Selasa, 12 Februari 2019

Kekuasaan, Buku, dan Perang Ideologi

Dua pekan lalu, mataku tertuju pada sebuah giveaway buku yang diadakan oleh @dialektikabook, sebuah toko buku yang ada di kota Makassar. Pada gelaran giveaway yang disebarkan melalui story akun toko buku itu tercantum redaksi kurang lebih seperti ini, “Sebelum dirazia, kami mau bagi-bagi buku.” Aku belum paham pada awalnya, tapi setelah membaca beberapa postingan pegiat literasi yang kuikuti di akun Instagram, barulah aku mengerti. Penyebabnya berasal dari wacana kontroversial Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang hendak merazia buku-buku yang dianggap berisi gagasan komunisme.

Keterkejutanku bertambah tatkala melihat razia tersebut benar terjadi di Kediri dan Padang pada hari Selasa (8/1) seperti diberitakan detik.com. Buku-buku yang dirampas di antaranya berjudul Kronik 65, Anak-anak Revolusi, Jas Merah serta Mengincar Bung Besar.

Perasaan geramku bangkit dan menuntunku pada diskusi panjang lewat daring dengan seorang sahabat yang merupakan pegiat literasi sekaligus anggota TNI AD yang bertugas di Sulawesi. Aku menanyakan pendapatnya tentang razia tersebut. Dia pun mengemukakan, “Razia itu lucu. Apa salahnya buku? Bahkan ada buku tentang presiden yang dianggap berbahaya. Si pemberi perintah itu terkesan berlebihan mencari sensasi dan sepertinya dia butuh banyak baca buku lagi. Ini sudah zaman reformasi, otak dituntut beradaptasi. Maklum saja, masih banyak TNI yang masih kaku dan belum beranjak dari masa orde baru. Di perpustakaan yang baru kubentuk di sini malah aku memajang buku-buku yang katanya berhaluan kiri termasuk pemikiran-pemikiran Karl Marx. Intinya, aku sangat tidak setuju dengan razia itu,” paparnya dengan berapi-api. Dia seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua anggota TNI setuju terhadap razia itu. Aku pun sepakat dengan pendapatnya. Meskipun awam hukum, razia yang miskin landasan ini membuatku berpikir bahwa kebebasan berekspresi di negara ini mulai dipertanyakan.

Alih-alih merazia buku, pemerintah seharusnya perlu membuat program pembangunan literasi. Bukan hanya soal mengangkat minat baca, tapi juga berkaitan dengan bagaimana proses kreatif menulis, penerbitan buku,  pembangunan ruang-ruang baca, dan peningkatan minat baca masyarakat.

Urgensi pengadaan program pembangunan literasi adalah agar masyarakat punya benteng untuk menghadapi ideologi dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan Pancasila. Sebab kegiatan membaca adalah budaya menelaah, mencari tahu, yang membuat seseorang bisa berlaku kritis dan ilmiah. Terutama dalam menentukan status sebuah informasi. Masyarakat juga akan mempunyai daya untuk melawan sebuah ideologi melalui media yang sama, buku.

Jika melawan buku yang mengandung sebuah ideologi hanya dengan merazia, itu tak ubahnya seperti memotong saluran air yang bocor. Bukan malah kebocoran itu tertutup, namun malah membiarkannya mengalir deras. Bagaimana tidak, semua kegiatan razia yang menimbulkan sensasi itu akan membuka kran penasaran masyarakat. Mereka yang sebelumnya tak tahu judul buku-buku kiri jadi tahu, ditambah dengan mudahnya akses internet, tak menutup kemungkinan jika buku kiri dalam bentuk elektronik sudah tersebar luas di situs-situs tertentu.

Di saat yang sama, ketika masyarakat yang penasaran tadi mulai membaca buku kiri, pemerintah belum banyak memiliki buku-buku yang bisa mematahkan ideologi buku-buku kiri. Bukankah ini sama saja dengan melakukan 'gol bonuh diri'?

Jika tindakan razia itu dianggap benar dan efektif, apakah nanti ketika masyarakat mulai beralih ke ranah buku elektronik, lalu pemerintah menutup akses internet? Tidak mungkin bukan?
Buku selayaknya dibalas dengan buku. Tapi kembali lagi, lebih mendesak pula untuk membangun budaya literasi, dari hulu ke hilir. Dari penulis ke penerbit, dari penerbit ke penjual, dan termasuk bagaimana menyediakan wadah-wadah yang memudahkan akses masyarakat ke buku. Di samping untuk melawan buku-buku yang dianggap terlarang, juga tak kalah mendesak untuk membentuk masyarakat yang anti hoax melalui program pembangunan literasi tersebut. Mirisnya, bukannya memikirkan program perbaikan minat baca dan peningkatan budaya literasi, pemerintah malah membebani para pegiat literasi dengan menaikkan pajak buku. Kebijakan tersebut membuat program kirim buku gratis ke Taman Baca di tanggal tertentu tiap bulannya jadi terlihat sia-sia.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penting sekali membangun wadah untuk pegiat literasi dan membangun budaya baca melalui media buku. Bukan malah menarik banyak buku yang dianggap berpaham ajaran kiri. Lebih konyol lagi, bila penarikan sebuah buku hanya berdasar pada sampulnya saja. Bukan karena membaca secara utuh. Mengherankan, ketika sebuah buku yang di dalamnya terdapat sebuah sejarah harus ditarik hanya karena diduga memuat ajaran kiri yang belum tentu benar.

Masyarakat Indonesia juga perlu meningkatkan minat baca sebagai bentuk perlawanan terhadap berita 'hoax' yang kian menjamur dan sukar dikenali. Di lain pihak, pemerintah haruslah beranjak dari zaman Orde Baru. Mengingat sekarang bangsa Indonesia berada di zaman Reformasi yang memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk berpendapat.
Perlu juga digaris bawahi, tahun 2016 melalui daftar 'World Most Literate Nations' yang dibuat oleh Central Connecticut State University mengatakan bahwa Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara. Indonesia hanya berdiri di atas Botswana, negara miskin dan kecil di Afrika. Nantinya, bukan hal yang mustahil jika budaya literasi bangsa Indonesia akan semakin mengalami kemunduran bila razia dan pemberangusan buku tetap dibiarkan.

Semoga saja, razia di Kediri dan Padang menjadi yang terakhir di negeri ini, sebab  -sekali lagi- literasi negeri ini butuh perbaikan, bukan pemberangusan. Di samping itu, sebagai masyarakat, rasanya tak cukup bila kita hanya mengkritisi pemerintah dan berharap adanya program yang lebih baik untuk dunia literasi negeri ini. Kita yang sadar literasi, melek informasi dan teknologi, serta mempunyai minat baca tinggi, juga harus mulai bergerak. Seperti mendirikan taman baca, melakukan penyuluhan, dan mulai mengenalkan nikmat dan pentingnya membaca pada generasi muda sekaligus memupuk mereka menjadi garda literasi yang mampu memperbaiki negeri ini. Akhirnya, mengutip pendapat Heinrich Heine [sastrawan terkemuka dari Jerman]: 'bila orang membakar buku, akhirnya mereka juga membakar manusia.'

Referensi:

1. Mojok
https://www.google.com/amp/s/mojok.co/mod/esai/empat-hal-yang-harus-aparat-razia-selain-buku-pki/amp/

2. Kompasiana https://www.kompasiana.com/1bichara/5c36f3e7c112fe1a8b6719e9/gagal-paham-razia-buku?page=all

3. Detik.com
https://m.detik.com/news/kolom/d-4386594/razia-buku-memenjarakan-nalar-intelektual

4. Tirto
https://tirto.id/razia-buku-penghinaan-terhadap-ilmu-dan-perlunya-aparat-membaca-dcLf

5. Rappler https://www.rappler.com/indonesia/145605-daftar-kasus-pemberangusan-buku-indonesia

Disusun oleh:

Ammy
Dion OS Umar
Maretha

#katahatiproduction #katahatichallengge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke

Statistikku