Jumat, 17 April 2015

Ledakan Amarah Kak Awi di Surau Kami

Tak seperti biasanya. Kak Awi yang biasanya berwajah ceria, sejak langkah kanannya memasuki surau tatapannya tajam, tanpa senyum. Melihat kami yang sudah berkumpul di ruang salat, dengan suara tegas Kak Awi menyuruh kami berkumpul di ruang mengaji.

Beberapa teman kecil yang tak menyadari perubahan Kak Awi masih bertingkah seperti biasa. Mencandai dan mengajaknya bicara. Namun Kakak yang berumur 23 tahun itu hanya diam dengan sorot mata yang masih saja tajam.

Setelah aku dan selurih tema berkumpul, Kak Awi dengan nada tinggi memberi perintah, "Semuanya lekas duduk!"

Saat itulah, semuanya menyadari ada hal yang tidak beres. Seketika keadaan pun hening. Tak seperti biasanya yang santai.

Setelah uluk salam. Kak Awi mulai mengeluarkan kemarahannya,"Siapa yang nyuruh pulang pas Rabu kemarin?"
Semuanya tak ada yang berani menjawab.

"Saya tanya lagi, yang Rabu kemarin masuk, siapa saja? Jawab!" Nadanya kian meninggi.
Aku pun hanya bisa menunduk, sambil sesekali melirik teman-teman. Agaknya Rabu kemarin kelakuan kami keterlaluan.

"Kalian ini sebenarnya niat apa enggak ngaji di sini? Kalian ngaji cuma berapa jam sih? Dari habis magrib sampai selesai jamaah isya'. Cuma setengah jam!" Kak Awi mulai mengeluarkan pukulan-pukulan kata-kata.

"Masa iya, cuma sejam sudah bingung mau pulang? Mau ngapain sih di rumah? Nonton TV? Kalau nonton TV ya sana, sekalian gak usah ngaji."

Rizi yang biasanya punya banyak kata untuk menyel dan mendebat, kali ini tak berkutik. Teman-teman yang biasanya susah diatur, kali ini diam dan menunduk.

Setelah sedikit menenggak udara, Kak Awi melanjutkan petuahnya dengan nada lemah berrasa kecewa. 

"Kalian tahu, Rabu kemarin Kak Handi sama Kak Rosdi itu datang. Mereka menyempatkan waktu, melawan lelah, demi kalian. Tapi kalian malah apa?" Nadanya meninggi, "Bubar gak karuan! Semaunya sendiri. Mikir gak mereka berdua demi siapa? Apa demi kami yang ngajar kalian?" Teman-teman hanya menggeleng.

"Semua itu demi kalian! Biar kalian bisa ngaji. Apa kalian pikir kami main-main? Kalian itu tanggung jawab kami!

Seperti yang Pak Hadi pernah bilang. Lebih baik satu dua anak tapi niat, daripada banyak tapi ngelunjak.

Kak Awi peringatkan dari sekarang. Kalau gak ada pengumuman libur gak libur. Jangan sampai kejadian ini berulang! Paham?"

"Paham, Kak," jawab kami serentak.

"Satu lagi, jam ngaji mulai dari jamaah magrib sampai selesai jamaah isya. Selain hari Jumat. Kakak pernah ditegur Pak Hadi gara-gara kalian nongkrong di pinggir jalan. Jangan dikira, beliau tidak peduli. Beliau masih mengawasi kalian. Karena apa, beliau sayang kalian. Dan kalau ada apa-apa, kami yang ditegur duluan. Itulah kenapa Kak Awi bilang kita di sini gak main-main. Kuharap kalian paham.

Sebelum berangkat ngaji, usahakan niat. Juga doa keluar rumah. Biar setan yang ikut bisa berkurang. Sukur-sukur kalau bisa ilang. Paling tidak dengan berdoa, kita mengharap perlindungan Allah. Siap?"

"Iya, Kak."

"Ya sudah, sekarang kita mulai ngajinya. Tapi sebelum itu, teman kita ada yang berulang tahun. Mari kita rayakan dengan membaca shalawat Nabi. Lalu nanti, Firdan yang doa sekaligus salam perpisahan." Seketika, ketegangan pun mencair. Nasi kuning yang diantarkan oleh ibuku pun telah datang  bersamaan dengan senyum cerah kami dan perasaan haruku. Karena tak mengira, akan ada perayaan ini.

Itulah, kisah masa kecilku yang masih teringat. Sehari sebelum pindah kota. Kini aku berdiri di depan Surau yang sama dan masih sekokoh 10 tahun lalu.

AM. Hafs
Malang, 17 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku