Senin, 01 Desember 2014

Hanya Celoteh Kecil, Cukup Dilirik Saja

Selamat datang Desember dan juga Safar. Pada bilangan ketujuh Safar aku pertama kali menangis. Tangisan yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya. Apakah karena ketakutan menghadapi dunia baru atau karena keluar dari zona nyaman rahim ibu? Entah. Yang jelas kini telah sampai pada putaran ke 23.

Di putaran ini, beberapa orang telah merengkuh mimpi. Sedang aku masih berkutat dengan segala keluh. Menatap hal-hal yang sebenarnya lebih baik diabaikan.

Ada yang bilang aku tengah mengepak sebagai kupu-kupu. Kupu-kupu macam apa? Yang kulihat masih bayang semu. Semua hitam yang melekat mengaburkan pandangan. Hingga kadang aku tersesat pada bunga semu dunia.
Hingga detik ini. Aku belum mampu merengkuh nikmatnya sujud. Yang seringnya hanya menempel di sajadah tanpa dibarengi kerendahan jiwa. Aku belum mampu menikmati doa, yang padanya terdapat besarnya kekuatan dalam bentuk kepasrahan. Bahkan terkadang, doa yang terkecap hanya sekadar gaya, agar dianggap "bisa".

Ah, bahkan aku tak tahu, harus bagaimana menutup celoteh tanpa makna ini. Haruskah kututup dedoa yang mengundang peng-aminan kawan-kawan maya? Memang baik, karena banyaknya yang mendoakan. Tapi seorang Ulama pernah berpetuah, padaku, "Sembunyikan doamu dari manusia. Tapi ceritakan saat doa itu terkabul."

Awalnya, aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa menceritakan doa yang terkabul? Apakah agar doa kita dianggap manjur? Ternyata bukan. Menceritakan tentang terkabulnya doa, agar orang lain tahu bahwa Ar-Razzaq benar-benar pemurah.

"Meyakini keterkabulan doa karena sebab kita berdoa adalah kesombongan. Maka dari itu, syukuri keterkabulan itu seraya membesit, terkabulnya doa adalah karena belas kasih Ar-Rahiim."

AM. Hafs merenung.
"Welcome Safar, Ahlan wa sahlan Desember."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku