Kamis, 13 Maret 2014

Ujian Sekolah

Siswa-siswi mulai memasuki ruang ujian dengan tertib dan rapi, tak berapa lama setelah bel berbunyi.
Satu persatu Guru pengawas pun masuk ke ruang ujian, sesuai dengan jadwal yang tertempel di papan pengumuman seminggu yang lalu.
Tidak seperti saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) biasa, tak ada suara riuh, gaduh. Suasana sekolah ketika ujian hampir selalu sunyi.
***
Hari ini jadwalku mengawas di ruang 1. Suara koor dari salam peserta ujian menyambut langkah pertamaku melaksanakan tugas kali ini.
Kabut masih bergelayut, suasana khas desa kami yang terletak di kaki gunung. Hawa dingin turut mensukseskan kebekuan suasana. Terlihat dari gurat-gurat ketegangan yang terlukis jelas di wajah para peserta ujian.
"Haruskah tiap ujian dihadapi dengan ketegangan dan ketakutan? Apa tidak ada cara agar mereka bisa enjoy dengan ujian?" Tanyaku dalam hati.
Seusai mereka membaca doa, satu persatu lembar jawaban kubagi. Dimulai dari nomor urut paling kecil yang terletak di sebelah pintu masuk. Aturan itu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Setelah terbagi semua, aku mulai duduk manis di tempat mengawas, tepat di depan kelas. Aku mengamati satu per satu wajah dan tingkah mereka. Ada yang melamun, ada yang serius mengerjakan, ada pula yang seperti orang sakit bisul, tidak bisa duduk dengan tenang, ada pula yang tidur, mengherankan.
Di antara tingkah para siswa, ada satu yang membuat aku kegelian, dan ingin tertawa. Satu siswa yang terus memandangiku, dan mulai bergerilya meminta contekkan pada temannya saat aku lengah. Padahal seberapa pun aku 'dianggap' lengah, itu sebenarnya sedang pura-pura tidak tahu. Dia sengaja kubiarkan hingga benar-benar bertindak keterlaluan. Di saat itulah aku tercekat, mengingat dan mulai berpikir,
"Apa mungkin guruku dulu juga melakukan hal yang sama? Pura-pura tidak tahu saat aku meminta contekkan?"
Rasanya benar-benar malu, lucu mengingat itu semua. Dan sekarang, saat aku duduk di depan mereka, siswaku. Aku bertekad agar dosa masa lalu tak boleh dilanjutkan oleh mereka. Cukup aku saja yang pernah melakukan kecurangan yang memalukan itu. Generasi penerusku harus lebih baik, harapku.
Mungkin banyak yang akan meragukan niatku, karena contek mencontek seolah sudah menjadi budaya. Namun dengan banyaknya peragu, bukan berarti tidak bisa kan? Sama seperti perjalanan ke bulan, tak terhitung banyaknya yang meragukan tapi terwujud kan?
Dengan niat itu aku menemukan cara menjaga kejujuran mereka, cara yang 'sementara' ini hanya efektif saat pengawas berada di dalam ruang.
Kusiapkan sebuah kertas dan pensil, lalu mulai memandangi satu per satu wajah mereka. Saat ada yang ketahuan sedang meminta jawaban langsung kucatat dalam kertas itu. Siswa lain yang tahu tentang hal itu pun akhirnya takut dan tidak berani memberi jawaban.
"Sementara hanya ini yang bisa kulakukan untuk kalian. Suatu hari pasti akan kutemukan, sebuah metide yang bisa menumbuhkan kejujuran mekar di hati kalian," tekadku di minggu pertama bertugas di sekolah ini.
AM. Hafs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku