Selasa, 22 Oktober 2019

Mahkota untuk Ibu

"Aku berangkat, Pak, Bu. Minta doanya. Semoga ilmu yang kuperoleh bisa manfaat dan selalu dalam naungan ridho Allah SWT."
Barangkali sebagian besar santri akan mendapat balasan berbagai pesan dan senyum. Namun, tidak bagi Mada. Sudah lima tahun ini ia hanya mendapati dua tulisan di batu nisan yang berdampingan.
Sudah enam tahun ini Mada tinggal di pesantren pamannya, Kyai Dalhar. Dengan terpaksa. Sebab pemuda dua puluh tahun itu awalnya enggan untuk masuk pesantren. Bahkan di bulan pertama, ia harus dipasung agar tidak mengamuk saat sakau karena obatnya habis.
...
"Maaf, anak Anda kami tangkap. Ia terbukti memakai obat-obatan terlarang."
Segerombolan orang berseragam polisi menjemput Mada di rumahnya. Orang tuanya syok. Ia memang cukup nakal, tapi tak pernah terbayang kalau ia akan sampai mencicipi barang haram itu.
"Bawa anak durhaka ini, Pak! Kami tidak ridho punya anak seperti dia! Mulai hari ini anggap kami sudah mati!"
Mada hanya tertunduk tanpa bisa bicara apa pun.
...
Kyai Dalhar, yang masih saudara jauh ibunya mendengar kejadian itu. Tanpa sepengetahuan orang tua Mada, menjemput Mada dari Kantor Polisi. Beliaulah yang menjamin dan mengusahakan agar Mada bisa menjalani rehabilitasi di Pesantren beliau. Orang tua Mada pun hanya tahu anaknya dipenjara.
"Nak, buyut-buyutmu dulu itu orang alim semua. Bagaimana bisa kamu jadi seperti ini?"
Jika saja yang bertanya seperti Bapak atau Ibu Mada, pasti tanpa ba-bi-bu ia akan menjawab, "Persetan! Hidupku tidak ada hubungannya dengan mereka!"
Namun, wajah teduh dan suara yang penuh wibawa Kyai Dalhar membuat Mada tidak bisa berkata-kata hanya tertunduk. Seolah ada hawa aneh dari dalam diri Kyai Dalhar. Apa ini yang disebut karisma? batin Mada.
"Sekarang begini. Semua terserah padamu. Mau tinggal di sini dengan mentaati segala aturan Pesantren dan menjalankan apa yang aku tugaskan atau kembali ke penjara?"
Bagi Mada yang sudah merasakan dinginnya sel penjara dan  tatapan mengerikan para tahanan malam sebelumnya, tanpa pikir panjang pun mengangguk. Setidaknya di sini aku tidak bertemu berandal-berandal seperti di Penjara, begitu benaknya. 

(Bersambung)

AM. Hafs
Malang, Hari Santri 2019

# sayakeluargacangkirpena #nulismawanitisharipertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku