Sabtu, 21 Maret 2015

Muhasabah Hidup

Ujian menghadapi rasa takut telah usai. Perlahan tapi pasti, kuanggap semua adalah bagian dari pelajaran. Dari sana aku memelajari posisi. Kapan waktu menyerang dan kapan waktu bertahan. Karena hidup tak ubahnya sebagai perjuangan. Di samping untuk memelajari tabiat manusia.

Di usia muda, takut gagal adalah kebodohan. Karena itu, aku mulai mengesplorasi hal-hal yang selama ini kuhindari karena rasa takut.

Syahdan, dari percobaan itu, kesalahan-kesalahan yang kuanggap kecil menjadi terlihat lebih jelas. Dari situ pula keinginan untuk lebih baik kian menggebu. Tentunya, semoga saja tak berakhir hanya dalam keinginan. Karena bergulat dengan rasa malas adalah hal yang lain lagi.

Aku tak pernah ingin menjadi tua dan keras kepala. Maka jalan satu-satunya ya terus belajar melunakkan hati. Memperbesar penerimaan terhadap kekurangan dan kesalahan diri. Agar ketika tua, aku bisa membimbing dengan bijak. Memberi pandangan yang luas pada yang bertanya. Bukan seperti pahlawan kesiangan, yang seringkali berandai.

Lalu satu hal yang patut kusyukuri. Semakin aku menantang dunia, penaku menjadi kian tajam. Dengan senyum, sekali lagi kukatakan, "Masalah adalah ladang emas bagi penulis." Buktinya, tiap hari wartawan berkeliling untuk mencari "masalah." Sedang kenikmatan menjadi penulis, di kala masalah itu gagal kuhadapi, maka pada karya cerpen atau puisi, aku bisa membuat tokoh yang akhirnya mampu mengatasi masalah tersebut dengan menjauhkan keidentikan tokoh 'aku' dari 'aku' si penulis.

Kesalahan terbesar penulis adalah ketika kemampuannya dipakai untuk memutar balikkan fakta dalam bentuk pembelaan diri, sungguh itu tindakan pengecut. Tengok saja berapa banyak penulis yang hari-hari ini gencar menulis berita yang ke'valid'annya diragukan. Lucunya, ketika pada akhirnya berita yang ditulis terbukti tak sesuai, tak ada satu pun kata maaf yang keluar. Miris. Semoga jika memang sebagian dari kita jalannya menjadi penulis, semoga mampu menulis dengan jujur. Menambah wawasan pembaca, bukan sebaliknya. Aamiin.

AM. Hafs
210515, Singosari

Selasa, 17 Maret 2015

Suara Sunyi

Bagaimana kau menyebutnya? Ketika aku bercengkerama dengan secangkir kopi susu, "Hei? Kalian ini mana yang kopi dan mana yang susu? Gimana rasanya jadi satu, menyesalkah?"
Sayup-sayup, dia atau keduanya menjawab. - Ah bagaimana aku menyebutnya? Dua atau satu? Nyatanya dua dalam satu. - "Jika aku-kami menyesal, tak mungkin sekarang aku-kami berada di rongga mulutmu. Memberi rasa manis yang khas di hidupmu."
Ah, benar. Itu artinya tak menyesal. Dan benar pula jika kukatakan, dia-keduanya juga bingung dengan ganti, aku atau kami. Lalu pertanyaan pertamaku? Siapa yang hendak menjawabnya?
"Kami menyebutnya, Gila!" Cangkir dan sendok bersuara? Apa aku tengah di dunia? Atau tersesat di alam lain?
Lamat-lamat kudengar, "Ting-ting kelinting, gelas - gelas berdenting." Jemariku meraba telinga. Sepasang "headphone" tertancap di cekung telinga. Aku pun tersadar dan bertanya-tanya, bagaimana aku bisa mendengar suara mereka tadi? Seketika keheningan menyelimuti. Bahkan aku tak mampu mendengar teriakanku sendiri.
____
Tanpa makna = hanya ingin melatih meliarkan imaji grin emotikon bagaimana pendapatnya?
AM .Hafs
Malang, 27/02/2015

Catatan Kecil


Rinduku tergerus senyummu. Rasaku rapuh, antara ada dan tiada. Sebab resah tunggangi harap. -AM. Hafs

Setelah semua tawa, lalu timbul ragu, getir dan resah di antara rasa; dua hati. Sedang bagiku semua itu inspirasi. - AM. Hafs

Cinta itu lucu. Ada yang tengah saling merindu; menanti pesan. Namun yang tercipta malah kesunyian. -AM. Hafs

Sebagai pembelajar, aku lebih suka dengan kemampuan menulisku yang sekarang. Tapi sebagai pembaca, aku lebih suka 'aku' yang dulu. Enggak terganggu typo, atau teknis tulisan apapun. Yang kutahu, hanya ada dua macam tulisan. Ceritanya jelek atau bagus. -AM. Hafs

Setiap nafas lain yang ditemui adalah hikmah dan inspirasi. Berusaha untuk tak merasa lebih baik dari orang lain. Lalu hidup seperti air. Di gelas ia mampu memenuhi rongga gelas, tapi tidak menjadi gelas. Dan sedang menginginkan untuk jadi cahaya agar mampu memberi sinar wawasan bagi sekitar. Meski sekarang masih bukan apa-apa dan banyak kekurangan. Teringat dawuh guruku kemarin, "Tak perlu ilmu yang banyak. Sedikit yang penting diamalkan. Bisanya alif ya ajarin alif. Soalnya kalau kalian mesti belajar imrithi, jurumiyyah, alfiyah sudah bukan kelasnya. (Maklum, ngaji kampung-santri kalong pula) Dan sedikit itu harus dilaksanakan penuh tanggung jawab juga istiqomah." -AM. Hafs

Duhai para penulis atau calon penulis. Perhatikanlah! Dunia tak cukup luas untuk menyembunyikan identitas tulisan copas. -AM. Hafs

Selamat Pagi, Pujangga pengunyah rindu. Sudahkah luruh, atau masih kau coba buatnya patuh? Ah, Rindu. Dibuang sayang, ditelan susah. -AM. Hafs

Penantian akan bermuaranya cinta, hanyalah sebuah drama yang berjudul Rindu. -AM. Hafs ‪#‎PelukisRindu‬

Sebuah senyum sebelum perpisahan hanyalah nama lain dari kerinduan. Kenapa tak tinggal saja, Cinta? -AM. Hafs

Syukurlah aku dulu mencintainya. Jadi sekarang bisa mengerti betapa sakit ketika cinta tak ditempatkan di tempat yang tepat. AM. Hafs

Tak seperti cinta yang terlalu sering berkisah. Rindu lebih memilih diam di sudut relung terdalam. Menunggu pertemuan di salah satu sudut alam. -AM. Hafs

Tak ada kata terlalu pagi tuk merindu. Karena embun enggan menunggu. Padahal ia penyejuk sendu. -AM. Hafs

Memang, Rindu mudah dimengerti. Namun waktu-waktu yang ia dampingi tahu, betapa sepi yang ia sesap terlalu pedih diresapi. -AM. Hafs

Cinta lebih membutuhkan kepastian daripada kesabaran. Karena cinta tak bisa dinanti tanpa kepastian. Meski rindu meraung di tepi harap. ♥♥ -AM. Hafs

Pagi ini, Rindu duduk bersama embun di jaring laba-laba. Mencoba menangkapi rasa yang mungkin tersesat. Atau tak punya muara. -AM. Hafs

Tidak cukup dikatakan. Harus dirasakan dan diwujudkan dalam perbuatan. Tidak untuk dinanti karena tak pernah tahu di mana kan bermuara : CINTA. -AM. Hafs

SUKUR

"Tong, Nggih, Kyai. Oleh Suket pirang sak iki mau?"

"Namung setunggal, Kyai. Suket e katah ingkang pun garing."

"Tong ...."

"Nggih, Kyai."

"Ojo muni, "namung" isih sukur oleh sa' sak. Sak cilik opo ae nikmat, kudu mbok syukuri. Tanpo pilih-pilih."

"Inggih, Kyai. Insya Allah."

AM. Hafs

Suatu ketika, guruku berpesan, "Perhatikan terus bagaimana kualitas ibadahmu. Jika suatu ketika kamu merasakan begitu nikmatnya ibadah, pada saat itu ... mohonlah sebanyak-banyaknya agar nikmat itu dilanggengkan ke dalam hatimu." ~AM. Hafs

Gemerintik rintik. Mengalun bak tuts piano ditekan cantik, ciamik. Mengapa bosan? Sedang hujan saja tak bosan menyirami angan. Angan tentang renjana di malam sendu. Aku ... masih membingkai wajahmu, Rindu. Di kalbu, utuh dengan selengkung senyummu. -AM. Hafs

Kecewa itu pasti. Tapi jauh lebih baik untuk menata hati. Satu pelajaran yang bisa kuambil. Jangan menuntut penghargaan dari sebuah kebaikan. Namun, jangan sampai lupa memberi panghargaan untuk sebuah kebaikan. -AM. Hafs

PENDEKAR

"Gung, coba tengok hidupmu. Berapa banyak mereka yang masih ban putih suka berkelahi dan ban hitam malah lebih banyak diam," ujarku pada Agung yang masih memegangi pipinya yang lebam. ~AM. Hafs comot dengan perubahan dari tweet @iwan_madari

Dunia ini, adalah bagaimana cara memandangnya. ^^ Yang pasti semua rasa jangan sampai berlebihan. Berimbanglah. smile emotikon ~AM. Hafs

Quote pagi ini, "Kita adalah masing-masing. Tak perlu menjadi satu sama lain hanya untuk berjalan beriringan. " ~AM. Hafs ^^

Ketika diri sendiri mengatakan, "Sepertinya akan gagal." Itu artinya sudah gagal. Gagal membangun kepercayaan diri. ~AM. Hafs

Selamat malam diriku, sang pecandu perhatian! Sudah sekeras apa kamu menarik perhatian Tuhanmu hari ini?

Selamat malam diriku yang tengah risau sebab hilangnya sebuah nama. Apakah di sana terselip risau atas sedikitnya nama Tuhanmu yang kausebut?

Selamat malam diriku. Apakah masih merisaukan mimpi atau bekal mati yang tak mencukupi? -AM. Hafs

Semua dicuri kunang-kunang malam tadi. Di gigil kembar senja kini, yang tertinggal hanya puing-puing kenang. Berserak di antara renung akan sebuah masa, Di mana takdir terasa begitu bengis. Membiarkan tubuh yang ku-aku limbung di antara hujan tangis.

-AM. Hafs



Sekali lagi kuulangi, jangan pernah berhenti belajar menjadi orang baik. Meski dunia memusuhimu karena kebaikan tersebut. Karena pada saatnya nanti, kamu akan dipertemukan dengan banyak orang baik yang membuatmu kuat, berharga dan terharu. Seperti yang kualami hari ini. Berbuat baik agar memperoleh kepercayaan dan imbalan itu tidak sama dengan berbuat baik karena merasa sebagai muslim yang meneledani sosok uswatun chasanah. smile emotikon

Terima kasih kepada orang-orang baik yang kutemui hari ini. Semoga keberkahan hidup senantiasa menyelimuti.


AM. Hafs

Meniti Pagi

Aku berjalan seperti biasa. Melewati pagi bersama hiruk pikuknya. Mulai dari suara anak tetangga yang rewel. Menolak dimandikan. Lalu menyapa senyum bapak-bapak yang tengah berangkat kerja. Ada juga yang tengah menyiram bunga, semringah. Mbak-mbak yang tengah membuka toko baju. Hingga daun jambu yang melambai padaku.

Keluar dari jalan desa yang bertanah, aku menginjak aspal yang mulai mempersiapkan diri. Diterpa panas hujan dengan tabah setelah beristirahat malam tadi. Terkadang aku menduga, cekungan-cekungan air di badannya yang berongga bukanlah sebab hujan atau embun. Melainkan tangisannya, melihat bumi yang kian tua namun manusia malah semakin durjana. Jam tidur kian larut. Mengganggu istirahatnya.
Tengok saja, jaman dulu sebelum ada lampu. Ketika azan magrib berkumandang, hiruk pikuk sudah lengang. Anak kecil bersiap ke peraduan. Sekarang? Masih berkeliaran di sana sini. Atau tiduran sembari menonton telvisi. Sedikit sekali yang menyangklong tas, pergi ke surau dan mengaji.

Sampai di tengah jalan, kulihat awan mulai berarak. Memamerkan keindahan. Sayang, hanya segelintir yang memandang. Agaknya sudah mulai bosan, atau...  terlampau sibuk untuk sejenak mendongak. Lalu bersyukur karena mentari masih di timur.

Mendekati tempat kerja, aku melewati lapangan tua yang dikelilingi rumpun bambu penari. Terkadang berderik di siang hari. Aku ingat, sewaktu kecil tempat ini begitu seram. Tapi sekarang sudah lebih nyaman. Mungkin karena setan penunggunya telah pergi. Ia resah karena kelakuannya banyak diplagiasi manusia. Untung saja ia tak meminta royalti.

Aku keluar dari areal lapangan. Melintasi jembatan di atas sungai. Ia sudah berganti beton. Sebelumnya hanya susunan bambu. Namun bukannya bersyukur, manusia kian angkuh. Lihat saja, pembatas di pinggirnya telah tandas. Kiranya tangan manusia sungguh sama berbakatnya dalam hal membuat dan merusak.

Keluar dari jembatan, aku sampai di pemukiman padat penduduk. Baju-baju berjemur di kawat-kawat yang tertempel di tembok. Andai mereka bertulang, mungkin susah dikenakan. Karena tulangnya kuat, sebab hampir dua hari sekali tersinari mentari pagi dengan kandungan vitamin D-nya.

Setelah melalui jalan tikus yang berkelok-kelok seperti ucapan  munafik. Aku sampai di jalan besar. Dari jauh terlihat beberapa pedagang menggelar lapak dengan berbagai lagak. Bocah-bocah kecil mengerubungi. Menjajakan uang saku yang terkadang harus merengek terlebih dahulu, agar diberi lebih. Tanpa mereka tahu, bagaimana susahnya orang tua memeras tenaga mencarinya. Sampai-sampai salat disngkirkan hingga ke waktu paling ujung. Atau bahkan ditinggalkan. Ah entah.

Aku melangkah memasuki gerbang sambil menunduk. Memastikan kaki kananku yang terlebih dahulu masuk. Sembari mengucap basmalah. Semoga hari ini penuh hikmah dan barakah.

Aamiin.
AM. Hafs
Singosari, 17/03/2015

Tulisan ini dipublish juga di Lovrinz.com

Senin, 02 Maret 2015

Apa Kriteria Jodohmu? (Cerpen)

Apa Kriteria Jodohmu?

Sahabatku bercerita. Suatu waktu, di kantin pada jam istirahat ia bertanya pada kawan perempuannya, "Apa kriteria jodohmu?"

Perempuan yang ia temui beberapa bulan ini. Teman yang dipertemukan di tempat tes kerja, hingga akhirnya diterima di bagian yang sama. Keakraban yang timbul, membuat sahabatku jatuh hati. Sayang, ia tak pernah benar merasa siap untuk mengatakannya.

"Eh, kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Perempuan berjilbab itu menjadi kikuk.

"Enggak, cuma mau tahu aja." Sahabatku terkekeh. Berusaha mencairkan kegugupan yang ia ciptakan dan berharap perempuan itu tidak berpikir macam-macam. Mengingat karakter yang ia tunjukkan selama ini "slenge'an".

"Emmm, aku sih mimpinya punya suami hafidz."

Uhuk! Sahabatku meletakkan kembali segelas teh jeruk di genggaman ke atas meja. Mengambil sapu tangan dan mengelap lelehan di bibirnya.

"Eh? Kamu kenapa?"

"Enggak, gak papa lanjutin!" Sahabatku kembali terkekeh dan menggaruk hidung.

"Emm apa ya? Kayaknya yang penting satu itu. Lainnya menyesuaikan." Kini, Pipi perempuan seperempat abad memerah.

 "Kalau misal ada yang melamar, tapi  gak hafidz gimana?"

"Hemmm, ya boleh aja, asal agamanya lumayan dan lagi bacaan Al-Qurannya harus fasih. Biar bisa jadi pentashih hafalanku."

Uhuk! Kali ini sahabatku tersedak angin.

"Hafidzah to?"

Dia tersenyum, "Alhamdulillah."

Ia sosok yang terbuka dan ramah tapi tetap memegang batas. Risih bila disentuh pria dan juga tak pernah mau dibonceng lawan jenis. Sebab itu, sahabatku nyaman berteman dengannya.

"Pantesan."

"Eh, aku kok kayak lagi diprospek ya?"

Sahabatku tertawa, "Emang iya."

"Maksudnya?" Wajah polosnya penuh tanda tanya.

"Boleh gak kalau bulan depan aku melamarmu?"

Uhuk! Gantian, perempuan itu yang tersedak.

"Serius? Kok tiba-tiba?"

"Tiba-tiba gimana? Kita kan udah kenal selama ...." Sahabatku menghitung dengan jari, "lima bulan." Sahabatku terkekeh.

"Gimana ya?" Pertanyaan mengambang. Membuat jantung sahabatku berdegup kencang. "Boleh deh. Tapi keputusannya ada di Abi sama  Kakak laki-lakiku dan satu lagi, siap-siap dites bacaan qurannya." Perempuan itu tersenyum penuh makna. Dia pun sebenarnya menyimpan kagum. Sebab pernah tanpa sengaja mendapati lantunan ayat suci mengalir dari bibir sahabatku di musala kantor.

"Siap!" Sahabatku bersemangat.

Mereka pun berpisah ke ruang kerja masing-masing sembari menikmati hentakan jantung yang tak wajar.

Entah apa yang terjadi. Seminggu setelah kejadian itu, perempuan yang akhirnya oleh sahabatku disebut Nara, menjauhinya. Bila bertemu, hanya ada senyum disertai rasa canggung.

Ketika kusarankan untuk menelponnya, sahabatku menolak. "Biarkan dulu, mungkin dia ingin menenangkan pikirannya," tulisnya.

Namun ketika keadaan itu bertahan hingga tiga minggu, sahabatku akhirnya tak mampu menahan rindu.  Mulailah jemarinya mencari kontak Nara.

"Assalaa ...."

"Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab. Cobalah beberapa saat lagi." Suara dari seberang setelah bunyi tut terakhir.

Sahabatku mencoba lagi.

"Assalaamu'alaikum, ada apa, Mas?" Suara lembut meluruhkan hati sahabatku.

Dengan hati-hati sahabatku menjelaskan kegundahan dan isi pikirannya.

"Maaf, Mas. Nara hanya ingin menjaga hati. Agar tak terlalu berharap. Karna Nara tak tahu apa yang akan terjadi minggu depan. Nara harap, Mas mengerti."

Setelah sahabatku mengucap maaf dan beruluk salam, percakapan pun diakhiri. "Hah, seminggu lagi. Bismillah."

***

Hari yang ditunggu pun tiba ...

Sahabatku hadir bersama kedua orang tuanya. Ketika dikabari mengenai rencana lamaran, orang orang tuanya sangat bergembira. Mengingat umur sahabatku yang menginjak angka dua puluh tujuh. Lebih sehari.

Jum'at yang cerah untuk sebuah niat suci. Agaknya mentari turut semringah tapi tidak dengan Nara atau pun sahabatku. Keduanya was-was dan berhujan keringat. Padahal, embun saja masih menggantung di ujung daun.

Bapak dan Ibu Nara tak menyangka, kedatangan keluarga sahabatku begitu pagi. Untung saja, semua jamuan telah siap sebelum subuh. Karena Nara dan ibunya mempersiapkan semua sejak pukul 3 pagi.

Dengan sedikit gugup, sahabatku menengok jam tangan hitamnya. 07.15 seharusnya gigil di tubuhnya mulai hilang. Tapi yang ada malah sebaliknya. Melihat gelagat putranya, Ayah sahabatku pun memberi pesan, "Jangan gugup! Baca sholawat yang banyak. Nanti kalau sudah di dalam, tekuk kedua jempol kakimu."

Apa hubungannya gugup sama jempol kaki? Tapi sahabatku tak ambil pusing. Dituruti saja pesan ayahnya. Begitu menginjak kaki di halaman. Nampak kedua orang tua Nara dan kakak lelakinya tengah menunggu di beranda. Setelah saling beruluk salam dan berjabat tangan, rombongan sahabatku dipersilahkan masuk.

Baru saja sahabatku merebahkan punggung di kursi dan menenangkan hati, tak lupa juga menekuk jempol kaki, ibunya sudah memberi shock terapi, "Ayo, Le, sampaikan maksudmu ke Abinya Nara."

"Lho lha kok?"

"Ehem," ayah sahabatku berdehem.

Itu artinya tak ada jawaban lain selain harus meng'iya'kan perintah ibu.
Bukannya ... seharusnya Ayah yang ngomong? Batinnya. Terlihat Ayah, Ibu dan Kakak Nara tersenyum.

Nara yang mengamati dari balik kelambu turut berdebar-debar. Dari mulutnya terus menerus menggumamkan Al-Insyirah, berharap semuanya dimudahkan.

"Emm ..." Sahabatku membenarkan posisi duduknya yang tidak salah, "begini ... kedatangan saya dan orang tua kami kemari ..."

Belum sempat kalimatnya terselesaikan, abinya Nara memotong.
"Iya, kami sudah diberitahu Nara. Begini saja, kasihan Nak Mas terlihat gugup. Mending langsung ke Tesnya saja."

Kakaknya Nara menyodorkan sebuah mushaf al-Quran bersampul warna perak.

"Coba baca An-Nisa ayat 4."

Diterimanya mushaf tersebut dan mendekapnya. Setelah membaca syahadat, ta'awudz. dan basmalah, sahabatku memejamkan mata. Lalu dari bibirnya terlantun surat yang dimaksud dengan merdu.

Melihat hal tersebut, Nara hanya menganga. Menaruh telapak tangan kanannya di depan bibir. Tak menyangka jika ternyata sahabatku seorang hafidz. Sedang kedua orang tua nampak tersenyum puas. Tapi tidak dengan kakaknya, setelah bacaan sahabatku selesai, ia kembali memerintah, "At-taubah ayat 71"

Selesai dengan lancar dan disambut dengan perintah ketiga, "Surat An-Nuur!"

Nara tak bisa menyembunyikan kerisauannya. Sedang sahabatku mengambil nafas dalam. Namun ketika akan melantunkan surat, ia menundanya, "Maaf, ada air putih?"

Seketika tawa memecah ketegangan. Saking khusyuknya sampai tuan rumah lupa menyajikan minuman. Nara hadir ke tengah pasang keluarga. Ia tampak anggun dengan busana biru dan kerudung biru laut bermotif bung. Ayah sahabatku berujar, "Oh ini to yang namanya Nara, pantesan putraku ngebet minta dilamarkan."

Kembali tawa menggema.

"Monggo diminum." Ayah Nara mempersilakan.

Setelah meneguk teh hangat, suasana tegang menyelimuti. Sahabatku bersiap melantunkan kembali ayat suci. Kembali dibuka dengan syahadat, ta'awudz, dan kemudian basmalah.

"Suurotun an(g)zalnaahaa wa farodhnaahaa ... (sampai akhir ayat.) Shodaqallaahul'adziim."

"Subhanallaah."

Ibunya Nara terlihat berbisik. Sedang kakaknya pamit ke dalam.

"Ehem ... saya kagum dengan Nak Mas ini. Bacaan indah, Nara banyak cerita tentang akhlak Nak Mas. Tapi tak pernah cerita kalau Nak Mas ternyata seorang Hafidz. Tapi sebelumnya, kami memohon maaf." Ayah Nara mengambil nafas. Tampak sengaja memberi jeda, "Kami tidak bisa menerima lamaran Nak Mas."

Nara, Sahabatku dan kedua orangnya tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Tapi ...." Semua nampak menyimak dengan perasaan yang tak menentu.

"Kami akan dengan senang hati, seandainya Nak Mas mau melakukan akad sekarang juga."

Nara terkejut, begitu pula dengan Sahabatku dan kedua orang tuanya.

"lho lha itu anu." Sahabatku gelagapan, "Pak? Bawa uang buat mahar?" lanjutnya.

"Cuma bawa dua ratus ribu," bisiknya.

"Tenang, mahar bisa nyusul. Nomer sekian itu, yang penting Nak Mas bersedia atau tidak?"

Sahabatku mengusap-usap telinga, "Be-bersedia, Pak."

Kakaknya datang dengan beberapa tetangga sekitar sebagai saksi. Dan turut hadir pula Penghulu desa. Agaknya rencana ini telah dipersiapkan tanpa sepengetahuan Nara.

"Saya terima nikahnya Sabrina Raudhotul Jannah binti Haji Mas'ud Abdillah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar dua juta rupiah hutang."

"Sah?"

"Sah!" Serempak para saksi berteriak.

Sahabatku pun memulai kisahnya yang baru di buku yang baru. Karena tubuhku telah penuh oleh kisah semasa lajangnya. Tertanda : Buku Diary

Sekian. Sila baca tulisanku yang lain di www.Lovrinz.com atau www.shohibulgubug.blogspot.com makasih ^^

Malang, 02 Maret 2015
AM. Hafs

Anda pengunjung ke

Statistikku