Jumat, 18 September 2015

Secarik Pesan untuk Perempuan Perduku

Tepat satu bulan, beranjak dari usia kedua puluh empat. Ingin rasanya aku berkirim kata hati pada perempuan pertamaku, ibu.

Bu, kadangkala aku ingin sesekali kembali ke pangkuanmu. Bermanja di sana lalu menuntaskan seluruh keluhku. Tentang apapun. Tapi tak pernah bisa. Bahkan sejak kecil aku sudah terlalu takut untuk mengungkap isi hatiku padamu. Kecuali ketika aku benar-benar sudah merasa tak berdaya. Sebab, entah kenapa aku takut membuatmu terbebani. Sedang aku sendiri masih belum bisa keluar dari peran sebagai bebanmu.

Bu, kalau saja saat ini aku bisa bermanja di pangkuanmu, ingin sekali kutumpahkan segala resah dan rasa. Tentang hati, tentang impian, dan semuanya. Agar aku bisa memperoleh petuah keramatmu. Lebih-lebih soal perempuan yang kini tengah selimutiku.

Dari dulu, Bu. Dari dulu sekali, semenjak aku mulai mengenal cinta ... aku selalu takut jika sampai ketahuan olehmu. Maka dari itu, aku berusaha berjalan sendiri. Menjelajah nama demi nama. Hati demi hati. Belajar menyelami hati perempuan. Walau sejatinya aku tahu, yang paling mengerti perempuan adalah kaum mereka sendiri.

Ingin sekali aku bercerita tentang dua nama yang kini tengah mengisi hati. Barangkali engkau marah, Bu, ketika mendengar ini. Karena menganggap anakmu ini tengah mempermainkan hati perempuan. Tapi, sungguh, Bu. Atas namamu, aku tak berniat seperti itu. Apalagi aku punya adik, putri kesayanganmu. Hanya saja, entah kenapa, aku tak mampu memilih salah satu. Bahkan sepertinya aku lebih tega untuk tak memilih keduanya, Bu. Di sinilah aku merasa ... membutuhkan bantuanmu.

Tapi, dari watakmu, aku bisa menduga-duga. Barangkali nasehatmu akan seperti ini, "Selesaikan dulu tanggung jawab quranmu. Tanggung jawab terhadap masmu. Setelah itu baru berpikir tentang perempuan." Ta-tapi, Bu ... ketika membuat keduanya menunggu, aku merasa tak nyaman. Aku merasa berdosa atas dua hati ciptaan Rabbku.

Inginnya, hanya satu nama. Lalu aku tenggelam dalam satu doa, dalam satu cinta, selagi aku dan ia mengejar cita. Sedang, tetap saja aku tak mampu untuk menyakiti salah satu.

Bu, sebagai seorang perempuan yang paling mengertiku dan mengerti perempuan itu sendiri. Ingin sekali aku bisa meminta saranmu dari keramatnya lisanmu untuk memilihkan satu. Satu yang paling cocok dengan hatimu. Ya, hatimu ... bukan hati labilku ini, yang suka condong ke kanan dan ke kiri seenak hati.

Pada akhirnya aku cuma bisa berandai-andai sembari menahan sesak dan perih di ulu hati. Sebab dari dulu ... aku lebih sering ditolak. Kali ini, sekalinya ada yang menerima diri ini dengan segala kekurangan. Aku malah menghadapi situasi yang serba salah. Hingga akhirnya aku mencoba untuk pasrah. Meski yang terlihat seperti mematikan hati.

Bu, barangkali engkau berkenan hadir di mimpiku. Agar aku tak malu merealisasikan semua pengandaian tadi. Lalu engkau pilihkan satu nama untukku dan merangkul nama yang lain ke dalam pelukmu. Agar ia tak merasakan sakit sebagaimana sakit-sakit yang pernah aku rasakan di masa lalu, ketika mencintai. Bisakah, Bu?

Akhirnya, hanya mampu berharap. Semoga Penciptamu kabulkan rintih putramu yang belum sepenuhnya patuh ini, Bu. Aamiin

AM. Hafs
Sgs, 18915

1 komentar:

Anda pengunjung ke

Statistikku