Selasa, 25 Februari 2014

Berbincang dengan pagi (Awal mula nama Malaikat Kecil tersemat di hati)

Pagi yang mulai menua, pernahkah kau merasa cemburu? Pada Siang, Sore, atau Malam? Cemburu pada Siang yang menjadi tempat lelah beristirahat, pada Senja Sore yang indah, atau pada Malam yang sepertiganya istimewa?
Cemburu yang membuat hawamu tak lagi dingin sebagaimana biasa, panas menggelora. Pernahkah? Sepertinya tidak, karena dinginmu tak pernah bolos gigilkan tubuhku.

Pagi, apa rahasiamu hingga kau begitu tenang, suci tanpa iri dengki dan tetap patuh mendinginkan raga. Bisakah kau bagi? Padaku, pencemburu ini?
Pagi, ijinkan kulanjut berkeluh, tahukah? Seharusnya di sejukmu aku punya semangat lebih. Tapi aku lesu nan lusuh. Hatiku serasa terbakar, dadaku sesak ingin teriak.

Aku tahu cemburu ini menggambarkan hatiku yang egois dan picik. Namun, apalah daya, hati tak bisa di bohongi. Ada sesak yang menyeruak saat melihatnya mendapat dukungan dari pria lain. Sedang aku hanya mampu memandangnya tanpa kata. Padahal aku juga ingin lakukan hal yang sama, untuknya.

Pagi, seringnya aku khawatir, perhatian dari orang lain akan menjauhkannya dariku. Sungguh aku masih belum benar-benar bisa menaklukkan rasa takut dari bayang-bayang kehilangannya.

Pagi, dari tadi aku hanya bilang dia, dia, dia. Tidakkah kau ingin tahu siapa dia? Dia... Malaikat Kecilku, motivatorku, dan hidupku berubah karena supportnya. Dia sosok dewasa di usia belia. Semula aku ragu menyebutnya begitu, serasa agak berlebihan. Namun ada suatu kejadian yang apabila otak ini masih normal, takkan mungkin aku lupakan. Suatu hari dia menangis terseduh. Sebagaimana umumnya wanita, saat aku bertanya, "Kenapa?"

Ia hanya menjawab, "Gak papa."

Namun aku tahu, yang terjadi sebaliknya. Saat itu aku tak henti membujuknya, kuulas senyum untuk menguatkan, meski hati ini keluh melihat tangis seduh itu. Setelah tenang mulai menyambut hatinya, mulailah ia bercerita. Berkeluh tentang seseorang yang menyakiti dan menyebutnya "Setan Kecil."

Aku tersenyum tenang, lalu berkata, "Tak peduli jika seluruh dunia panggilmu Setan Kecil. Karena bagiku, kau adalah Malaikat Kecilku."

Bukan sebuah kata gombal atau rayuan, karena memang hadirnyalah yang menjadi sebab hidupku berubah. Seseorang yang membaca hal ini pasti menautkan alis, heran dan menganggap alasanku berubah itu salah. apa kau juga begitu, Pagi?

Jika 'dilihat' salah, mungkin memang salah, karena seharusnya aku berubah karena Allah ta'ala bukan karena lainnya. Namun tunggu dulu, janganlah tergesa menghukumi aku seperti itu. Dengarkan sejenak penuturanku.

Pagi, aku menganggap dia sebagai perantara-Nya, yang diutus masuk kedalam hidupku, menunjukkan jalan-Nya padaku? Pagi, sekarang masihkah aku 'terlihat' salah? Semoga sebaliknya, pun yang membaca ini tersenyum setuju, termasuk Malaikat Kecilku.

Pagi... dengan semua keluh tadi, bisakah kau rasakan besarnya rasa sayangku padanya? Dan rasa takut akan kehilangannya? Ya, Begitulah adanya. Namun tak kupungkiri, rasa itu salah, cemburuan itu salah, juga rasa takut itu salah. Karena rasa tak punya tempat selagi belum terucap akad. Cemburuan itu salah karena aku belum sah milikinya sebagai amanah. Begitu juga rasa takut itu, salah. Karena takdir terbaik ada di tangan-Nya, Allah SWT.

Pagi, terima kasih telah menampung perih. Sekarang hati ini telah berangsur tenang lagi. Kupastikan, saat Malaikat Kecilku membaca ini, rasa cemburu telah pergi. Karena semua hal itu tlah tercurah nan terobati. Selain itu, karena rasa cemburu itu terkalahkan oleh rasa percayaku padanya. Aku yakin, dia mampu menjaga diri dan hati.

Pagi, saat ini, selagi Ia menjaga semuanya, aku ingin berikhtiar memperbaiki diri. Menjadi lebih dan lebih baik lagi. Berserah pada alunan takdir-Nya yang kuyakin indah. Karena, jika Allah menakdirkan hal terbaik bagi kami adalah bersatu dalam ikatan suci, maka tak mungkin ada yang mampu menghalangi. Bersama hingga renta menyapa, dan semoga abadi di surga-Nya. Aku mempercayai, Kuasa-Nya adalah sebagaimana penggalan firman-Nya, "Jadilah, maka jadilah."

Pagi, terima kasih lagi telah mengiringi inspirasi. Sebuah harap penuh tekad terucap,
"Pagi, aku tak ingin kalah darimu yang menyejukkan siapa saja tanpa pandang bulu."

AM. Hafs
Edisi berbincang pada Alam.

1 komentar:

Anda pengunjung ke

Statistikku