Selasa, 13 Januari 2015

Sholeh dan Cita-Cita Santrinya

“Siapa yang sudah niat dari rumah? Tunjuk tangan!” tanya Ustadz Sholeh pada santri-santrinya setelah membaca doa pembuka.

Hanya dua orang yang menunjuk tangan, dari sepuluh anak yang hadir.

“Kalian ini gimana? Udah berkali-kali diingatkan, masih saja sering lupa. Sekarang hari Jumat, kalian ingat waktunya apa?”

Hening, “Hafalan juz ‘amma, Mas.” Hanya Firman yang menyahut.

“Oke, waktunya hafalan. Siapa yang tadi sore belajar?”
Tak ada yang menjawab. Apa doaku buat mereka masih kurang ya? Sholeh membatin, mencoba mengoreksi diri sendiri. Dia menghela nafas. “Ya sudah, sekarang kita niat sama-sama. Bismillahirrahmaanirrahiim. Saya niat mencari ilmu, karena Allah ta’ala.”

“Mulai besok dihati-hati lagi. Kalian kalau dari rumah sudah niat, pas di sini itu bersemangat, gak kayak si Viki itu, malah tiduran. Ayo bangun, Vik! “

“Cerita saja, Mas! Abu Nawas!” pinta Faisal

“Cerita Abu Nawasnya sudah habis. Begini saja, Mas kepingin tahu cita-cita kalian! Dimulai dari …, Rendi?”

“Pemain sepak bola, Mas!”

“Pemain sepak bola? Sudah ikut sekolah sepak bola yang resmi?”

“Belum, Mas. Sama orang tua gak diikutkan.”

“Begini, cita-cita atau impian apapun itu dimulai dari niat. Termasuk juga sepak bola. Oke, kamu gak disekolahkan, terus nyerah gitu aja? Berapa kali latihan sepak bola sendiri dalam seminggu?”

“Emm cuma … gak tentu mas. Pokoknya main sama anak-anak pas sore.”

“Itu main, bukan latihan. Bedakan! Kalau latihan, kamu serius, misal lari 100 meter tiap hari selama sebulan. Bulan berikutnya, 200 meter. Untuk apa? Melatih stamina. Lha kalau mimpi sekadar mimpi tanpa usaha lha gimana? Gimana Rendi, siap?”

“Emm …,” Dia menunduk.

“Memang semuanya butuh usaha. Tapi … nantinya yang kalian dapat juga setara yang kalian usahakan, atau bahkan lebih. Aku ingat, dulu teman Mas ada cerita. Kalian tahu air minum kemasan? Berapa jumlah pabriknya sekarang?”

“Tahu, Mas. Banyak.”

“Ceritanya, ketika dulu dia menyampaikan ide untuk membuat air minum kemasan, dia diolok-olok oleh temannya. Temannya bilang kalau ide itu bakal sia-sia. Alasannya, di Indonesia ini tempatnya air, masak mau jual air? Tapi kita sebut saja Bapak A itu tetap dengan pendiriannya. Pada akhirnya, coba lihat sekarang, air kemasannya laku atau laku?”

“Laku!” jawab mereka serentak.

“Pabriknya juga besar-besar kan? Tahu apa rahasianya? Padahal kalau dipikir-pikir hampir tiap rumah di sini punya sumur kan? Air tinggal diambil pakai mesin pompa.”

Mereka hanya diam.

“Karena air yang dijual itu lain, ada yang tahu darimana?”

“Dari gunung, Mas.” Latif menjawab.

“Nah betul, jadi yang dijual airnya lebih jernih dan sehat. Kadar mineralnya juga sudah diukur. Bebas kuman dan praktis. Semua keunggulan itu yang menyebabkan produknya diterima. Lalu apa hubungannya dengan sepak bola, cita-cita dan mimpi? Dari cerita itu bisa kita ambil hikmah, bahwa untuk meraih impian kita butuh usaha ekstra keras. Mengambil air dari gunung usaha ekstra, bukan? Di samping itu, kita harus mempunyai ciri khas. Atau kelebihan yang berbeda dari orang kebanyakan. Seperti air gunung dan sumur tadi. Lha kalau dalam sepak bola gimana? Ya, kalau rata-rata orang berlatih sekali seminggu, kalian harus lebih banyak dari itu.”

“Tapi, ya capek, Mas,” keluh Agung.

“Ya memang harus capek. Mencari air ke gunung kan juga capek. Tapi hasil dari bercapek-capekan itu akhirnya mimpi dapat tercapai, faham?”

“Faham,” jawab mereka serentak.

AM. Hafs
10 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku