Selasa, 05 Februari 2019

Yang Hitam Kelam pun Masih Bisa Memutih

"Kepalaku penuh."

"Sudahlah tenangkan diri dulu."

Kardi masih menunduk. Jari-jarinya meremas kepalanya kuat-kuat. Andai dengan tercabutnya rambut dan kulit kepala bisa membuat selesai masalah, ia pasti akan melakukannya sejak tadi.

"Sudah banyak kekacauan yang kubuat."

"Lalu? Sekarang apa maumu?"

"Entah. Yang kurasakan saat ini hanya rasa sakit di dada."

Semenjak dia pergi ke dukun lima tahun lalu, kehidupannya jadi tambah buruk. Mungkin orang lain yang melihat, Kardi itu hidupnya enak. Rumah besar, kehidupan mapan, toko bangunannya laris, istri cantik, anak-anak yang pintar. Tapi, di balik semua itu Kardi menderita sendiri.

Sri, bunga desa yang dipersuntingnya, ketika berada di hadapannya, gadis yang lebih muda lima tahun dari Kardi itu terlihat seperti boneka. Dia akan mematuhi semua perintah Kardi, apapun itu. Efek dari ajian babi goyang yang dia pelajari yang menuntut tumbal darah perawan setiap tahun, tepatnya di tanggal 17 Syuro. 

Karena efek penurutnya itu, selain seperti boneka, Kardi bercerita jika istrinya malah lebih mirip mayat hidup saat ini. Berjalan tanpa kehendak di hadapannya. Dan hal itu pula yang membuat hati Kardi ikut merasa getir dengan kepalsuan yang dimilikinya. 

Tentang darah perawan, tiap tahun Kardi akan berkeliling ke Germo-germo. Membeli perawan. Tapi bagaimanapun sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.

Kesialannya lainnya bermula seminggu yang lalu. Dia dibohongi oleh seorang Germo di Sarang Bunga. Kardi bercerita, malam itu Germo menawarkan Miyoko, perawan Jepang. Seorang wisatawan yang tersesat saat melakukan pendakian ke Merapi. Ia bertemu dengan salah satu anak buah germo. Alih-alih diselamatkan, Miyoko justru diculik dan dijadikan pelacur. 

Karena sudah akrab dengan si Germo, dia pun diberi hak istimewa untuk menjadi yang pertama membawa Miyoko. Dengan harga yang tidak murah tentunya. 

Malam itu, Miyoko didandani seperti peri hutan. Bibir yang tipis namun menggoda, mahkota dari bunga dan akar tumbuhan, rambut hitam dikepang turut memahkotai tubuh putih mulus, membuat Kardi tak berhenti menelan ludah. 

Ranjang yang akan menjadi altar pun sudah disiapkan dengan tema yang sama, hutan bunga belantara. 

Kardi masuk ke dalam kamar, bersiap melakukan ritual tahunannya. Sedangkan Miyoko, gadis petualang itu hanya bisa meratapi kesialannya. Air matanya sudah habis. Melihat kondisi itu, entah darimana, perasaan iba Kardi muncul. 

"Speak english?"

Miyoko yang sudah setengah telanjang hanya mengangguk. Kardi kemudian membisikkan niatnya tentang menebus Miyoko dan memulangkannya ke Jepang. Asal dia mau memuaskannya malam itu. Tak disangka, hal itu membuatnya tersenyum. Barangkali gadis itu berpikir setidaknya dia bisa pulang. 

Setelahnya, pergulatan kedua manusia beda negara itu pun dimulai. Tanpa cinta, hanya ada nafsu dan nafsu. Hingga tiba pada ritual terakhir, mengolesi patung ayam dengan darah perawan. 

Kardi melongok ke area terlarang Miyoko. Dan seketika itu pula, wajahnya memerah. Keringatnya berkucuran di dahi. Darah yang diharapkannya tidak nampak. Sedang Miyoko sudah terkulai lemas, tak berdaya. 

Kardi menduga, Miyoko bukan perawan. Dan kemudian terbukti dengan anggukan gadis jepang itu setelah Kardi menanyainya.

Patung ayam mulai berasap. Kardi kebingungan juga ketakutan. Sudah tidak sempat lagi untuk mencari pengganti. Ah, dia merasa benar-benar ceroboh saat itu. 
Dalam kebingungan dan ketakutannya, Kardi menjadi kalap, Miyoko diberinya bogem mentah, "Dasar Penipu!"
Darah segar keluar dari hidung Miyoko yang spontan saja berteriak. Miyoko keheranan sekaligus menangis ketakutan. Matanya seolah bertanya, apa salahku?

Mendengar teriakan Miyoko, bagian keamanan, bawahan Germo, mendobrak pintu. Kardi sudah bersiap dengan AK-47 yang telah dia siapkan di kopernya. Terjadilah malam itu suatu pembunuhan massal di tempat pelacuran Sarang Bunga. Termasuk Germo yang menjadi korban. Kardi lari ke hutan yang ada di belakang pelacuran. Patung ayam tadi sudah meledak, berasap, dan mengeluarkan ular-ular cobra yang terus-menerus mengejarnya. 

Akhirnya, di sini Kardi sekarang. Di dalam goa di bawah kaki Gunung Slamet, tempatku uzlah. Menyendiri dari hiruk pikuk dunia. Dia berlindung di tempatku dari ular-ular cobra yang siap menghisap darahnya kapan pun dia keluar dari goa. Dan juga dari kejaran polisi. 

Aku sebenarnya heran, bagaimana dia bisa tersesat ke tempatku dalam keadaan yang seharusnya sudah tidak mungkin lagi untuk bergerak. Baju dan celananya combang-camping, penuh lumpur, dan luka gores di sekujur tubuh. Hanya saja, yang kutahu takdir Tuhan tidak mengenal yang namanya kebetulan. Jika Dia berkehendak atas sesuatu, maka terjadilah.

Sudah seminggu dia di sini, duduk diam, sesekali sesenggukan menangisi masa lalunya. Tapi masih bisa makan. Kubiarkan saja ia berbuat semaunya sembari tersenyum geli. Kenapa kebanyakan manusia baru bisa meratapi kesalahannya dan kembali merasa berTuhan saat telah di ambang kematian. Tapi di sisi lain aku juga iri. Tuhan masih welas asih kepadanya. Dan juga kian kagum atas sifat-Nya itu. Ia memberi kesempatan buat Kardi yang begitu bejat untuk tetap hidup dan menyesali semuanya. Tapi ya sudahlah, aku tak ada urusan dengan hal itu. Tugasku saat ini menjadi wasilah dari sifat welas asih Tuhan. Membantunya bertaubat dari segala ilmu hitam yang dia miliki. Membuat lelaki paruh baya itu mampu melawan ilmu hitam yang sedang mengejarnya. Menuntunnya kembali ka jalan Ilahi. Soal urusannya dengan polisi, biar dia sendiri yang menyelesaikannya. 
.
AM. Hafs
Malang, 5/2/2019

#katahatiproduction #katahatichallenge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku