Jumat, 18 September 2015

Jidat Penjual Sunnah

Entah kenapa, Hasbi melihat dahi-dahi mereka dengan tatapan lurus tanpa kedip. Bahkan mengikuti gerak mereka hingga menghilang dari balik pintu.
.
"Hasbi?" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya, yang terpaku ke arah pintu keluar.
.
Hanya isyarat telapak tangan yang kuterima darinya. Aku lantas melanjutkan makan siang, begitu juga lelaki paruh baya itu.
.
Seusai makan siang, sewaktu berjalan kembali ke pasar, aku bertanya, "Kenapa tatapanmu tadi?"
.
"Entah ...."
.
"Maksudmu entah?" Dahiku berkerut, "memang apa yang kali ini kau lihat?" kejarku.
.
"Penjual Sunnah."
.
"Di dahi mereka?"
.
"Iya ...." Dia lalu mengangkat bahunya dan berujar, "Tak perlu diseriusi."
.
Aku hanya menggaruk kepala. Bagaimana tak kutanggapi serius, sedang aku tahu siapa yang ia tatap. Salah seorang tetanggaku yang kerap kali menulis hadits-hadits di skun facebooknya.  Hadits tanpa matan, tanpa perawi. Hanya ada tulisan berawal sabda Rasulullah dan diakhiri bagikanlah agar mendapat pahala. Yang lebih parah lagi, tetangga itu tiap malam minggu bermain kartu denganku di pos ronda. Tak jarang sampai hilang subuh.
.
Mengingat semua itu, keringatku menderas. Dengan sedikit ragu aku bertanya, "Rin?"
.
"Iya?"
.
"Apa yang kau lihat dijidatku?"
.
"Sama sepertiku."
.
"Ahli surga?" Senyumku melebar. Mengingat ia adalah seorang lulusan pesantren yang terkenal sholeh. Tak pernah absen mengimami sholat lima waktu di masjid. Kecuali jika ada udzur syar'i.
.
"Bukan," jawabnya ringan.
.
"Eh? Lalu?"
.
"Ahli Neraka."
.
Tiba-tiba pandangku berkunang-kunang dan ... gelap. Sebelum kemudian terbangun dengan kondisi tergeletak di serambi masjid.
.
(Dikembangkan dari sebuah kisah sufi di masa lalu.)
AM. Hafs
Sgs, 18915

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku