Kamis, 20 Februari 2014

Gempar! Lagi-lagi Hantu Pocong (Cerpen)

Purnama kali ini tak seindah kemarin. Tepat di malam jumat keramat. Mencekam dengan angin sekarat. Karena sebuah desas-desus, yang telah membuat bulu kuduk warga desa Arto Singup berdiri dan nyali menciut.

Semua bermula dari tiga hari yang lalu. Seorang pemuda yatim piatu yang menjadi marbot Masjid, meninggal dunia karena terpeleset saat akan berwudhu. Naas, kepalanya membentur ujung lancip tembok dan mengakibatkan pendarahan hebat. Dengan kekuatan penuh, roda ambulance berlari sekencang mungkin membawanya ke UGD terdekat. Malang tak bisa ditawar, terlalu banyak darah yang keluar. Alhasil, nyawanya tak lagi tertolong. Banyak yang menyayangkan kejadian tersebut. Di samping usia yang belum genap tiga puluh tahun, juga karena pemuda dengan kulit hitam manis ini alim, rajin beribadah, santun, jujur dan sederhana.

Yang paling mengejutkan, diisukan bahwa arwahnya gentayangan. Sehari berselang setelah pemakaman. Ada kabar yang berlompatan dari mulut ke mulut, menceritakan jika sekelompok pemuda desa yang suka mabuk, didatangi oleh Hantu Pocong pada saat mereka sedang berpesta menenggak minuman keras. Mereka merayakan kematian pemuda Alim yang terkenal dengan panggilan Sholeh itu. Ada yang melihat wajah hantu pocong itu mirip dengan Sholeh sebelum mereka lari tunggang langgang.

Sudah banyak yang tahu, jika Sholeh seakan menjadi musuh bebuyutan para pemuda 'wrong way' itu. Karena selama ini Sholehlah yang selalu menentang kebiasaan buruk mereka. Sehingga hal tersebut semakin menguatkan kabar yang beredar.

"Brot, seng genah koen, mosok Sholeh dadi pocong? ketok-ketok koen paling, kakean milur awakmu! -- Brot yang benar kamu, masak Sholeh jadi pocong? palingan kamu salah lihat, kebanyakan mabuk kamu!--" kata Pak RT mengklarifikasi kabar.
"Temenan Pak! gak goro aku, aku ndelok ambe mripatku dewe, drung kubam seh an. Wong pas iku lho botol e drung dibuka. --Beneran Pak! aku lihat dengan mata kepala sendiri, waktu itu belum mabuk, orang botolnya saja belum dibuka.--" Cerita si Obrot penuh keyakinan.

"Halah mbanyol koen, ora percoyo aku, wong Sholeh alim koyok ngono. Gak kirane ta dadi medi. --Halah, Melucu kamu. Aku tidak percaya. Sholeh itu alim. Gak mungkin jadi hantu.--"
"Yowes lek Pak RT gak percoyo, wong seng ndelok guduk aku tok, ono Uprit ambe Kombet seng weruh pisan.--Ya sudah kalau Pak RT tidak percaya, yang lihat itu bukan cuma aku saja, tapi juga Uprit sama Kombet.--"

Begitulah percakapan di sebuah warung kopi yang mengawali sebuah berita menakutkan. Keadaan desa pun mencekam seiring dengan adanya beberapa pemuda berandal lain yang mengaku melihat penampakan serupa.

Purnama benar-benar menjadi sunyi. Tak tampak hiruk pikuk bocah-bocah dengan aneka permainan tradisionalnya. Begitu juga para orang tua, hampir tak ada yang berani keluar rumah setelah maghrib. Menjadikan desa mereka seperti desa mati. Bahkan, sudah dua hari kemarin jamaah maghrib, Isya' dan subuh di Masjid, hanya diikuti oleh dua orang. Pak Modin sebagai imam dan muadzin makmumnya.

Malam ini adalah malam ketiga. Seusai menjalankan jamaah maghrib. Pak Modin berbincang di tempat khusus takmir dengan Paidi, sang muadzin abadi Masjid.

"Gimana orang-orang ini Di? masak gara-gara berita yang tidak jelas sumbernya jadi ketakutan. Sampai-sampai Masjidnya sepi tidak ada yang berjamaah, mengherankan." Keluh Pak Modin memulai percakapan.

"Katanya sudah banyak yang melihat hal itu Pak," cerita Paidi.

"Kamu juga sudah melihatnya?" selidik pak Modin

"Ya... tidak Pak."

Obrolan berlanjut tak hanya soal pocong, tapi juga hal-hal lain yang berhubungan dengan pengelolaan Masjid dan kabar warga. Tanpa terasa obrolan tersebut mengantar mereka hingga menginjak waktu isya. Mereka pun segera mendirikan Sholat Isya, dan lagi lagi hanya berdua.
Seusai sholat isya, mereka berjalan keluar dari masjid sambil melanjutkan perbincangan yang tadi sempat terputus. Sesampainya di beranda masjid, tiba-tiba terdengar suara memanggil.

"Diiin... Modiiin..."

Pak Modin tersentak, seketika melihat ke depan setelah sebelumnya berjalan sambil menatap Paidi yang ada disampingnya. Dan apa yang kali ini didapati oleh matanya sungguh membuat sport jantung. Paidi yang juga ikut menatap sesosok di depannya langsung dibuat syok.

"Po... po... po," Paidi tergagap. "pocooooong!!!" sekonyong-koyong Paidi berlari masuk ke dalam Masjid. Terpeleset karpet menggelundung dan berdiri lagi kemudian berlari menuju ke ruang takmir. Bersembunyi di kolong meja dengan berselimut sajadah.

Di tempat lain pak Modin masih berdiri mematung, tertegun. Matanya masih terpaku ketika makhluk yang berwajah mirip Sholeh itu menyapanya kembali.

""Din... Modin! Lali ta?? --Din... Modin! Lupa ya?" sapa si Pocong dengan ekspresi lucu dan lugu.
Merasa ada yang aneh, Pak Modin menatap dengan seksama, sepertinya dia mengenali wajah itu.
"Masya Allah...Alimin!" ucap pak Modin

Si Pocong kaget dan bergumam, "Kenapa identitasnya bisa diketahui?" padahal ia berpikir, dengan menakuti Pak Modin bisa menambah efek jera dan takut ke pemuda berandalan. Akhirnya, Ia pun melepas atribut. Benar saja, dia Alimin, saudara kembar dari Sholeh yang selama ini tinggal di kota. Hanya pak Modin sekeluarga yang tahu tentang ini. Karena beliau adalah paman mereka. Sengaja waktu menghadiri pemakaman Adiknya kemarin Alimin memakai kumis palsu untuk menyembunyikan identitas.

"Kok Pakdhe bisa tahu?"

"Tahi lalat di pipi kirimu itu yang memberi tahu bapak," jelas Pak Modin, "kenapa kamu lakukan ini Min?"

"Saya cuma ingin memberi pelajaran pemuda pemabuk di desa ini Pakdhe, Saya geram dengan kelakuan mereka,"

Alimin, meski jarang berkunjung ke desa, dia adalah tempat curhat Sholeh, melalui hanphone pemberiannya setahun yang lalu, mereka berkomunikasi secara 'intens'. Sehingga Ia sangat tahu dengan situasi yang dialami adiknya. Hal itu juga yang membuatnya ingin membalas dendam atas perlakuan para pemuda brandal kepada adiknya di masa lalu. Perlu diketahui, yang membedakan diantara keduanya hanyalah letak tahi lalat mereka. Alimin di pipi kiri, Sedangkan Sholeh di Pipi kanan.

"Alimiin... Alimin... aku tahu maksudmu ini baik, tapi lihat dampaknya, tidak cuma pemuda berandal itu yang takut, tapi warga desa juga. Selain itu, nama baik adikmu juga tercemar. Lain kali berpikirlah sebelum bertindak," kata Pak Modin menasehati dengan tegas.
Alimin hanya menunduk menyesali perbuatannya.

AM. Hafs
31122013

2 komentar:

  1. wah, ane kira pocongan beneran, ga taunya cuma buat nakut-nakutin, hehehe

    BalasHapus
  2. ehehe ... Iya gan .. Thanks For reading :D

    BalasHapus

Anda pengunjung ke

Statistikku