Angan yang Mewujud

Antara menanti atau hanya akan berakhir sebagai mimpi. Itulah yang aku rasakan saat mendengar kata kuliah. Di tahun ini, 2017, akhirnya aku ditakdirkan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al Hikam. Sebelum akhirnya benar-benar masuk ke kampus ini. Aku hanya bisa berswafoto di depan papan nama lembaga ini. Semenjak itu, hatiku serasa tertaut kuat bahwa suatu hari aku akan menuntut ilmu di sini. Padahal, waktu itu aku sedang disibukkan persiapan pernikahan. Di sisi lain, pekerjaanku yang seminggu penuh menjadikan keinginan itu kian terasa mustahil. Its like a mission impossible.
Drama masuk perkuliahan ini cukup menegangkan. Bagaimana tidak, untuk pada akhirnya memilih kuliah, aku harus mengorbankan pekerjaan. Apalagi posisiku sebagai kepala rumah tangga yang punya kewajiban menafkahi anak orang. Tentu bukan perkara mudah untuk kemudian benar-benar memutuskan mundur dan melanjutkan pendidikan.

Butuh lebih dari sebulan perenungan dan pengendapan. Tak lupa juga diskusi kecil yang kian rutin, sampai pada datangnya informasi bahwa gelombang III masih dibuka. Setelah mantap untuk mendaftar, tidak lantas menjadikan semuanya mulus. Masalah resign cukup membuat ketar-ketir dan dag dig dug. Sebab prosesku sedikit menyalahi etika dunia kerja.

Proses pengunduran diri yang seyogyanya harus diajukan sebulan sebelum berhenti, hanya kutempuh selama 3 hari. tepat pada tanggal 2 September aku mengirim surat, lalu dua hari kemudian aku dipanggil dan menghadap. Untunglah, semua berjalan dengan lancar, dan aku bisa berpamitan dengan baik-baik. Walau pada hari pertama pengajuan itu, Ibu Manager sempat meneleponku dan berbicara dengan sedikit keras, kecewa, campur kaget. Mengingat beberapa hari sebelumnya, aku baru saja menjualkan dua unit rumah. 

Selesai dengan para bos, aku dihadapkan pada orang tua. Karena aku menyembunyikan proses pendaftaranku kepada mereka. Mungkin cerita tentang orang tua dan lanjutannya di tulisan selanjutnya.