Senin, 07 Maret 2016

Mimpi atau Relita?

Mimpi atau realita? Begitu judul sebuah give away di sebuah blog yang kuikuti. Kau tahu, beberapa hari ini aku 'sakau' kepada sebuah pertanyaan. Di dalam tempurung otakku, terasa ada sesuatu yang ingin keluar tapi tak ada jalan keluar. Dan pagi ini, setelah menelurkan beberapa artikel aku merasa lebih hidup. Itulah kenapa kemudian kata mutiara, "Menulis membuatku lebih hidup" kutempelkan di bagian bawah kanan blog ini.

Mimpi atau realita? Begitu mendapati pertanyaan ini, otakku segera bekerja. Menggali kemungkinan-kemungkinan. Menggali pengalaman yang kemudian lahir sebagai tulisan beriku, yang percayalah bahwa sebelumnya aku pun tak pernah memikirkannya. Seperti sebuah kejutan begitulah rasanya kaetika aku menemukan sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan.


Mimpi atau Realita?


Mimpi atau realita? Ah, hidup penuh sekali dengan pilihan. Bahkan ketika bernapas pun seeorang tak bisa lepas dari pilihan. ia bisa memilih membiarkan udara keluar masuk seperti biasa atau menarik dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat. But that's life and life is choice. Dalam keadaan tak memilih pun sebenarnya tengah memilih. Memilih untuk tak memilih. Hanya saja, yang patut dipahami adalah tentang konsekuensi yang akan dan harus kita terima dari setiap pilihan tersebut. Tentang pilihan, akan panjang jika diulas.

Kembali ke judul. Mimpi atau realita? Dua hal ini kalau dipaksakan untuk dipilih, keadaannya akan mirip dengan jika aku disuruh memilih ibu atau istri. Rumit. Kenapa tak didamaikan saja? Ambil jalan tengah, Biarkan keduanya saling mengisi. Biarkan keduanya saling memberi pelajaran hidup. Toh sudah banyak sekali bukti bagaimana akhirnya mimpi menjadi realita dan realita menjadi mimpi.


Adapun jika masih dipaksa untuk memilih, sebaiknya memakai kata prioritas. Sama seperti qoute dalam buku Gravity tulisan Rina Suryakusuma, "Waktu orang mengatakan padamu bahwa mereka sibuk, itu bukan mengacu pada jadwal mereka, melainkan pada urutan prioritas mereka." Maka, aku akan bilang 'memilih' mengutamakan ibu dibanding istri. Dalam artian, aku memilih mengutamakan mimpi dibanding realita.


Ibu kuibaratkan sabagai alam mimpi. Sedangkan waktu sembilan bulan dalam kandungan tak ubahnya seperti alam transisi. Ya, kita bertransisi dari alam impian ibu menuju ke dunia, realita. Lantas, saat telah di dunia, seseorang akan menikmati keindahan, kenyamanan dan pengajaran bersama mimpi, sebelum akhirnya menghabiskan waktu yang bisa jadi lebih banyak bersama realita -istri, for the rest of my life. Sedikit menguatkan, barangkali ada yangingat, bagaimana dulu sewaktu bocah, kita pernah hidup dala dunia khayalan -mimpi-.


Mimpi ibarat induk, peta jalan, tuntunan, yang dengannya realita menemukan jalur demi jalur, pencapaian demi pencapaian. Dan pada akhirnya, realita itu menjadi masa lalu, kenangan, juga rindu yang kerpa kita temui dalam mimpi. Well, keduanya berputar seperti roda. Jadi, masih mau memilih?


AM. Hafs

Singosari, 7 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku