sembilan orang lain dikumpulkan di sebuah ruangan rapat yang aneh. Pintunya berupa rak buku. Di belakangnya ada lorong ke ruangan seperti bungker masa perang. Kalau menghitung dari berpetak besi penyangga seukuran asbes satu meter persegi di bagian atas, bisa kupastikan ruangan itu berukuran 18 meter persegi. Ada tujuh kursi yang mengetuai satu meja dengan tiga buah komputer berlayar datar menempel ke dinding. Di tengah ruangan ada satu meja segi empat, dengan sepuluh kursi. Seperti tempat ‘meeting’ di kantor. Kami bersepuluh, duduk di sisi kiri. Sedang seorang yang kemudian aku ketahui sebagai wakil ketua parpol, duduk di kursi empuk di sisi lainnya. Didampingi dua orang berpakaian seperti agen MIB. Lelaki sebelah kanan, temanku.

“Kalian yang terpilih. Sampai di titik ini, tak boleh berkata mundur, dan wajib mematuhi ketentuan. Sesuai perjanjian kontrak, akan ada pidana yang menanti bila itu dilakukan.” Kalimat pembuka dari wakil ketua itu membuat ingatanku berlari. Menyusuri halaman demi halaman kontrak kerja. Tak ada, aku tak ingat pernah membaca poin itu. Keringat dingin seketika menyergap. Apa aku melewatkan poin tersebut? Aku menengok kanan-kiri.

“Dengan duduk di sini, artinya kalian telah menyetujui dan siap dengan konsekuensi atas poin-poin dari lembar kontrak yang telah kalian tanda tangani. Bisa dipahami?” Suaranya cempreng, tak akan cocok berperan menjadi bos mafia. Tapi ada semacam karisma yang membuat kami segan. Bahkan untuk sekadar menatap matanya.

“Paham.“ Sembilan orang menjawab dengan mantap. Sedang aku menjawab dengan ragu-ragu.

Seusai rangkaian pembukaan menegangkan itu, buru-buru kuhampiri temanku.
“Mari kita bicara di mobil!” ajaknya sambil tersenyum.
Dalam perjalanan pulang, kuceritakan semua hal yang membuat khawatir dan ragu. Tapi, dengan santai ia menanggapi semuanya. Katanya cuma dua tahun, waktu yang sebentar. Dengan penghasilan sebesar itu, aku bisa membuka usaha di tahun kedua, lanjutnya sedikit menguatkan hatiku.

Sampai di rumah, aku langsung menuju laci meja belajar. Mengambil salinan lembar kontrak, dan membacanya kembali. ‘Bagi peserta terpilih, tidak diperbolehkan untuk mundur’. Tidak ada ancaman pidana. Kutelusuri lagi, ternyata ada tiga poin di atas poin terakhir. ‘Melanggar dengan sengaja atas semua poin yang tertera, akan dikenai sanksi pidana’. Aku pun terduduk lesu di tepi ranjang.
***
Dalam kurun waktu setahun itu, jemari ini bekerja sebagai “Pembuat Berita”. Memutarbalikkan fakta. Tujuh orang bekerja di dalam ‘banker’ sebagai pembuat berita palsu terhadap lawan. Tiga orang di luar, bekerja dengan membeberkan fakta-fakta kebaikan parpol yang menaungi kami. Selain tugas pokok itu, tiap orang menaungi sepuluh akun palsu yang tersebar di berbagai jenis sosial media. Sepuluh akun dengan bermacam tugas. Bergerak di forum-forum debat yang tergelar. Mirip seperti kerja team di film Republik Twitter.

Di bulan-bulan awal, ada perasaan risih dan keraguan yang terus bergelayut. Berperang dengan nurani. Tapi, aku terlalu pengecut untuk mundur. Apalagi ketika hal itu kusampaikan lagi, temanku selalu memperingatkan tentang ancaman pidananya. Dan tak lupa pula bujukan “cuma dua tahun” turut membuat nurani melakukan pembenaran.

Tresno jalaran soko kulino. Pada akhirnya, rutinitas itu sukses membuatku menikmati semuanya. Mengasyikkan memiliki kemampuan mengendalikan media, mempermainkan orang lain. Dengan kerja yang begitu rapi, kebanyakan orang akan dibuat kebingungan.

Namun, keasyikkan itu tak berlangsung lama. Semua berakhir ketika suatu hari abangku mengeluh tentang keadaan dunia. Di tengah kemarau panjang dan berita asap yang terus memanasi ranah media, lelaki yang lebih tua lima tahun dariku itu beropini, “barangkali, kemarau dan musibah asap ini adalah azab Allah.” Kutanyakan alasannya. Ia tanggapi dengan cerita yang panjang tentang tanda-tanda akhir zaman. Salah satu di antaranya banyaknya fitnah bertebaran. Tak ketinggalan, berbagai gambaran siksa terhadap para penebar fitnah. Api neraka jahannam yang menyala-nyala. Aku pernah mendengarnya saat sekolah dasar dulu. Kala itu reaksiku biasa saja. Berbanding 180 derajat dengan keadaan saat ini. Tanpa mampu kukendalikan, dada berangsur sesak dan mataku nanar. Sekonyong-konyong aku meninggalkan Abang. Mencoba menenangkan diri di kamar.

Semalaman, aku menekur dan bertafakur. Esok paginya, dengan mantap kuputuskan untuk berhenti. Entah malaikat mana yang merasuki. Tak ada lagi rasa takut terhadap ancaman apapun.

Di kantor, aku terlibat debat kecil dengan temanku sebelum akhirnya berhadapan dengan wakil ketua.
“Kau yakin? Tak takut dengan ancaman pidananya?” Cukup tenang, pria gemuk itu mengintimidasi.
“Ya! Aku tak takut apapun!” Kutatap dengan mantap kedua bola matanya.
“Baiklah, silakan tinggalkan tempat ini.” Dan aku pun melenggang pergi. Menghirup udara bebas dengan perasaan lepas.

Sehari, dua hari, tak ada kejadian apapun. Aku merasa mereka hanya menggertak. Aku berpikir, barangkali pidana hanya akan kuterima kalau sampai membocorkan kegiatan mereka.

Ternyata aku salah. Di Siang yang terik, hari ketiga. Rumahku didatangi dua personil polisi, mereka menyeretku ke mobil. Aku ditetapkan sebagai tersangka penggelapan dana kantor. Sebuah tuduhan yang mengada-ada. Namun dalam persidangan, ada puluhan bukti rekayasa yang sukses membuatku dilempar ke tahanan. Mendapat hukuman maksimal, empat tahun sesuai ketentuan Pasal 378 KUHP tentang Perbuatan Curang.

Tak cukup begitu, di ruang tahanan, preman-preman anak buah parpol ramai-ramai menghajarku.

Dalam isak tangis dan bau anyir dari darah yang keluar dari bibir dan hidung aku berpikir, barangkali ini balasan atas segala bentuk fitnah yang pernah kuperbuat. Lantas, tiba-tiba saja di benakku terlintas tentang kisah hijrah berdarah Rasulullah ke kota Thaif, yang diceritakan guruku sewaktu di Sekolah Dasar. Dengan segenap kepasrahan, batinku memohon ampun dan bertaubat. Ada rasa damai yang tiba-tiba muncul, ketika aku memimpikan akan ada ‘Madinah’ yang hendak dihadiahkan Allah kepadaku.

AM. Hafs
Singosari, 02 November 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku