Jumat, 13 Februari 2015

Kau, Senja yang Berkilau

Menulis. Semua orang mampu. Tapi tak banyak yang mau. Karena terlanjur merasa bahwa menulis adalah hal yang sulit. Dan lagi, seringnya terjebak kebingungan, "Apa yang hendak ditulis?". Padahal, jika mau merenung sebentar, banyak hal yang bisa ditulis. Karena yang namanya hikmah itu bertebaran di mana-mana. Mengutip sebuah quote, "Everyday may not be good, but there is something in every day.

Kuangkat pena dari kertas. Menaruhnya diantara bibir dan mulai merenung di depan hujan yang menari. Kegiatan rutin setiap sore semenjak dijadikan admin sebuah web literasi. Aku dituntut untuk memosting sehari satu tulisan. Bersyukur, hari ini dawai hujan yang mendayu menemani. Ketika memandang mendung, inspirasi itu hadir. Dengan segera kularikan pena ke atas diary usang, perekam momen, juga draft-draftku.

Kau, Senja yang Berkilau

Banyak yang mengira soreku tenggelam, kelam. Karena hadirnya mendung yang bersiul riang. Banyak yang mengira soreku tergigil, kaku. Karena dinginnya kesendirian menyelimuti hariku.
Padahal, aku masih bersinar, di antara dawai-dawai loncatan rintik, di atap gubug. Padahal, aku masih dipeluk kehangatan, senyum senja yang tak lekang. Walau tertutup jutaan tetes air langit.

Banyak yang heran, melihat senyumku masih terbit di antara bintang. Karena kebanyakan mereka sudah beselimut mimpi, menghalau hitamnya hidup. Banyak yang heran, melihatku masih tertawa renyah di terbitnya fajar. Karena kebanyakan mereka memandang fajar dengan bosan. Rutinitas tanpa henti yang terjalani setiap hari.

Suatu pagi, seorang karib memberanikan diri bersuara. Dari celah bibirnya terbit secarik tanya. "Apa rahasia cerahnya wajahmu? Sedang hari kita sama. Sama kelam dan hitamnya."

Tawa renyahku menyambut tanda tanyanya. Kuhirup aroma setangkai mawar mekar yang kusiram. Sedang dia masih memasang wajah kebingungan. Menanti tak sabar. "Begini, Kawan, yang membedakan kita hanyalah pandangan."

"Maksudmu?"

"Kalian menjalani hari masih dengan keterpaksaan. Sedang aku, telah naik setingkat lebih tinggi."

"Aku masih belum paham."

"Mudahnya, aku sudah menikmati keterpaksaan sebagai anugerah."

Dia terdiam. Aku kembali mengitari taman bersama hujan buatan dari slang air warna biru. Kami tenggelam pada pikiran masing-masing. Sesungguhnya, satu tingkat di atas keterpaksaan adalah cinta. Ya, cinta yang datang di kala senja terakhir. Yang menjadi saksiku atas sebuah janji. Kasih, itu adalah kau. Kau yang tengah menanti diri ini. Kau yang tiap kali menghadirkan kilau senja, ketika mataku terpejam menjelang malam. Tetap dan akan selalu berkilau, walau langit tampak mendung. Walau hujan menderas. Kau yang menghadirkan cerahnya harap, di fajar yang membara, membuatku  tertawa renyah. Itulah kau, seorang yang hadir di kilau senja. Dan pergi untuk kembali, meninggalkan renjana yang menggelikan.

AM. Hafs
13/02/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku