Senin, 06 Oktober 2014

Secuil Rindu, Berderai Syukur

Dinda, langkah ketiga bulan Oktober. Tapi lakumu masih sendu. Ada apa gerangan? Apakah sedang merindu pada bebintang yang kesiangan, sama sepertiku? Jika iya, kenapa kita tak duduk berdua dan menantinya bersama, pagi ini? Kutunggu jawab senyummu di taman mimpi. Hadirlah sebelum bedug Jumat berbunyi.
Kanda, aku tak miliki rindu serupa rindumu, yang mendayu. Bukan pula menanti bintang kesiangan di ujung malam. Aku hanya tengah merenungi waktu. Betapa hitamku semakin pekat. Tidakkah Kanda tatap bulan separuh tadi malam? Seperti itulah kiranya dosaku dibanding amalku. Langit pekat berbanding bulan separuh. Bagaimana aku sempat merasakan rindu? Namun, jika memang rindu ... bisa jadi aku tengah merindu pada pengampunan. Agar segera langitku dijadikan-Nya fajar, lalu cerah membiru.
Kanda, mengenai pertemuan yang kau tawarkan. Aku tak sanggup penuhi. Karena tak mungkin rasanya bagiku untuk menjangkau mimpi indah, sedang hitamku masih belum berhenti menghantui. Baik di pejam atau sadarku.
Dinda, aku tak mampu berkata, lagi. Maaf, aku hanya mampu menerjemahkan kilat netramu. Tidak dengan isi kalbumu.
Dinda, aku tertunduk malu oleh semua renungmu. Hati ini terbutakan rindu, hingga tak mampu melihat sedemikian jauh. Hitamku pun pasti lebih luas dari hitammu. Namun ... aku yakin, pengampunan-Nya lebih luas dari langit dan seisinya.
Kanda, pengampunan-Nya memang luas, tapi tak lantas kita berleha, bukan? Jika tadi kau mengajakku ke taman mimpi, bagaimana jika kau temani saja sujudku pagi ini? Berdiri di sajadah yang tergelar di depanku. Menuntunku hingga salam dan bersama kita langitkan doa-doa, mengemis pengampunan-Nya?
Dinda, syukurku kepada-Nya atas hadirmu di hidupku. Linangan yang menganak sungai di pipi ini ... semoga menjadi saksi kelak kita di hari penentuan atas taubatku pada-Nya.
~AM. Hafs
Malang, 03 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku