Jumat, 14 Maret 2014

Jangan Meludah, Nak...

Panas terik matahari tak cukup tangguh untuk membuat kebahagiaan ini luruh. Acara kopdar sebuah komunitas menulisku telah berjalan dengan lancar dan sukses. Semaraknya acara berasa lebih dengan hadirnya seorang tamu special, Ramaditya Adikara, penulis tunanetra yang telah menelurkan sebuah novel berjudul "Mata kedua".
***
Tak lama setelah acara usai, aku turut mengantarkan Mas Rama -begitu aku memanggilnya- menuju ke kediaman orang tua mbak Rina Rinz untuk menginap malam ini.
Matahari telah condong ke barat saat rombongan tiba di tempat. Tak menyiakan kesempatan, di sana aku bercengkerama dan membagi kisah lebih banyak dengan Mas Rama. Orangnya supel sekali, alhasil selama obrolan berlangsung dia yang lebih mendominasi, sedang aku hanya terkagum dengan wajahnya yang begitu ceria, seolah tanpa beban, padahal dia hanya mampu melihat hitam, buta dari lahir. Pantaslah jika Ia kini menjadi seorang motivator karena Ia seolah mampu menebar energi positif untuk orang di sekitarnya.
Di saat obrolan sedang asyik, Bianca, anak bungsu Mbak Rina keluar dari kamar. Ia merengek manja ke ibunya. Ketika Mbak Rina menenangkan Bianca, tiba-tiba saja Mas Rama tertawa, kami semua pun heran.
"Aku geli dan merasa lucu melihat segala tingkah anak-anak. Aku biasanya diompoli si Musa, ya gitu pengen ketawa. Karena mereka sebenarnya belum mengerti apa yang mereka lakukan."
Entah kenapa, kalimat itu terngiang-ngiang di media penyimpanan otak, hingga waktu mengantarkanku untuk pamit, berpisah dengan sosok yang penuh keceriaan itu. Bertemu dengannya sungguh mengubah hidupku, menambah rasa syukur dan semangat mengejar mimpi.
***
Beberapa bulan telah berlalu dari hari bersejarah dalam hidupku itu. Aku kini kembali menjalani rutinitas sebagai kepala keluarga, berkaruniakan seorang istri yang begitu menyayangiku, dan dilengkapi dengan seorang bocah laki-laki yang membuat isi rumah kian meriah.
Seperti biasa, sepulang kerja, jagoanku menyambut, Daud namanya. Dia lahir dari rahim istriku 3 tahun yang lalu. Wajahnya yang bulat dengan pipi tembem, sungguh menggemaskan, seperti pipi ibunya, hehe.
Daud memiliki tubuh yang lebih besar dari anak seusianya, lincah juga cerdas. Semoga saja itu berkah dari kecerdasan Nabi Daud as.
Menuju usia keempat, dia mulai memperlihatkan atau mungkin mempelajari sifat-sifat orang-orang di sekitarnya. Sering kasar ke ibunya, dan keras kepala, kemauannya harus dituruti, kalau tidak dia pasti mulai ngambek, marah, bahkan berani memukul, menendang dan jurus terakhirnya menangis. Ibunya yang menurutku penyabar pun mulai kewalahan.
Di hari Ahad. Seusai sarapan, aku menemaninya bermain. Kuajak ia bermain lempar bola di ruang tengah.
"Wah Daud gak bisa nangkap, Ayah menaang, yee!"
Istriku yang sedang membaca buku pun hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku menggoda si Daud.
"Enggak Yah, aku yang menang. Ayah kalah, iya kan Bu?" rengeknya.
Ibunya tersenyum, "Daud kalah, kan gak bisa nangkep?" Ucapnya dengan niat mengajarkan penilaian objektif.
"Enggak, pokoknya aku menang, tak lempar ke TV ini bolanya!"
Kami tercekat dengan reaksi tidak biasa itu.
"Darimana dia belajar mengancam seperti itu?" tanyaku membatin.
"Eh Daud kok gitu sekarang ya?"
Kudatangi dia, ingin mengambil bola sekaligus  berharap bisa menenangkannya.
"Ayo... sini bolanya," kataku meminta dengan lembut.
"Gak mau!"
Dan di saat aku telah mendekat, dia meludah. Seketika aku kaget. Ingin memarahinya, namun aku kembali teringat kata-kata Mas Rama beberapa bulan yang lalu.
Akhirnya luruhlah emosi tadi. Dengan tenang kuusap ludah tadi dengan kain lusuh dan tersenyum geli.
"Daud, sini nak, Ayah tunjukin sesuatu."
Segera kusambar tablet, lalu menunjukkan padanya. Ia pun mulai mendekat. Duduk anteng di pangkuanku sambil tetap memegang bola.
Jemari ini lincah merayapi jendela internet, bermaksud mencari gambar wajah anak-anak dengan bibir sumbing.
Sejenak kulirik Daud. Bocah polos itu nampak serius mengamati layar tablet.
"Lihat bibirnya, Daud mau seperti itu?" Tanyaku.
"Nggak Yah."
"Makanya Daud jangan meludahi orang ya? Kata Kakek ayah dulu, orang yang suka meludah bibirnya bisa seperti itu."
"Jadi itu karena meludah Yah?" tanyanya polos.
Aku kebingungan, tak mengira mendapat pertanyaan seperti itu. Aku memang tidak berbohong soal cerita dari kakek, tapi kalau dulu kakekku bilang begitu aku hanya manggut-manggut.
Meski sekarang aku tahu jika bibir sumbing bukan akibat suka meludahi orang, tapi aku mengganggap semua perkataan kakek hanya sebagai pelajaran. Namun kini aku berpikir, jika hal yang sama kulakukan, apa tidak berarti aku mengajarkan kebohongan?
Mengetahui gelagat kebingungan itu, Istriku yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.
"Bukan sayang, kalau bibir mereka itu karena memang cacat dari lahir. Tapi bibir Daud bisa jadi seperti itu kalau Daud nakal suka meludah. Soalnya dihukum sama Allah, Daud mau dihukum?"
"Enggak Bu." jawabnya dengan nada memelas.
"Nah sekarang Daud gak boleh gitu lagi ya?" tambahku.
"Iya Ayah."
Kucium pipi tembemnya. Dan juga pipi istriku tercinta secara tiba-tiba.
"Eh nyuri kesempatan?" protes manja istriku sembari memukulkan bukunya pelan ke pundakku.
"Ibu nakal, kalau mukulan nanti tangannya sumbing lho!" celoteh Daud tiba-tiba.
Kami kembali tercengang dan berpelukan.
"Jaga dan tuntun mereka Ya Rabb," doaku dalam hati.
Tamat
AM. Hafs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku